Pernikahan dini adalah salah satu isu yang masih marak terjadi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didukung oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF), pada 2015 angka pernikahan di bawah usia 18 tahun mencapai 23%.
Seringkali yang menjadi korban adalah anak perempuan, sebab berdasarkan penelitian UNICEF, menikahkan anak perempuan dianggap dapat menyelesaikan masalah perekonomian keluarga.
Hal ini lah yang terjadi pada Sanita Rini (22), cewek asal Desa Sanetan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ini hampir mengalami pernikahan di bawah umur. Sanita dijodohkan di usia 13 tahun oleh ibunya, dengan harapan beban finansial keluarganya dapat menjadi lebih ringan.
Namun Sanita yang lebih memilih untuk menempuh pendidikan menolak hal tersebut. Kini Sanita bergabung ke dalam satu organisasi untuk mengedukasi masyarakat tentang dampak buruk pernikahan dini dan pentingnya kesetaraan gender.
Sabtu (3/6), Sanita menceritakan kisah inspiratifnya pada Cewekbanget.id. Yuk kita simak!
(Baca juga: Kanker Enggak Mematahkan Semangat Cewek Ini untuk Berbuat Hal Baik Demi Indonesia, Inspiratif!)
Sempat dua kali dijodohkan
Sanita adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sang ayah bekerja sebagai kuli bangunan dan ibu menjadi buruh tani serta memiliki toko sembako.
Pada usia 13 tahun, Sanita dijodohkan dengan cowok yang merupakan tetangganya. Cowok itu berusia 19 tahun, bekerja sebagai sopir ojek dan kadang menjadi kuli bangunan.
Alasan orangtuanya menjodohkan Sanita adalah agar mereka enggak usah lagi memusingkan masalah keuangan. Mereka menganggap jika Sanita menikah, beban perekonomian dalam keluarga akan berkurang.
“Perjodohan ini awalnya hanya diketahui sama ibuku dan ibu si cowok. Aku mulai curiga ketika berangkat dan pulang sekolah, aku harus selalu diantar jemput sama cowok ini.
Saat itu aku kelas 2 SMP, usiaku 13 tahun, aku pun bilang ke ibu kalau pengin sekolah SMA. Aku menegaskan ke orangtua kalau aku mau sekolah ke SMA, enggak mau menikah. Akhirnya mereka mengiyakan dengan berat hati.”
Di usia 15 tahun, perjodohan dan rencana menikah kembali terjadi dengan cowok yang sama. “Aku mengalami pertentangan batin. Aku enggak pengin menikah tapi penginnya kuliah, namun di satu sisi aku enggak mau menyakiti bapak dan ibu.
Sampai suatu ketika aku mengumpulkan keberanian untuk bicara sama bapak dan ibu. Aku tanya, berapa uang yang mereka habiskan untuk menyekolahkanku sampai saat ini.
Kemudian aku bilang, kalau mereka mengizinkanku untuk kuliah, aku akan mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan untukku. Aku juga berjanji akan memberikan apa yang mereka inginkan.
Aku pun menjelaskan, kalau aku menikah, aku enggak bisa melakukan hal itu karena nantinya aku harus memikirkan suami dan mertua juga, enggak hanya memikirkan bapak dan ibu. Setelah itu, orangtuaku pun luluh dan mengizinkanku untuk lanjut kuliah.”
(Baca juga: Cerita Stephanie Kurlow, Balerina Pertama di Dunia yang Mengenakan Pakaian Muslim saat Balet)
Saat ini Sanita berkuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YPPI Rembang, dengan konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia. Pada Juli mendatang, Sanita akan menjalani wisuda.
Cewek kelahiran 9 Maret 1995 ini memiliki banyak cita-cita, yakni aktivis, socialpreneur, sampai menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Namun saat ini Sanita sedang fokus untuk mendirikan yayasannya sendiri yang akan dia bangun di desanya. Yayasan ini akan berisi sekolah alternatif agar anak-anak, khususnya anak perempuan, bisa mendapatkan life skill dan soft skill yang baik.
“Jadi kalau mereka enggak melanjutkan sekolah, mereka bisa belajar di situ. Ibu-ibu muda yang enggak punya pendidikan yang mencukupi juga bisa bergabung untuk mendapatkan pendidikan di yayasanku nanti.”
(Baca juga: Pengalaman Cewek Jalani Puasa di Kota yang Mayoritas Penduduk Non-Muslim. Seru tapi Menantang!)
Memilih untuk terbuka
“Sebenarnya ibu enggak mau cerita ini dipublikasikan, dia mau biarlah hal itu jadi masa lalu. Tapi aku memutuskan untuk membagikan cerita ini.
Aku enggak pengin ada anak-anak yang menikah dengan terpaksa atau menikah di bawah umur.
Aku mau memberi tahu ke anak-anak perempuan itu kalau menikah bukan solusi utama, malah menambah masalah-masalah lain yang lebih besar. Pendidikan adalah yang utama, bukan pernikahan.
Menurutku pernikahan adalah sebuah pilihan. Kalau memang kita enggak nyaman sama pilihan tersebut, ya jangan diambil.”
(Baca juga: Ternyata Begini Rasanya Menjalani Puasa di Korea. Menantang Tapi Super Berkesan!)
Perjodohan dan pernikahan dini sudah sering terjadi
Perjodohan dan pernikahan di bawah umur adalah sebuah hal yang biasa di tempat tinggal Sanita, yakni Desa Sanetan, Jawa Tengah. “Itu sudah jadi hal yang biasa, bahkan dari SD aja sudah dijodoh-jodohin.
Jadi selain faktor ekonomi, juga ada faktor tradisi. Orangtua berlomba untuk segera mencarikan jodoh untuk anak-anaknya, sehingga banyak terjadi kehamilan di usia remaja.
Banyak teman sebayaku yang menikah di bawah usia 18 tahun. Temanku yang menikah di usia 15 tahun meninggal ketika berumur 16 tahun saat masih hamil 7 bulan.
Ada juga satu temanku yang menikah lalu bercerai dengan alasan enggak cocok. Rata-rata mereka yang menikah muda itu juga kurang bahagia, karena pernikahan itu enggak selalu seindah di bayangan mereka.”
(Baca juga: Kisah Cewek 16 Tahun yang Hamil di Luar Nikah. Ini Risikonya Behubungan Seks di Usia Remaja!)
Menggagas Peraturan Pernikahan di Desa
Sanita yang aktif di kegiatan forum anak desa menjadikan dua temannya tersebut sebagai contoh dampak buruk pernikahan di bawah umur.
“Kalau sudah ada bukti dan contohnya, mereka jadi lebih mengerti dampaknya. Dari situ mereka mulai sadar kalau pernikahan dini tuh enggak baik untuk diri mereka dan keluarganya.”
(Baca juga: Cerita Astronom Perempuan Pertama Indonesia Tentang Menariknya Bekerja di Bidang Astronomi)
“Di tahun 2014, kami mulai membuat peraturan desa tentang perlindungan anak. Di dalam peraturan itu, anak yang usianya belum 18 tahun enggak akan mendapatkan izin dari desa.
Sampai saat ini di desa sudah enggak ada lagi pernikahan di bawah usia 18 tahun. Anak-anak dan orangtua saat ini sudah makin menyadari pentingnya pendidikan.
Pemerintah dan Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) juga tegas dalam hal ini, karena mereka pengin tingkat pendidikan anak-anak minimal sampai SMA.
Plan International Indonesia juga mendampingi desa kami dan menyampaikan kalau pendidikan itu adalah sesuatu yang penting.”
(Baca juga: 8 Hal yang Enggak Boleh Kita Katakan Pada Orang yang Punya Pikiran untuk Bunuh Diri)
Bergabung dengan Youth Coalition for Girl
Dimulai dari Youth Camp yang diadakan oleh Plan International, Sanita dan teman-teman mulai menggagas Youth Coalition for Girl (YCG). “Pada tahun 2016, kami berpikir untuk membuat koalisi bersama, untuk apa kita bergerak sendiri-sendiri, lebih baik bergabung.
Tujuannya untuk mewujudkan kesetaraan gender dan membela hak-hak perempuan. Kami fokus pada perlindungan anak, kekerasan terhadap anak, life skill, leadership, juga pendidikan seks.
Saat ini kami sedang membentuk YCG di daerah-daerah. Kami sudah mulai melakukan sosialisasi di sekolah, radio, dan forum anak muda."
Sanita berkesempatan mengikuti Asian Youth Forum di Jepang pada awal Mei 2017 kemarin. Juga menjadi ambassador di Youth Economic Empowerment di Belanda pada 2014 lalu.
(Baca juga: Menurut Penelitian, Orang yang Suka Membaca Terbukti Bisa Jadi Sahabat Paling Baik. Benarkah?)
Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi angka pernikahan dini?
"Kita harus bisa bikin anak-anak semangat untuk sekolah dan percaya untuk mewujudkan mimpinya. Juga mengedukasi orangtua dan memberi bukti nyata kalau menikahkan anak bukan solusi utama.
Berikan tahu bahwa dengan pendidikan yang baik, anak juga bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus. Pendidikan kesehatan reproduksi juga penting untuk diajarkan anak sejak mereka kecil,"
(Baca juga: Jangan Menyepelekan Bunuh Diri, Ini 7 Hal yang Sebenarnya Ada di Pikiran Korban)
Harapan Sanita terhadap kesetaraan gender
Meraih kesetaraan gender merupakan perjuangan panjang yang harus terus kita lakukan.
Sanita juga berpendapat demikian, selain itu, cewek yang punya hobi menulis ini berharap agar pemerintah bisa lebih aktif terlibat dalam isu ini.
“Pemerintah baik dalam level nasional sampai desa harus mau mendengar, mempertimbangkan, mengimplementasikan, lalu melakukan pengawasan terhadap isu dan masalah perempuan yang ada.
Banyak yang menganggap kalau urusan pembangunan adalah urusan laki-laki. Perempuan cuma dilibatkan untuk ngurusin snack. Padahal di pembangunan itu ada porsinya perempuan dan anak-anak.
Perempuan dan anak-anak juga punya perspektif sendiri untuk mewujudkan pembangunan yang baik. Pastikan kalau perempuan juga terlibat dalam pengambilan keputusan.
Semakin banyak yang bergerak dan sadar, usaha untuk mencapai kesetaraan gender akan semakin kuat.”
(Baca juga: Kita Harus Tahu, 5 Tips Mencegah Pelecehan Seksual di Angkutan Umum Online Menurut Hannah Al Rashid)
Penulis | : | Intan Aprilia |
Editor | : | Intan Aprilia |
KOMENTAR