Demi Rindu dan Sakura

By Astri Soeparyono, Kamis, 6 November 2014 | 17:00 WIB
Demi Rindu dan Sakura (Astri Soeparyono)

Hanya saja, Ji Won telanjur mengambil hatiku. Dalam diam, aku jatuh cinta. Dia tak boleh tahu kenyataan itu. Jika tahu, dia akan bersikeras menemaniku di Jakarta dan meninggalkan semua pencapaiannya di Seoul. Hanya demi gadis penyakitan seperti aku.

Demi Rindu dan Sakura

"Janji ya," Ji Won menggenggam tanganku. "Kamu akan melakukan operasi itu. Begitu sembuh, aku akan membawamu ke Seoul, ke tempat kesukaanku, Hongdae. Nanti kita akan makan chicken curry di bangku panjang sambil melihat sakura bermekaran. Don't you wanna see the flower which your name is taken from?"

"I don't know, Ji Won."

 

"Just promise me. Please."

Tatap mata dan lembut suaranya meruntuhkan dinding yang kokoh mengelilingi hatiku. Maka, setelah kepulangannya, aku mengatur jadwal operasi transplantasi dengan dokter. Tepat sebelum mataku terpejam oleh anestesi, yang terlintas di pandanganku, aku dan Ji Won duduk di bangku panjang yang dinaungi rimbun pohon sakura yang bermekaran. Kami hanya duduk, bergenggaman tangan, dan sama-sama menyadari dalam diam, kalau kami saling jatuh cinta.

Dan aku pun di sini. Di Hongdae, Hongik University Area. Diam-diam aku ke Seoul tanpa memberitahunya. Aku ingin mengejutkannya. Aku, gadis bernama Sakura, datang membawakannya cinta, tepat di saat kelopak-kelopak sakura bermekaran.

Langkahku terhenti di sebuah jalan setapak. Mataku tertuju pada sesosok tegap yang berdiri di tengah sana. Pemuda itu berdiri diam sembari mendongak ke kelopak-kelopak sakura di atasnya. Ji Won. Dengan baju hangat cokelat dan celana jeans, dia masih sama tampannya seperti terakhir bertemu. Pipinya sedikit lebih tirus. Sorot matanya tetap sama. Sorot mata sesendu itu, apakah karena merindukanku?

Seakan mengerti aku tengah terpaku menatapnya, Ji Won terbeliak menatapku. Seakan tak percaya dia menemukanku di sini. Aku menepati janjiku. Kulakukan transplantasi itu dan langsung melesat kemari untuk menagih janjinya.

Aku berlari mendekatinya. Begitu erat aku memeluknya sampai air mataku ikut pecah. Tak peduli air mataku akan membasahi bajunya, aku terus mendekap erat. Seakan takut kehabisan waktu di dunia, aku mendongak menatap matanya yang penuh oleh rindu lalu menciumnya. Satu ciuman lembut yang sanggup menggambarkan betapa kerinduan ini terlalu lama kujaga.

"I,..." aku menatap matanya sekali lagi. "I've loved you since the first day I met you." Akhirnya aku sanggup mengatakannya. Kuruntuhkan benteng yang erat melindungi hatiku. "I love you." Kukatakan semuanya seakan aku takut waktuku di dunia tak cukup lagi untuk mengatakannya.