Aku menunduk malu.
"Oh ya, tadi kamu mimisan. Tapi kayaknya sudah berhenti. Sekali lagi maaf, ya."
"Enggak apa-apa."
"Kalau enggak keberatan, mau aku antar pulang? Kamu enggak bisa lihat dengan jelas, kan? Tenang, aku bawa motor, kok. Atau...ada yang mau jemput?"
"Ehm..." Aku berpikir sejenak. Sebenarnya tiap hari aku dijemput sopir keluargaku. Tapi, ini kesempatan bagus. Tidak tiap hari ada hari seberuntung ini, kan?
Akhirnya, aku menggeleng. "Enggak ada, kok."
"Bagus, deh." Denis berdiri, menungguku.
Aku berjalan di sampingnya. Kami melintasi koridor yang lengang. Matahari sudah condong ke barat. Senja yang indah. Sayang aku tak bisa melihatnya karena tidak memakai kacamata. Semua yang ada di depanku terlihat kabur. Bahkan wajah Denis juga tampak samar. Jujur saja, hal ini membuatku kesal. Tidak bisa melihat wajah orang yang disukai itu menyebalkan.
Aku memerhatikan Denis dari samping. Merasa diperhatikan, Denis menoleh. Sontak saja aku gelagapan dan menunduk, menghindari tatapannya.
"Kamu lihat apa? Kamu terpesona karena aku ganteng, ya?" Denis nyengir.
Aku menggeleng. "Bukan. Mukamu enggak kelihatan. Aku, kan, enggak pakai kacamata."
"Iya, tahu. Aku cuma bercanda saja, Alia."