Mata itu terus membayangi Aulia. Kenapa dia baru memikirkannya padahal mereka sudah bertetangga lama. Tapi tatapan itu baru dia temukan tiga hari yang lalu. Mata yang teduh memandangi Aulia lama meski dengan jarak lima belas meter. Aulia yang sedang duduk di teras rumahnya terpukau tanpa menghindarinya. Sepuluh menit pandangan mereka bertemu, hingga adiknya memanggilnya masuk.
Namanya Dude, terpaut setahun dengan Aulia. Dia memiliki satu adik yang juga laki-laki. Mereka adalah tetangga yang tertutup, kurang bergaul, jarang keluar rumah. Ayahnya selalu mengantar-jemput Dude dan adiknya ke sekolah dengan mobil Mercedes berwarna hitam. Berbeda dengan anak cowok lain, keduanya memang sangat penurut. Hari libur, mereka pergi sekeluarga. Dude yang selalu membuka dan menutup pintu pagar.
Kok ada ya, anak yang seperti itu. Biasanya cowok seumuran mereka tuh minta dibelikan motor untuk sekolah. Mereka kan orang kaya. Atau naik taksi kek! Aulia tidak habis pikir sejak mulai mengamati tetangganya itu. Dia sendiri yang cewek, naik taksi. Biasanya dia paling cuek sama tetangga. Sempat terlintas di benaknya, abang beradik itu anak Mami, tapi terakhir dia mengaguminya. Terutama Dude.
Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah, Aulia menunggu di samping jendela kamarnya yang berseberangan dengan kamar Dude. Cuma dipisahkan dengan garasi mobil Aulia yang berjerjak. Kaca jendelanya yang gelap, bisa melihat keluar namun tidak tampak ke dalam. Aulia sengaja mematikan lampu kamarnya supaya lebih leluasa. Biasanya Dude yang membuka jendela setelah berpakaian sekolah. Sebelumnya padahal Aulia tidak peduli kapan pun jendela itu terbuka.
Pukul 06.30 tepat. Aulia sampai hapal waktu Dude membuka jendelanya. Dia bersemangat memandangi wajah Dude dengan jarak tiga meter. Cowok kurus tinggi itu kemudian merapikan seragam putih abu-abunya di depan cermin. Menit kemudian dia keluar dari kamar, baru Aulia ikut keluar untuk sarapan.
Kenapa aku baru sadar kalau dia tuh, amat ganteng? Aulia senyum-senyum sendiri membayangkan Dude. Sayang sekali mereka tidak satu sekolah. Adik Dude bernama Coky kelas XI, sama seperti Aulia.
"Kenapa kamu, senyam-senyum begitu? Baru ditembak Gandi, ya?" goda Mama melihat Aulia. Gandi adalah cowok yang selalu usil dengannya di sekolah. Aulia sering menceritakannya pada mama.
"Ih, siapa juga yang mau ditembak sama cowok ugal-ugalan gitu." Aulia cemberut, kemudian dapat ide membujuk mama. "Ma, Aul pindah sekolah, ya?"
"Gara-gara Gandi?" Mama kemudian mengibaskan tangan. "Ya ampun, biasalah itu. Masak gara-gara itu kamu minta pindah sekolah."
"Ih, bukan!"
"Terus kenapa?" Aulia berpikir, tidak mungkin dia mengungkapkan alasan sebenarnya.
"Lupakan saja rencana kamu itu. Mama nggak akan mengijinkan. Kamu pikir urus surat pindah gampang apa?" Sebelum dia menjawab, Mama sudah memutuskan. Aulia cemberut dengan mulut maju tiga senti.
Begitu sampai di rumah, Aulia mengganti pakaian dan langsung makan. Biasanya dia tidak langsung pulang. Aktivitasnya kini jadi berubah total. Habis makan, Aulia membaca novel teenlit berjudul Diary Princesa oleh Swistien Kustantyana, di teras. Novel itu baru dia beli kemarin sore. Aulia melihat arloji di tangan kanannya. Pukul 14.35. Lewat lima menit, dari kejadian tiga hari yang lalu. Harusnya lima menit lalu Dude keluar, duduk di bangku taman dan memandanginya. Dua hari cowok itu tidak keluar, selain sekolah. Tadi Aulia sempat mengintip kamarnya. Kosong. Tidak juga ada suara. Padahal dia tahu Dude sudah pulang. Dia mencari tahu sendiri, tempat Dude sekolah dan waktu pulang mereka. Lima belas menit lebih awal dari waktu Aulia pulang.
Aulia menghela napas panjang. Lima menit kemudian terdengar pintu pagar tetangganya terbuka. Cewek berambut hitam panjang itu langsung menoleh ke samping. Benar saja, Dude membukakan pintu pagar untuk ayahnya yang mau pergi. Dia mengenakan baju kaos dan celana pendek. Pandangan Aulia tidak lepas darinya. Sekilas Dude melihat ke arahnya setelah menutup pagar, kemudian tertunduk. Aulia kecewa cowok itu tidak melihatnya lama seperti kemarin. Dude malah langsung masuk ke dalam rumah.
Putus asa, Aulia ikut masuk. Dude tidak akan keluar lagi. Tapi saat di kamar, secara tidak sengaja dia melihat ke arah jendela sebelah. Lampu kamarnya hidup dan Dude tampak sedang duduk di depan komputernya.
Beberapa saat kemudian terdengar Dude menghidupkan lagu One Direction yang berjudul Up All Night. Dude menyanyikannya. Aulia tertegun mendengar suaranya. Tidak begitu bagus, tapi dia jadi tahu bagaimana suara Dude. Serak dan keras. Sesaat kemudian dirinya sadar sering mendengar suara itu. Dude sering menyanyikannya.
Dalam tempo seminggu, Aulia tahu semua kebiasaan tetangga sebelahnya itu. Mandi pagi pukul 06.15, mandi sore pukul 17.30. Makan pagi pukul 06.35, makan siang 14.00, makan malam Dude selalu sore pukul 18.00. Dia juga tahu apa makanan kesukaan Dude, bakso kosong tanpa cabai dan saos karena Dude tidak tahan pedas. Dude juga selalu menyiapkan lapis legit di meja belajarnya. Dude tidak suka susu putih, selalu minum susu cokelat. Tanpa gula. Kegemarannya baca novel sama seperti Aulia, cuma novel terjemahan. Penulis favoritnya Dan Brown. Kebiasaan buruknya selalu tidur larut malam tapi tidak membuatnya telat bangun karena dia memasang alarm. Dia selalu menutup jendela kamarnya pukul 18.30. Mengerjakan tugas sekolah pada malam hari, siang harinya mendengarkan musik.
"Gila! Gimana caranya kau menyelidiki semua itu?" tanya Ola, sepupunya. Aulia menceritakan semuanya pada Ola.
Aulia mengangkat bahunya. "Banyak cara. Yang pasti enggak sulit."
"Untung enggak ketahuan karena kalau iya, kau akan dituduh psycho. Kau benaran suka dia?" Aulia mengangguk.
"Aku penasaran dan pengin dekat sama dia," katanya berharap.
"Tapi dia cowok rumahan dan aku enggak tahu gimana caranya."
"Hm..." Aulia tidak menyangkalnya.
"Apa kau tahu dia punya akun Facebook, Twitter atau apa misalnya?"
"Aku juga penasaran dengan itu. Tapi kayaknya dia enggak punya."
"Kalau gitu tanya aja pin BB-nya!"
"Ya ampun La, gimana mau dapat pin BB, kesempatan aku kenalan sama dia saja enggak ada. Duduk di depan rumahnya saja dia jarang. Aku menunggunya tujuh kali dua puluh empat jam. Tapi enggak dapat lagi momen seperti waktu itu. Saat dia duduk di taman, matanya memandangiku lama...ya Tuhan, aku yakin dia suka sama aku."
"Gimana kalau dia melihatmu bukan karena dia suka?"
"Enggak mungkin, La. Dia curi-curi pandang juga kok ke aku, setiap kali aku duduk di teras dan dia membuka tutup pagar untuk ayahnya."
"Oke." Ola tidak ingin membuat sepupunya pesimis. "Tapi kok ada ya, cowok anak rumahan kayak dia?"
"Entahlah." Aulia termenung membayangkannya.
Semakin hari rasa penasaran dan cinta itu semakin membesar. Aulia juga semakin mengagumi tetangga sebelahnya, ingin memilikinya. Apa dia harus berkunjung ke rumahnya? Tapi apa alasannya? Gimana kalau Mamanya galak dan dia diperlakukan tidak ramah? Aulia penasaran, mengoreknya dari Mama.
"Ma, ibu tetangga sebelah kita baik enggak, sih?" Dia bahkan takut Mama curiga dengan pertanyaannya. Beberapa hari ini dia jadi sering bertanya tentang tetangga sebelah.
"Bu Marta?"
"Ah ya!" Aulia pura-pura pikun.
"Baik. Dia juga ramah. Memangnya kenapa?"
"Enggak pa-pa, sih, Ma." Kemudian Aulia mendapat ide cemerlang. "Oh ya, udah lama kan, Mama enggak masak kue dan bagi-bagi tetangga? Gimana kalau besok, kita buat kue. Besok kan minggu, Ma." Padahal biasanya Aulia tidak peduli dengan kebiasaan Mama yang suka membagi-bagikan makanan ke tetangga. Apalagi kalau disuruh antar ke rumah para tetangga, dia paling ogah. Kenapa sekarang dia jadi malah menyarankannya?
Mama menyipit ke arah anak tunggalnya. Aulia nyengir.
"Kan Mama sendiri yang bilang, tetangga adalah saudara terdekat kita. Aul cuma mengingatkan aja, kok." Sebelum ditanya dia sudah menjelaskan.
"Oke." Mama manggut-manggut, mengalah, tidak ingin bertanya lebih lanjut. "Kemarin Mama juga sudah merencanakannya. Tapi...kira-kira masak kue apa, ya?"
"Lapis legit aja, Ma!" usul Aulia bersemangat.
Sorenya, lapis legit siap dihidangkan. Aulia bersemangat menyusun rapi potongan kue ke piring-piring. Dia kemudian menghirup aromanya. Harum. Mamanya memang ahli membuat kue. Waktu gadis, Mama pernah les privat memasak. Sebelum mengantar, dia masuk ke kamar untuk mengganti baju dan berdandan. Rambutnya yang panjang diikat. Mamanya heran ketika Aulia keluar dengan penampilan rapi. Dia tidak sempat menanyakannya karena Aulia buru-buru mengambil piring.
"Aul yang antar ke tetangga sebelah ya, Ma?" katanya langsung pergi membawa satu piring.
"Eh, yang lain?" teriak mama.
"Biar bik Sumi aja!" balas Aulia sudah sampai di depan pintu. Mama cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya.
Sampai di depan pintu pagar rumah Dude, jantungnya dag dig dug. Mendadak tangannya jadi dingin. Tenang, Aul...tenang...katanya mau usaha. Aulia menarik napas kemudian membunyikan bel pagar. Plis...Dude yang keluar, ya.
Harapannya terkabul. Lima menit kemudian Dude membuka pintu dan keluar. Cowok itu tersenyum saat melihat Aulia. Waaa...senyumnya manis sekali. Gadis itu terpukau menatapnya. Sampai-sampai dia tidak sadar, Dude sudah membuka pagar dan menyapanya.
"Halo...."
"Eh iya, ini. Aku mau antar kue pesanan." Saking gugupnya, ucapannya sampai salah.
"Mama aku pesan kue?"
"Bukan, bukan." Aulia meringis dengan tampang bingung Dude. "Maksud aku, Mama aku minta kasih kue ini ke kalian." Dia menghembus napas setelah mengatakannya, kemudian tersenyum.
Dude diam tidak menjawab.
"Kamu suka lapis legit, kan?" tanya Aulia.
"Darimana kamu tahu?"
Aulia terdiam menggigit bibir. Ya ampun Aulia, kok jadi ribet gini, sih?
"Aku cuma nebak aja kok," jawabnya kemudian nyengir. Dude cuma tersenyum tipis. Kelihatannya cowok tinggi itu memang sangat pendiam. Dude kemudian masuk membawa piring kue.
"Tunggu sebentar, ya," katanya tanpa basa-basi menyuruh Aulia masuk.
Aulia tidak peduli, mengikuti Dude di belakang kemudian duduk di kursi teras, sampai Dude keluar membawakan piringnya kembali.
"Makasih, ya," kata Dude datar, menyerahkan piring. Kaku! Apa dia enggak bisa bersikap manis sedikit aja sama aku? Ajak kenalan atau apa kek!
"Aku boleh tahu nomor hape atau pin BB kamu, enggak?" tanya Aulia.
"Aku enggak dikasih Mama pacaran sampai tamat kuliah." Ha pacaran? Emang kalau tanya pin BB harus pacaranm ya? Emang benar sih aku pengin dapatin dia. Tapi kok dia langsung mikir ke pacaran? Dasar kuno, nih, cowok, masak enggak boleh pacaran sebelum tamat kuliah, sih! Beneran anak mami ternyata.
"Memangnya semua teman kamu cowok, ya?" tanya Aulia penasaran.
"Iya."
"Trus, gimana kalau misalnya kamu suka sama seseorang, enggak boleh juga, harus sampai tamat kuliah?" Dude mengangguk pelan. Ya tuhan...memang cowok aneh! Aulia tidak habis pikir.
Hening sesaat.
"Sebenarnya aku suka sama kamu, Dud. Sejak kamu lihatin aku seminggu lalu, aku pengin dekat sama kamu. Aku sering merhatiin kamu lewat jendela kamar kita. Makanya aku jadi tahu semua kebiasaan kamu." Mendengarnya, mata Dude membesar tampak kaget.
"Maaf. Tapi aku beneran pengagum rahasia kamu," kata Aulia hampir berbisik.
Dude tidak menjawab sepatah kata pun sampai Aulia akhirnya pulang. Meski baru mengamatinya seminggu, Aulia tahu Dude tidak akan melanggar peraturan orangtuanya. Apa dia benar-benar mencintai Dude dan akan menunggunya sampai tamat kuliah? Entahlah....
Besoknya jendela kamar Dude tertutup, dia tidak pernah membukanya lagi. Seperti hatinya yang mungkin juga tertutup untuk Aulia.
(Oleh: Venny Mandasari, foto ilustrasi: tumblr.com)