Obsessed

By Astri Soeparyono, Sabtu, 12 April 2014 | 16:00 WIB
Obsessed (Astri Soeparyono)

"Jadi dia, si Logan Lerman nggandeng tangan aku. Rasanya tuh hangaaat banget. Dia juga sempet membelai lembut rambut aku, Rin! Dan kamu tahu? Setelah dia elus-elus rambut aku, dia mau cium aku! Aaaaaa siapa sih yang nggak kegirangan dicium sama bintang super cakep sekaliber Logan Lerman?" April mengambil napas. Dia tidak bisa menahan detak jantungnya yang kini naik sepuluh kali lipat ketika menceritakan kisahnya itu pada sahabatnya, Karin. "Tapi sayang, pas Logan mau cium aku, suara mama aku datang menggelegar!"

            "Iya, suara siapa sih yang enggak menggelegar pas bangunin kamu yang molor kesiangan untuk kesekian kalinya gara-gara mimpi kamu yang terlalu imajinatif? Mimpiin Logan Lermaaan mulu tiap malam! TIAP MALAM!" April menutup kedua lubang telinganya, suara Karin kali ini sama menggelegarnya dengan suara mamanya tadi pagi.

            "Rin, mimpi itu, kan, bisa jadi prediksi masa depan! Bijak-bijak memaknainya, dong! Siapa tau, kan, setelah aku lulus SMA, aku bisa ke Hollywood terus ketemu Logan Lerman, abis itu nikah, deh, sama si ganteng bintang Percy Jackson itu!" Kedua mata April menatap jauh menerawang. Dia sedang membayangkan gimana fantastisnya suasana pernikahannya nanti sama Logan Lerman, tapi otak kanan April lebih condong membayangkan suasana upacara pernikahan adat Jawa. Sekonyol apa bintang film sekeren Logan Lerman pakai setelan pakaian tradisional jawa lengkap dengan atribut kerisnya?

            "Stop! Udah ya, April. Kamu, tuh, udah melayang terlalu tinggi. Hati-hati ntar kalo jatuh bisa sakit banget itu. Mending kalo jatuhnya di tumpukan jerami, nah kalo di tumpukan jarum? Tulang udah patah, tubuh bolong-bolong lagi ketusuk-tusuk," celoteh Karin.

            "Yeee...aku, kan, terbangnya pake parasut! Dan aku akan memilih untuk jatuh ke pelukan Logan Lerman...." Baru semenit, April sudah melaju terbang lagi. Sambil memejamkan mata pula. Mungkin kalau menabrak pohon pun April tidak bisa merasakannya saking imajinatifnya. Sementara Karin hanya geleng kepala menyaksikan pemandangan di sampingnya itu. Jengah.

            Tak lama kemudian, seorang 'pemimpi' lain dalam wujud laki-laki datang ke kelas. Vino, langsung melesat menuju meja Karin dan April. Menuju April, tepatnya.

            "Woy! Merem aja! Meditasi ya?" ledek Vino sambil menepuk bahu April cukup keras hingga ia tersadar. Mungkin baru saja menabrak pohon beringin.

            "Aw! Sakit tau! Enggak bisa lebih kasar lagi, ya?" kata April sinis. Tangan kanannya masih mengelus-elus bahunya.

            "Mm...bisa! Mau aku dorong sampe jatuh ke lantai? Atau jitak kepala? Atau...."

            "Udah, udah! Ngapain, sih, ke sini? Mood breaker banget, tau enggak!" ketus April kesal. Sebenarnya dari dulu April jarang bisa akur sama Vino. Pernah sih, kalau dapat tugas kelompok bareng. Itu saja atas desakan-dalam-bentuk-amarah dari anggota kelompok lain yang jenuh dengerin cekcok mereka berdua.

            Vino tersenyum aneh. Ada makna tersirat di baliknya. April menyipitkan mata, ia tahu arti senyum itu. "Gue yakin pasti PR kimia, kan?" Vino mengangguk jinak. Mungkin kalau April tadi sudah sarapan, akan ia muntahkan langsung bubur kimusnya ke muka Vino. "Enggak usah keimutan gitu deh! Jijik tauk!"

            "Bilang aja gue emang imut! Padahal, kan, gue enggak ngasih pernyataan eksplisit kalo gue lagi ngimut-ngimutin muka. Emang gitu kali wajah gue kalau belum nggarap PR! Karin aja biasa aja, iya enggak, Rin?" Karin terkekeh menyaksikan polah mereka berdua.

            "Ya udah, kalo gitu pinjem Karin aja kimianya!" ketus April.

            "Eh eh, kan, aku udah bilang, buku tugasku lagi dipinjem si Ghea, anak IPA 3," ujar Karin. Vino memamerkan ekspresi 'tuh-dengerin!'-nya. April hanya bisa mendesah, menggerutu dalam hati. Dia tak mau memperpanjang ocehannya dengan Vino. Akhirnya buku tugasnya pindah juga ke tangan Vino.

***

            Vino dan April sama-sama terobsesi. Bukan satu sama lain. Kalau April terobsesi pada aktor muda bertalenta super charming si Logan Lerman, Vino terobsesi oleh aktris muda paling cantik dan pintar sedunia si Emma Watson. Saking terobsesinya sama Watson, Vino sampai menyimpan ratusan lembar foto si pemeran Hermione Granger itu dalam sebuah jurnal sambil memberi tulisan-tulisan kecil di bawahnya seperti: My Future Wife, My Heart Stealer, atau My Every Night's Dream Girlfriend. Bahkan Vino juga punya cita-cita untuk nge-date bareng Emma Watson di kota kelahiran sang idola, Paris. Mungkin itu alasan kenapa dari masa awal puber sampai kelas dua SMA dia belum pernah nembak cewek. Terlalu sibuk mencari 'titisan' Emma Watson.

            April sama gilanya dengan Vino, tapi mungkin dia lebih ekspresif. Biasalah, efek fangirling. Sekali liat tampang rupawan Lerman muncul, dia bisa teriak-teriak histeris seolah dia baru saja menelan ranjau. Barangkali itu alasan mengapa Karin selalu menolak setiap kali April mengajaknya nonton film Percy Jackson. Siapa sih yang sudi ke bioskop sama orang yang rentan menjerit-jerit dan gampang panik seperti "Oh my gosh! OH MY GOSH! Look at this charming guy! Oh. Oh LOOK! He's so HOT!" begitu? Ada juga duit habis, gagal mendalami alur film, telinga bengkak karena teriakan maut dan malu pun terkantongi hasil tatapan aneh penonton lain.

***

            "All you have to do is to analyze a fiction movie based on what I've written on the board, and this assignment must be done in pairs." Mrs. Chris, guru bahasa Inggris yang super fasih dan fast dalam berbicara bahasa Inggris sedang menguraikan tugas. Tugas berpasangan? April dan Karin sudah menduga pasti akan bekerja sama. "But I want to choose the pairs randomly." Ternyata dugaan mereka melenceng.

            "Afina will be with...Bintang, Vera with Malik, Tio with Karin....." Dua per dua nama disebutkan. "And the last will be Vino and April. No complain. Work cooperatively. Well, see you in the next meeting." Mrs. Chris berlalu keluar kelas, sontak Vino dan April saling bertatapan. April menatap Vino dengan ringisan jijiknya, sementara Vino masih melongo tak percaya. Mereka berdua? Apa jadinya kerja mereka tanpa desakan-untuk-akur-berupa-amarah dari anggota kelompok lain yang tidak lagi sekelompok dengan mereka?

***

            Sesuai paparan Mrs. Chris, tugasnya mengenai film fiksi yang tentunya berbahasa Inggris. Sangat sudah pasti kalau April bakal memilih film Percy Jackson dan Vino memilih film Harry Potter.

            "Pokoknya ya, Vin, Percy Jackson itu filmnya bagus. Tentang dewa-dewa gitu. Itu, kan, fantasi fiksinya hidup banget gitu. Dan filmnya itu bener-bener menakjubkan. Jauh menanglah dibanding Harry Potter berkacamata itu," April mengajukan argumennya ketika bertemu dengan Vino di kantin siang ini.

            "Bagus apanya? Harry Potter-lah juaranya! Ada Hermione lagi! Dia, kan, cerdas, rajin belajar, cantik lagi! Karakternya itu bisa dijadikan role model buat pelajar-pelajar kayak kita ini! Pokoknya Harry Potter!" tepis Vino tak mau kalah.

            "Kita? Apanya yang kita? Pake sok-sok ngomong role model lagi. Ngerjain PR kimia aja lo enggak pernah! Jauh lo dari kata RA-JIN," tukas April.

            "Tapi gue, kan, seenggaknya rajin ngerjain lo! Weeekk!" Vino meledek. April melotot. Benar sih, Vino rajin ngerjain dia.

            "Emang lo tuh ngeselin, rese banget!" April hendak memukul bahu Vino tapi tiba-tiba Karin yang membawa segelas jus alpukat muncul menengahi mereka, kena pukul deh segelas jus itu. Tepat menghujani baju Vino. "Bingo! Ha-ha-ha! Thanks ya, Rin! Kamu bener-bener tepat waktu!" decak April puas.

            "EEEEH! Sial! Seragam gue nih! Jadi ijo-ijo gini! Kentel lagi! Tanggung jawab dong!" Vino kesal. Karin merasa tidak enak. Niatnya mau melerai malah makin ribet. "Sori sori, Vin. Gue enggak maksud, kok. Lagian kalian masih aja ribut masalah film. Saran gue aja nih, mending kalian pilih film The Perks of Being A Wallflower aja. Kan pas tuh ada Logan sama Emma. Udah, selesai, kan?" usul Karin dengan terburu-buru. Vino masih sibuk mengibas-ngibaskan tangannya.

            "Setujuuu! Karin pinter, deh! Eh, Vin, ngerjainnya besok di rumah lo aja, ya! Abis rumah gue besok penuh tante-tante. Biasa, arisan nyokap. Ha-ha, bye! Seneng banget gue kalo gini." April langsung menarik Karin menjauh dari Vino.

            "Apriiilll! Dasar otoriter lo! Tanggung jawab, nih, baju gue!" teriak Vino. April berlalu bersama lambaian tangannya.

***

            Sebenarnya April malas banget kerja sama Vino di rumahnya berduaan. Meskipun enggak bener-bener berdua dalam satu rumah. Tapi bagaimana lagi? April sudah gagal mengajak Karin yang mendadak mau nonton pertandingan softball. Padahal si Karin bedain pitcher sama butcher aja enggak bisa. Jadilah April berakhir di atas sepeda motor diboncengin Vino.

            "Udah sampe, nih, buruan turun, dong!"  ketus Vino sambil mematikan mesin motor.

            "Iya iya! Sabar, dong! Lo enggak liat gue duduk nyamping di motor lo yang tinggi gini, pake rok selutut lagi! Susah tau! Kalo gue enggak inget lo itu cowok, udah duduk mekangkang aja gue dari tadi!" April mengomel. Dia terpaksa memegang bahu Vino sebagai tumpuan untuk turun.

            Vino mempersilakan April masuk, "Nyokap bokap gue lagi enggak ada di rumah. Jadi santai aja, ya." April hanya manggut-manggut sambil mengedar pandangan ke sekeliling bak arsitek yang mengamati seluk beluk bangunan.

            "Eh, mau minum apa?" tanya Vino tiba-tiba. Ada nada keramahan pada kalimatnya kali ini. April menggeleng, "Apa aja, deh. Eh, ada teh anget, enggak? Atau jus jeruk yang seger? Atau susu cokelat...."

            "Gimana sih, katanya apa aja! Yang bener, dong," gerutu Vino kesal. April tertawa, "Ha-ha bercanda doang. Air putih deh, yang dingin ya." Vino lalu melesat ke dapur mengambil sebotol air putih dingin. Tak lama kemudian ia sudah kembali ke ruang tengah.

            Vino menyalakan laptopnya, hendak membuka folder berisi file film The Perks of Being A Wallflower. "Gue berani taruhan lo pasti udah nonton filmnya."

            "Lo juga pasti udah, kan?" April membalas. Ketika layar monitor sudah menyala, tampak foto Hermione Granger. "Lo kok bisa segitu terobsesinya, sih, sama Emma Watson? Emang sih cantik, tapi seleb cewek lain masih banyak, lho, yang lebih cantik dan seksi."

            "Mau gue jawab jujur atau bohong?" Vino menawar seolah sedang terjadi transaksi kebenaran. April mengernyit, "Ya jujur, dong!"

            "Apa, ya? Gue sendiri juga bingung." Mendengar itu April mendesah. Gimana sih nih anak. Vino mengubah posisi duduknya, lebih serong ke April. "Gue tuh suka dia karena dia cantik, pinter, berbakat. Down to earth lagi. Punya rasa keingintahuan yang tinggi. Pokoknya semuanya deh!" Ia mengambil jeda, kemudian berkata lirih. "Ya...kayak lo."

            "Apa? Apa tadi yang terakhir? Gue enggak denger. Ulangi lagi?" April memasang muka sok tulinya.

"Ogah ah! Makanya kalo diajak ngomong, pasang tuh kuping!" Vino beralih lagi jadi nyebelin. "Eh, lo sendiri kenapa bisa suka sama si...Logan Lerman? Padahal masih cakepan gue."

            "Iiuuhh kepedean banget lo! Dia itu tipe-tipe cowok idaman gue! Segala yang ada di diri dia itu perfect! Jauh lah sama lo!" Ocehan April cukup membahana di ruang tengah yang hening itu.

"Emang lo nggak ada niat buat nyari cowok yang sama sekali enggak ada kemiripan sama Logan Lerman?" tanya Vino tiba-tiba. Pertanyaannya lebih seperti mengajukan diri. April jadi kikuk, bingung menjawabnya. Bilang enggak tapi mustahil, iya juga mustahil.

            "Emm...mungkin iya mungkin enggak."

            "Mungkin?!" Vino tampak bersemangat. April makin tak nyaman. "Gue jadi pengin pipis, toilet mana sih, Vin?" Dagu Vino menunjuk ke arah belakang, "Tuh, di sana." April cepat-cepat beranjak pergi. Sebenarnya dia tidak kebelet, tapi dia ingin memperbaiki penampilan. Entah kenapa dan untuk apa.

            Sambil mencari-cari toilet, April menelusuri rumah Vino yang terbilang rumah gedongan. Tapi biasalah, yang diincar pasti adalah kamar si tuan rumah alias kamar Vino. Baru beberapa langkah, sudah ketemu juga. Bisa dilihat jelas dari pintunya ada foto Emma Watson plus tulisan 'Vino's Room, Knock on!'. Pintunya terbuka sedikit, langsung ngeluyur masuk saja si April.

            Kalau diperhatikan, tidak terlalu banyak poster Emma Watson yang terpampang. Hanya ada tiga. Salah duanya dalam wujud Hermione. Mumpung ada cermin di dekat meja belajar, April langsung mematut diri untuk 'berbenah'. Namun kemudian perhatiannya teralihkan oleh satu buku berwarna biru tua. Tidak seperti buku catatan, buku harian...mungkin jurnal. Ya, itu jurnal milik Vino. Jurnal yang hampir seluruh halamannya terisi oleh potret Emma Watson.

            "Dasar...obsessed. Ups!" April mengunci mulutnya. Merasa kalau kalimat itu sebenarnya juga berarti untuk dirinya. Halaman demi halaman ia buka, isinya yah...itu-itu saja. April meloncat ke halaman yang ditandai dengan pita warna merah. Ia tersentak, terperanjat, terkejut sekejut-kejutnya. Mungkin kalau ini sinetron, wajahnya akan di-zoom in kemudian baru isi halamannya. Fotonya! Ia seperti bercermin. Ya, itu foto dirinya mengenakan kebaya saat acara hari Kartini beberapa bulan lalu. Pelan ia melirik ke tulisan kecil di bawahnya "My 'Now Emma Watson'"

            Drrttt... Drrrtt... Hape April bergetar. Ada sms dari Karin.

Apriiil, sahabat aku yg cantik. Sori ya aku tadi bohong. Sebenernya aku ga nonton softball, tapi lagi nonton nih sama Tio xD Oh ya, ini juga atas permintaan Vino. Dia bilang dia suka sama kamu! Mungkin abis ini kamu mau ditembak? Haha, dia sebenernya baik lho! Eh jangan sering2 jutekin dia ya!

            Saraf otonom April memerintah otot wajahnya untuk menarik simpul senyum. Ia berkicau dalam hatinya. Vino mungkin enggak punya tampang yang sebelas dua belas sama Logan Lerman. Tapi kalau dilihat lagi, dia oke, kok. Let's meet my now Logan Lerman!

(Oleh: Lisa Angelia, foto: tumblr.com)