Bunga sakura. Cinta dan benci. Pemuda itu mencintai bunga Sakura, karena cantiknya mengingatkannya pada rekah senyum gadis yang dia cintai. Sekaligus dia membencinya. Benci karena Sakura mengingatkannya, bahwa makin besar ia mencintai, maka sebesar itu pula rasa sakit menggerus hatinya.
Ji Won menatap kelopak-kelopak bunga sakura di atasnya. Terasa jauh dari rengkuhannya. Seakan menjadi jawaban dari semesta atas pertanyaan yang membuatnya hampir tak bisa bernapas selama ini: Sakura, apa kau juga mencintaiku?
Udara musim semi belum bergerak menuju hangat. Sisa uap dingin winter masih menggigit-gigit kulit. Seharusnya aku memakai baju lebih tebal. Aku mengenakan terusan katun putih, dengan tights hitam dan pantofel senada. Aku mengenakan cardigan rajut abu-abu dan syal hitam. Kukira semua ini cukup menahan dingin, tapi ternyata salah. Saking terbiasa dengan panas Jakarta, hawa 15 derajat ini terasa seperti di bawah sepuluh derajat.
Pukul sepuluh pagi dan Hongik University Area sudah begitu ramai. Wajar. Sekarang libur akhir pekan dan bunga-bunga sakura bermekaran. Aku selalu merasa orang-orang Korea lembut dan romantis. Seperti di drama-drama di TV. Pemuda-pemudanya menatap sayu, dengan sorot mata menggetarkan hati gadis yang siap jatuh cinta.
Aku berhenti di salah satu sudut gedung Sangsangmadang - gedung sebelas lantai di mana ada bioskop, aula pertunjukan, galeri seni, juga studio - dan mengamati. Muda-mudi menggelayut manja. Saling bergandengan tangan. Mata-mata berbinar penuh cinta. Bahkan ada sepasang kakek nenek yang ikut menautkan tangan, seakan tak mau kalah. Kakek itu membetulkan posisi syal nenek di sampingnya, dan nenek itu hanya tersipu malu. Indah sekali pemandangan itu. Aku pun paham, bahwa cinta sejati bukanlah cinta sehidup semati, tapi cinta yang tumbuh dan ikut menua bersama waktu.
Aku teringat Ji Won. Aku ingat bagaimana Ji Won mengambil apa yang erat kujaga. Hatiku. Dan hari ini aku jauh-jauh datang ke Seoul dari Jakarta, sebelum habis waktuku untuk menjawab apa yang dulu Ji Won tanyakan padaku. Pertanyaan tentang cinta.
Aku terus berjalan melewati pasar kaget yang ada setiap Sabtu. Kampus di dekat sini terkenal dengan jurusan seninya. Tiap akhir pekan mahasiswanya menggelar hasil karya mereka. Aksesori buatan tangan, gaun-gaun rajut warna-warni, pajangan kaligrafi, semuanya dijual dengan harga sangat terjangkau.
Mataku tertuju pada pajangan tembikar yang berbentuk pemuda duduk di atas batu sambil memainkan gitar. Tanganku menyentuhnya, tak bisa kukendalikan. Detilnya begitu sempurna. Penjualnya seorang gadis pendek dengan mata sipit dan kacamata berbingkai tipis. Dia sibuk melayani seorang ibu-ibu yang menawar asbak bergaya retro di sudut meja lainnya. Patung tembikar ini mengingatkanku pada Ji Won.
Aku mengenal Ji Won dari Kim, teman satu sekolahku di sekolah internasional di Jakarta. Ternyata mereka sepupu jauh. Saat aku bertemu dengan Ji Won, ternyata ini sudah ketiga kalinya dia ke Jakarta. Pipinya kala itu memerah seperti tomat ceri yang pecah di wajah. Mungkin dia tak terbiasa dengan udara panas Jakarta. Awalnya aku kesal pada Kim, kenapa harus mengajak sepupunya. Mengunjungi teman yang sedang sekarat di rumah sakit, bukanlah itinerary liburan yang tepat, kan?
Namun, Kim sepertinya sudah bisa menebak bahwa Ji Won bisa menyalakan api hidup di dadaku yang redup. Dengan senyumnya. Leluconnya. Pipinya yang bulat dan merah. Petikan gitarnya yang mengalun merdu.