Jendela yang Tertutup

By Astri Soeparyono, Kamis, 27 November 2014 | 17:00 WIB
Jendela yang Tertutup (Astri Soeparyono)

Mata itu  terus membayangi Aulia. Kenapa dia baru memikirkannya padahal mereka sudah bertetangga lama. Tapi tatapan itu baru dia temukan tiga hari yang lalu. Mata yang teduh memandangi Aulia lama meski dengan jarak lima belas meter. Aulia yang sedang duduk di teras rumahnya terpukau tanpa menghindarinya. Sepuluh menit pandangan mereka bertemu, hingga adiknya memanggilnya masuk.

Namanya Dude, terpaut setahun dengan Aulia. Dia memiliki satu adik yang juga laki-laki. Mereka adalah tetangga yang tertutup, kurang bergaul, jarang keluar rumah. Ayahnya selalu mengantar-jemput Dude dan adiknya ke sekolah dengan mobil Mercedes berwarna hitam. Berbeda dengan anak cowok lain, keduanya memang sangat penurut. Hari libur, mereka pergi sekeluarga. Dude yang selalu membuka dan menutup pintu pagar.

Kok ada ya, anak yang seperti itu. Biasanya cowok seumuran mereka tuh minta dibelikan motor untuk sekolah. Mereka kan orang kaya. Atau naik taksi kek! Aulia tidak habis pikir sejak mulai mengamati tetangganya itu. Dia sendiri yang cewek, naik taksi. Biasanya dia paling cuek sama tetangga. Sempat terlintas di benaknya, abang beradik itu anak Mami, tapi terakhir dia mengaguminya. Terutama Dude.

Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, Aulia menunggu di samping jendela kamarnya yang berseberangan dengan kamar Dude. Cuma dipisahkan dengan garasi mobil Aulia yang berjerjak. Kaca jendelanya yang gelap, bisa melihat keluar namun tidak tampak ke dalam. Aulia sengaja mematikan lampu kamarnya supaya lebih leluasa. Biasanya Dude yang membuka jendela setelah berpakaian sekolah. Sebelumnya padahal Aulia tidak peduli kapan pun jendela itu terbuka.

Pukul 06.30 tepat. Aulia sampai hapal waktu Dude membuka jendelanya. Dia bersemangat memandangi wajah Dude dengan jarak tiga meter. Cowok kurus tinggi itu kemudian merapikan seragam putih abu-abunya di depan cermin. Menit kemudian dia  keluar dari kamar, baru Aulia ikut keluar untuk sarapan.

Kenapa aku baru sadar kalau dia tuh, amat ganteng? Aulia senyum-senyum sendiri membayangkan Dude. Sayang sekali mereka tidak satu sekolah. Adik Dude bernama Coky kelas XI, sama seperti Aulia.

"Kenapa kamu, senyam-senyum begitu? Baru ditembak Gandi, ya?" goda Mama melihat Aulia. Gandi adalah cowok yang selalu usil dengannya di sekolah. Aulia sering menceritakannya pada mama.

"Ih, siapa juga yang mau ditembak sama cowok ugal-ugalan gitu." Aulia cemberut, kemudian dapat ide membujuk mama. "Ma, Aul pindah sekolah, ya?"

"Gara-gara Gandi?" Mama kemudian mengibaskan tangan. "Ya ampun, biasalah itu. Masak gara-gara itu kamu minta pindah sekolah."

"Ih, bukan!"

"Terus kenapa?" Aulia berpikir, tidak mungkin dia mengungkapkan alasan sebenarnya.

"Lupakan saja rencana kamu itu. Mama nggak akan mengijinkan. Kamu pikir urus surat pindah gampang apa?" Sebelum dia menjawab, Mama sudah memutuskan. Aulia cemberut dengan mulut maju tiga senti.