Terasa jantungku yang berdetak semakin keras saat mata Danis beradu dengan mataku. Hingga saat ini, tak kusangka aku akan mengatakan semua perasaanku secara terang-terangan di depannya, dan di depan teman-temanku. Nafasku pun ikut berburu dengan deru detak jantungku yang benar-benar telah mencapai level kepanikan tingkat satu. Aku menatap wajah-wajah sekelilingku yang tengah memandangku dengan berbagai macam jenis ekspresi wajah yang sulit kutafsirkan. Heran, tak percaya, syok, kagum, merendahkan, bahkan menghina.
Hawa dingin menyergapku hingga ubun-ubunku. Hingga suara tawa sengit menarik lepas gelak tawa dari semua yang mengelilingiku.
"Jasmine??? Kau? Menyukai Danis?? Apa enggak salah?!" kata Naura dengan nada ketus padaku, mengalihkan pandanganku ke arahnya.
"Ngaca, dong, Jasmine! Elu, tuh, enggak level buat suka sama Danis!" sahut Syafira sambil mendorong pundakku pelan.
"A...aku cuma berusaha jujur! Bukankah itu yang menjadi tantanganku?" jawabku gugup.
"Iya! Tapi lihat-lihat dong kalo mau jujur buat ngungkapin perasaan! Elu pantes, enggak, buat hal itu?!" jelas Rose dengan nada yang terasa menyakitkan, diikuti gelak tawa yang semakin meriah memekikkan telingaku.
"Dasar udik!" celetuk seseorang. "Cupu gitu berani suka sama Danis! Ya enggak level-lah!" celetuk lainnya mencercaku.
Aku terkucilkan di tengah-tengah mereka. Duduk bergidik sambil meremas dress terbaikku yang kupakai khusus untuk acara pesta ini. Aku tak menyangka Rose yang seminggu ini telah dekat denganku, dan berikrar akan menjadi sahabatku selamanya, justru menghardikku dengan kata-kata yang menyakitkan. Kutatap lemah wajah Danis yang duduk di seberangku. Ia duduk santai dengan tangannya yang menutupi ujung hidung dan bibirnya. Gaya khasnya yang selama ini membuatku jatuh cinta. Namun, kulihat ia melirikku dengan sebuah senyuman tersungging di sudut bibirnya.
Tak terasa air mataku mengalir pelan dari sudut mataku. Kuharap kacamataku yang tebal ini dapat menutupinya sehingga tak ada yang melihat. Sayang, Rose menangkap basah wajahku yang mulai sembab.
"Yah! Gitu aja nangis! Dasar cengeng!" seru Rose mencemoohku memancing cemoohan teman-temannya.
"Kenapa kau tega padaku? Bukankah kau bilang kita sahabat?" tanyaku pada Rose sambil menahan tangis yang hampir meledak.
"Helooo! Gue?? Sahabatan sama elo?? Enggak mungkinlah, ya! Elo, tuh, enggak level sama gue," jawabnya kemudian.