Gendut

By Astri Soeparyono, Kamis, 6 November 2014 | 17:00 WIB
Gendut (Astri Soeparyono)

Nanda mengamati adik perempuannya yang tengah melahap ayam goreng dengan nikmat. Dia lalu melirik jam besar di dinding ruang makan. Pukul 21:00. Sudah semalam ini, tapi adiknya itu baru saja makan malam.

 

"Kok kamu baru makan jam segini, sih?"

 

"Tadi pulang les aku ketiduran, Kak. Baru bangun jam segini, ya udah langsung makan aja. Sebelum Papa Mama ngomel juga," jawab Dinda santai tanpa melihat ke arah Nanda. Dia terus menyantap makan malamnya dengan nikmat.

 

"Kamu enggak takut gendut?" Dinda yang semula asyik dengan makanannya langsung menoleh sambil mengeryitkan alisnya.

 

"Takut gendut? Itu Kak Nanda, kali. Aku, sih, enggak takut gendut," ucap Dinda mantap. Dia lalu mencomot sepotong ayam goreng lainnya. Melihat itu semua, Nanda langsung memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

 

 

Gendut

 

Malam ini malam Minggu. Nanda sudah rapi dan wangi sejak beberapa menit lalu. Dia berencana menghabiskan malam dengan berkaraoke bersama teman-teman kuliahnya di salah satu mall besar di kota Surabaya. Dia sudah akan membuka pintu dan melesat ke garasi sebelum bel pintu berbunyi nyaring.

 

"Eh, Ardo. Mau jalan sama Dinda, ya?" Nanda melihat Ardo yang berdiri di depan pintu hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Masuk, deh. Aku panggilin dulu si Dinda."

 

"Kak Nanda mau keluar juga, ya?" tanya Ardo setelah Nanda muncul kembali di ruang tamu.

 

"Iya, nih, mau karaoke sama anak-anak," jawab Nanda dengan wajah riang. "Eh, Do, aku mau nanya sesuatu, deh." Wajah Nanda mendadak berubah serius.

 

"Nanya apa, Kak?"

 

"Kamu enggak keberatan pacarmu banyak makan? Si Dinda itu makannya banyak, lho. Kemarin aja dia makan ayam goreng sampai nambah 3 kali!" Ardo terbahak mendengarnya.

 

"Aku kira Kakak mau nanya apa."

 

"Do, lama-lama Dinda bisa tambah gendut, lho!" ujar Nanda menakut-nakuti. Ardo kembali terbahak yang lantas membuat Nanda keheranan.

 

"Dari dulu aku udah tahu kalau Dinda itu makannya banyak, Kak. Dan aku enggak keberatan." Nanda ingin menyuarakan keheranannya, tapi Dinda terlanjur muncul.

 

"Kak Nanda ngapain, sih, nanya-nanya gitu ke Ardo?" Wajah Dinda terlihat sebal.

 

"Kakak takut kamu tambah gendut, Din. Ardo malah bilang dia enggak keberatan kamu makannya banyak. Harusnya dia ngelarang kamu makan banyak. Bukannya malah ngedukung gitu." Ardo hanya tersenyum. Dinda mengerutkan keningnya.

 

"Ardo justru suka banget lihat aku makan banyak, Kak."

 

"Serius? Kalian aneh banget, sih?!"

 

"Udah deh, Kak. Kita berangkat dulu, ya? Aku udah pamit Papa Mama tadi. Kakak enggak berangkat juga? Kita duluan, deh. Ayo, Do." Dinda langsung menggamit lengan Ardo tanpa memedulikan pandangan aneh kakak perempuannya.

 

                                                           

 

Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan SMA Negeri 9, SMA tempat Dinda dan Ardo bersekolah. Dinda dan Ardo harap-harap cemas mencari nama mereka di deretan kertas yang ditempel di papan pengumuman di dekat ruang guru. Di kertas pertama nihil. Di kertas kedua pun nihil. Sampai kertas ketiga juga nihil. Dinda mendesah pelan sambil mengerucutkan bibirnya yang mungil. Ardo mengelus lembut rambut Dinda untuk menenangkan gadis itu.

 

"Aku takut kita enggak lulus, Do." Ardo tersenyum manis.

 

"Kamu yakin dong, Din. Kita pasti lulus. Ayo kita cari lagi." Ardo segera menarik pelan tangan Dinda. Dinda mengikuti kekasihnya dengan setengah hati. Dia tidak lagi bersemangat melihat kertas-kertas di depannya. Dengan menggenggam tangan Dinda di tangan kiri, hanya Ardo yang tetap bersemangat mencari nama mereka. Dan tak lama Ardo menyunggingkan sebuah senyum.

 

"Din, coba, deh, lihat ini." Dinda melihat kertas yang ditunjuk Ardo dengan enggan. Dia membaca kata-kata yang tercetak di atas kertas itu dan sedetik kemudian langsung memeluk Ardo dengan wajah secerah matahari pagi.

 

"Kita dapet nilai tertinggi?! Bener nih?! Asyik!" Ardo tersenyum lebar menerima pelukan gembira kekasihnya.

 

"Iya, Din. Pantes aja dari tadi kita cari nama kita enggak ketemu-ketemu. Nama kita dipisah di kertas terakhir ini, sih."

 

"Ayo kita langsung pulang aja! Aku enggak sabar bilang ini ke Papa Mama." Belum sempat Ardo menjawab, Dinda sudah menggandeng tangannya menuju parkiran motor.

 

                                                     

Gendut

 

Sore ini Nanda, Dinda, dan ibu mereka berada di salah satu pusat perbelanjaan untuk mencari beberapa baju yang akan dipakai di acara perpisahan sekolah. Dinda sebagai bintang utama di acara itu mendapat perhatian ekstra dari ibu dan kakak perempuannya. Ibu dan kakak perempuannya ingin Dinda tampil sesempurna mungkin.

 

"Ma, ini size-nya kurang besar nih. Enggak muat." Nanda melihat dress batik berwarna kuning yang disodorkan Dinda ke ibunya dengan wajah terkejut.

 

"Enggak muat? Ini kan size-nya M, Din. Biasanya juga kamu pakai size M, kan?"

 

"Iya, sih, Kak. Tapi dress ini enggak muat. Berat badanku kayaknya naik, deh," ucap Dinda tanpa beban. Nanda langsung membelalakkan matanya.

 

"Hah?! Berat badanmu naik?! Naik berapa kilo?!"

 

"Ya enggak tahu, Kak. Belum aku cek lagi. Ma, aku coba yang size L aja, ya?" Ibu Dinda mengangguk santai, seolah-olah berat badan Dinda yang naik bukanlah masalah besar. Nanda menggeleng berulang kali melihat kelakuan ibu dan adik perempuannya.

 

"Kok Mama enggak marah, sih, Dinda tambah gendut? Sebentar lagi, kan, ada acara perpisahan itu, Ma. Enggak mungkin Dinda bisa nurunin berat badan dalam waktu singkat."

 

"Ya, enggak usah diturunin," jawab ibunya mantap. Nanda mendelik mendengar jawaban ibunya sedangkan Dinda hanya tertawa pelan.

 

"Kak Nanda kenapa, sih? Kok bingung banget kelihatannya? Yang berat badannya naik, kan aku, kenapa Kak Nanda yang bingung?"

 

"Kakak cuma enggak mau kamu jadi bahan olok-olok temen-temenmu, Din. Udah dibilangin jangan banyak makan, kamu enggak nurut, sih. Lihat sekarang, beratmu naik, kan?"

 

"Ih, biarin aja. Aku enggak peduli berat badanku naik atau enggak. Aku juga enggak peduli apa kata temen-temenku. Kak Nanda enggak perlu cemas, deh."

 

"Kamu juga enggak peduli apa kata Ardo?" Dinda terkejut mendengar nama Ardo disebut.

 

"Ardo? Memangnya kenapa sama Ardo? Ardo enggak akan mempermasalahkan berat badanku, Kak. Dia sendiri yang bilang."

 

"Itu, kan, dulu. Sebelum dia tahu berat badanmu naik. Kalau sekarang dia tahu kamu tambah gendut, apa iya dia masih ngomong kayak gitu?" Dinda terdiam seketika. "Cowok itu selalu lebih suka cewek yang kurus, langsing. Bukan yang gendut."

"Nanda, udah dong. Kamu jangan nakut-nakutin Dinda terus. Kalau kamu takut gendut dan doyan enggak makan, silakan aja. Tapi jangan ajak-ajak orang lain dong. Dinda, kan, masih dalam proses pertumbuhan. Enggak apa-apa kalau dia banyak makan," ujar ibu Nanda tegas. "Din, enggak perlu kamu dengerin apa kata Kakakmu, ya? Udah, ini kamu coba aja dress-nya."

 

"Eh, iya, Ma. Aku coba dulu, ya." Dinda bergegas masuk ke ruang ganti. Sekilas dia sempat melihat kakak perempuannya membuang muka setelah ditegur ibu mereka. Di dalam ruang ganti Dinda berdiri diam selama semenit penuh. Dia mencoba mencerna semua perkataan kakak perempuannya. Diam-diam, dia merenung dengan wajah gundah.

 

                                                           

 

Dinda berdiri sambil menelengkan kepalanya dan terus menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dia sudah mengecek berat badannya sepulang dari pusat perbelanjaan beberapa hari lalu. Tidak heran jika ukuran bajunya berubah karena berat badannya memang naik dua kilogram.

 

Dinda memerhatikan pipi, lengan, perut, paha, dan betisnya dengan saksama. Pipinya tetap tirus. Perutnya tetap rata. Betisnya tetap molek. Dia memegang paha dan kedua lengannya secara bergantian dengan wajah sebal.

 

"Iya, sih. Lengan dan pahaku memang agak gendut kalau dilihat-lihat. Tapi masih wajar, deh. Kayak kata Mama, aku, kan, masih dalam proses pertumbuhan. Naik satu atau dua kilo enggak masalah, kan?" Dinda bertanya pada pantulan dirinya sendiri untuk meminta dukungan. Karena gadis dalam cermin itu tidak menjawab apa-apa, Dinda mendesah pelan lalu duduk di atas tempat tidur.

 

"Masa, sih, Ardo bakal marah kalau dia tahu aku tambah gendut? Memang iya? Memang iya dia bakal berpaling ke cewek lain yang lebih kurus? Aduh, aku bingung." Dinda menangkupkan kedua tangannya menutupi wajah. Kata-kata Nanda terus terngiang. Awalnya Dinda cuek saja. Awalnya dia tidak ambil pusing komentar miring kakak perempuannya. Tapi lama-kelamaan dia merasa takut juga. Dia takut Ardo akan berpikiran sama.

 

                                                           

 

Gendut

 

Malam ini acara perpisahan sekolah digelar di sebuah rumah makan besar di pusat kota Surabaya. Ardo sudah siap dengan setelan jas berwarna hitamnya. Dia terlihat sangat berbeda. Dia duduk dengan tenang di ruang tamu rumah Dinda sambil membolak-balik majalah fashion yang tergeletak di atas meja. Sesekali dia tersenyum saat melihat model-model super kurus sedang memamerkan pakaian para desainer kondang.

 

"Ardo? Udah di sini dari tadi, ya? Dinda sebentar lagi selesai kok, kamu tenang aja." Ardo mengangguk sejenak mendengar ucapan Nanda. Lalu, dia meneruskan kegiatannya membolak-balik majalah di tangannya.

 

"Eh, Do, kamu tahu enggak kalau berat badannya Dinda naik?" Ardo menengadah menatap Nanda dan menggeleng pelan.

 

"Aku enggak tahu, Kak. Memangnya naik berapa kilo?" Nanda mengangkat kedua bahunya.

 

"Enggak tahu. Mungkin sekitar dua atau tiga kilo. Waktu beli dress kemarin, Dinda ambil size L! Padahal biasanya dia pakai size M. Udah pasti berat badannya naik. Dia, sih, dibilangin susah banget." Ardo hanya tersenyum menanggapi comelan Nanda.

 

"Biarin aja deh, Kak," jawab Ardo santai.

 

"Kok biarin aja? Memangnya kamu enggak malu punya pacar gendut?" Saat Nanda menanyakan hal itu, saat itu pula Dinda keluar dari kamar. Dia bisa mendengar obrolan kakak perempuan dan kekasihnya dengan jelas meskipun letak ruang tamu ada di depan. Dia lalu mengurungkan niatnya menghampiri kedua orang itu. Dia berdiri mematung di depan pintu kamar. Menunggu kelanjutan percakapan itu dengan harap-harap cemas.

 

"Aku enggak malu punya pacar gendut. Aku enggak pernah mempermasalahkan berat badan Dinda. Mau naik atau turun, aku enggak peduli. Dinda itu cewek berkarakter, enggak seperti cewek kebanyakan, Kak. Dia berani jadi dirinya sendiri sejak kencan pertama kita dulu. Waktu cewek lain jaim di kencan pertama, Dinda justru enggak jaim sama sekali. Dia enggak jaim makan belepotan, dia enggak jaim makan es batu di depanku, dia enggak jaim sama sekali, Kak. Itu alasannya kita pacaran dari kelas X sampai mau lulus kayak sekarang." Nanda mengerjapkan matanya berkali-kali. Ardo yang biasanya tidak banyak omong kini mengejutkannya.

 

"Dan, Kak, aku mohon jangan terus memprovokasi Dinda. Biarin Dinda jadi dirinya sendiri. Aku cinta Dinda apa adanya, Kak," lanjut Ardo dengan mantap. Dinda tersenyum lebar di depan pintu kamarnya. Kedua orang tua Dinda rupanya berdiri tak jauh dari putri mereka dan juga ikut mendengarkan obrolan di ruang tamu. Mereka bertiga tersenyum lebar mendengar kata-kata Ardo.

 

"Din, mau sampai kapan kamu diem di sini?" Dinda menoleh cepat saat merasakan tepukan di pundak kirinya. Dilihatnya ayah dan ibunya tersenyum manis.

 

"Ayo kita berangkat, Sayang." Dinda mengangguk sejenak sebelum berjalan menuju ruang tamu. Dia sudah menemukan jawaban dari kebingungannya. Dia menghampiri Ardo dan menggamit lengan kekasihnya dengan wajah berseri-seri.

 

"Ayo kita berangkat, Do."

 

(oleh: ayu fitri, foto: rebloggy.com, tumblr.com, reddit.com)