Being Me

By Dok Grid, Kamis, 4 Desember 2014 | 17:00 WIB
Being Me (Astri Soeparyono)

"Pasukan kuning berceceran di Jalan Baru. Pak Satpol PP tolong digaruk aja lalu dibuang di kali, tempatnya memang di situ. Bau, Pak! Najis abis!"

Perang komentar di Facebook berawal dari status ini. Sudah lebih dari tiga puluh komentar super pedas dan saling menjatuhkan berdesakan di kotak-kotak kecil sejak status itu di-upload 30 menit yang lalu. Saking banyaknya komentar, mereka mulai kehabisan ide dan menggantinya dengan sumpah serapah yang mulai tak terkontrol.

Perang komentar itu terjadi karena salah seorang dari Geng Borju meng-upload foto anak-anak dari Geng Modis saat mereka nongkrong di Jalan Baru lalu menulis status kontroversial itu. Di dalam foto itu dua puluh anak Geng Modis yang memakai baju bernuansa kuning terang berpose dengan gaya dandan bintang film Korea di Jalan Baru yang selalu ramai di Minggu pagi. Apalagi mereka bergerombol di antara lalu lalang orang-orang yang kebanyakan hanya menggunakan pakaian olahraga sederhana. Sangat mencolok. Mungkin ini yang disebut tabrak lari dalam dunia fashion.

"Ini semua tentang mereka. Tak ada satu pun tentangku," bisik Lolita sembari melemparkan HP-nya ke atas tempat tidur. Dia masih memakai seragam putih abu bahkan tas ranselnya masih meringkuk di punggung. Lolita tak akan menjadi sebuah kisah sebab dia bukan bagian dari mereka. Kisah yang paling laku di SMA-nya hanyalah tentang kedua geng itu. Jika kamu bukan bagian dari mereka, maka bersiaplah untuk berubah menjadi hantu alias masuk dalam golongan kasat mata, tak terlihat, tersingkir, dan terlupakan.

Lolita harus punya modal materi untuk masuk Geng Borju. Modalnya bahkan lebih besar daripada uang gedung sekolahnya. Paling tidak dia harus punya Blackberry atau iPad atau sepeda fixie untuk nongkrong tiap minggu pagi di Jalan Baru. Mengingat orangtuanya hanya guru SD, Lolita tak pernah berimajinasi masuk geng itu. Dia bersyukur masih dibelikan HP yang meski ketinggalan jaman tapi masih bisa untuk Facebook-an.

Lalu bagaimana dengan Geng Modis? Memang tak butuh iPad untuk masuk geng itu. Lolita hanya butuh nyali besar untuk memakai gaya pakaian masa kini yang bahkan tak sesuai dengan kepribadiannya. Tak peduli mereka terlihat bodoh dengan pernak-pernik mencolok tapi bagi mereka terlihat gaya dan identik adalah suatu keharusan. Lolita tak akan pernah mematikan kepribadiannya untuk sesuatu yang konyol. Lebih baik keberadaannya tak diakui daripada menjadi oportunis.

Dulu Lolita tidak keberatan menjadi golongan tak terlihat sebab dia punya sahabat senasib sepenanggungan, namanya Endita. Dulu mereka karib tak terpisahkan, apalagi nama mereka berima sama. Namun sudah dua semester ini mereka tak berbicara semenjak Endita menjadi bagian dari Geng Borju. Endita telah naik level sebab dia berpacaran dengan Alex, cowok paling keren di sekolah ini. Bagaimana tidak? Alek tajir, dia langganan juara olimpiade matematika, kapten tim futsal, pengurus OSIS, dan yang terpenting dari itu dia luar biasa cakep. Alex jelas sempurna dan menjadi pasangannya berarti membuat Endita turut sempurna. Ini modal bagus untuk menjadi bagian dari kedua geng itu.

Lolita masih ingat terakhir kali Endita masih bersamanya. Dia bilang dia muak menjadi invisible dan dia akan berusaha keluar dari golongan terlupakan ini bagaimana pun caranya. Setelah itu mereka tak bersama lagi, sebab Endita terlalu sibuk mewujudkan mimpinya. Jujur Lolita iri dengan Endita, sebab dia bisa leluasa nongkrong dengan Geng Borju meski dia tak punya sepeda fixie. Siapa butuh sepeda langsing warna-warni, Blackberry, atau iPad jika kamu pacarnya Alex?

"Loli, makan!" seru ibunya dari luar kamarnya. Lolita terbangun dari lamunan. Dengan lesu dia meletakkan tas dan membuka kaos kakinya. Setiap hari selalu sama. Pulang sekolah, makan, belajar, makan lagi, nonton TV, tidur, lalu terbangun hanya untuk menyadari bahwa keberadaannya tak diakui di sekolah. Apa yang lebih menyedihkan dari itu semua? Tapi  sebentar lagi dia akan lulus lalu kuliah. Orang-orang bilang kuliah lebih menyenangkan dari bangku SMA. Semoga saja begitu. Lolita menghela napas, dia bangkit dan berjalan gontai menuju pintu kamar. Dia baru menyadari jeritan perutnya saat ini ternyata lebih lantang dari jeritan hatinya.

Pelajaran biologi kosong. Beberapa teman cowoknya kecewa karena mereka tak jadi berceloteh tentang alat reproduksi manusia. Ah, tiba-tiba saja mereka jadi kekanak-kanakan kalau menghadapi tema satu ini. Cewek lebih siap dari para cowok. Buktinya mereka lebih tenang, tidak belingsatan macam anak cowok. Mungkin karena masa puber mereka lebih menyakitkan dari cowok. Penuh dengan darah dan kejang perut yang sedikit menjengkelkan.

Lolita memainkan ujung pensilnya. Kelas sepi, hanya beberapa gelintir orang berada di situ, asyik dengan diri mereka sendiri. Sebenarnya Lolita butuh teh panas untuk sedikit meringankan tubuhnya yang meriang, tapi dia juga tahu kantin pasti telah dikuasai anak-anak kedua geng itu. Kantin timur yang lebih mewah adalah daerah kekuasaan Geng Borju sementara kantin barat yang lebih sederhana adalah jajahan Geng Modis. Sebenarnya perbedaan utamanya adalah soal boleh tidaknya ngebon. Hutang adalah tabu di kantin timur sementara di kantin barat hutang bukan sesuatu yang memalukan. Lolita memaksakan dirinya untuk pergi ke kantin barat sebab di sana dia takkan bertemu dengan Endita. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. Dia berpikir akan membawa teh itu ke belakang perpustakaan. Di sana ada pohon mangga rindang tempat Lolita biasa 'ngadem' dengan Endita dulu. Lolita kembali tertusuk jika mengingatnya.

Lolita menundukkan kepala dan bergegas menuju tempat Yu Par yang sedang menata sayur soto di mangkok-mangkok. Seperti dugaannya, kantin begitu ramai penuh celoteh bahasa planet luar galaksi dan gemuruh tawa yang nyaring. Cepat-cepat Lolita memesan, "Teh panas," katanya pendek.