Secangkir Teh Vanilla

By Astri Soeparyono, Kamis, 28 Agustus 2014 | 16:00 WIB
Secangkir Teh Vanilla (Astri Soeparyono)

            Bel istirahat berbunyi dan aku tetap di dalam kelas. Sebenarnya aku bosan berada di kelas, tapi aku memang harus tetap di sini. Setidaknya untuk belajar dan mengerjakan PR. Karena kalau tidak dikerjakan sekarang mungkin tak akan selesai.

            Aku mulai memikirkan bahwa sebenarnya aku tak boleh selalu menilai sisi-sisi buruk dari orang lain. Semua ini hanya karena emosiku saja. Toh semua orang pada dasarnya baik hati. Tapi aku selalu kesal melihat mereka. Aku merasa bahwa mereka tak mengerti apa yang kurasakan.

            Tiba-tiba Santi Si Ratu Iblis datang ke kelasku, ia dengan santai menenteng buku harianku. Astaga!

            "Aku suka matanya. Saat ia tersenyum matanya akan bersinar. Saat ia berlari, detak jantungku berpacu. Tubuhku meleleh bagaikan lilin. Aku seperti meminum seribu cangkir teh vanilla. You are so so so charming. I love you full, Joni. Ehm, buku harian Shalissa Selbian." Santi membacakan isi buku harianku, dengan penuh keiblisan dalam dirinya.

            Aku tak menyangka ini. Buku harian yang kutulis saat masuk SMA dulu, hilang dua bulan yang lalu. Dan mengapa bisa sampai ke tangan iblis?

            Santi belum selesai, ia melanjutkan dengan penuh gaya. "Semua orang di sekolah ini munafik. Menurut gue cuma Joni yang normal. Setiap pulang sekolah, gue berdiri di balkon biar bisa liat dia waktu jalan di lapangan. Padahal gue males lama-lama di sekolah, ngeliat orang-orang yang enggak pernah gue suka. Kayak Yogi, cowok yang paling sok ganteng. Rika, sok imut mampus. Anata, gayanya udah kayak menang olimpiade. Anwar, gue enek denger omongannya, tahu politik juga enggak. Yessi, ke sekolah udah kayak mau ke pasar ikan. Trian, sok jago. Monic, sok malaikat. Victor, kayak ayam lepas dari kandang. Bona, kayak beo. Ross, sok asik. Caca, lebih bikin enek lagi. Lebih lagi, kakak kelas gue tercinta, Santi si ratu paling cantik."

            Yang sudah pasti adalah kalimat terakhir ia ganti. Astaga, aku sudah benar gila, badanku gemetar tak percaya hal ini bisa terjadi di dunia nyata. Aku berdiri di hadapan Sinta dengan mata berapi dan kepalaku yang memanas. Aku tak peduli apa pun lagi sekarang. Puluhan murid melihatku. Mereka mengintip dari jendela dan beberapa masuk ke dalam kelas. Aku benci ditonton seperti ini. Aku benci berada di atas panggung. Aku benci berada di sini dan menjadi fokus utama.

            Semuanya sudah terungkap. Sebagian besar nama yang tadi dibacakan adalah teman satu kelasku. Dan Santi masih terus membacakan nama lain.

            Aku menarik rambut Santi dan menamparnya sekuat tenaga sampai ia tersungkur ke lantai. Tak ada yang jadi peran pembantu. Semuanya hanya diam menonton, dan beberapa malah bisik-bisik.

            Aku tersenyum lebar, senyum kebencian yang selama ini kusembunyikan. "Ralat. Bukan Santi si ratu paling cantik, tapi Santi Si Ratu Iblis," kataku padanya. Lalu aku berjalan mengambil tas sekolahku dan pergi meninggalkan kelas. Aku rasa tak ada yang lebih baik dari segera pulang.

            Gerbang sekolah di hadapanku masih terkunci. Satpam yang melihatku membawa tas datang menghampiriku. "Hwaaaadu Selalu Untukmu, mau kemana?" tanya Si Satpam. Lalu ia menyanyikan bagian reff lagu Selalu Untukmu. Lagu itu memang lagu hits-ku. Dan mengapa ia harus selalu menyanyikannya saat bertemu denganku?

            "Saya mau pulang Pak, sakit," aku memberi alasan.