Nyanyian Alam

By Astri Soeparyono, Sabtu, 5 April 2014 | 16:00 WIB
Nyanyian Alam (Astri Soeparyono)

            Heran sekali saat tahu Pohon Manggis ingin menjadi diriku yang merana. Tak tahukah dia tentang diamku yang nelangsa? Memikirkan tingkah manusia yang membuatku binasa. Bukannya aku ini durhaka, aku hanya ingin terlepas dari sikap manusia yang semena-mena. Mereka tak mampu merasa tentang diriku yang tersiksa. Manusia menggorokku dengan liarnya, tak peduli dengan konsekuensi yang ada. Tanpa diriku akan menjadi apa manusia? Tak ada lagi yang akan melindungi mereka. Aku ingin berubah menjadi Bencana sekarang juga. Menggerogoti semua yang ada hingga manusia ikut binasa. Bencana, sungguh aku ingin menjadi seperti dirimu yang merdeka.

 

Jeritan Bencana

Bukan salahku yang berani

Salah manusia yang tak terpuji

Ganas, liar, menumbangkan para Jati

Lalu kami menyerang berapi-api

Membalas mereka agar mengerti

Bagaimana alam tak emosi

Karena manusia telah menyakiti yang mengabdi

            Inilah tugas kami untuk mengahikimi manusia keji. Karena kerakusan mereka yang semakin menjadi. Sesungguhnya bukan ini yang kami ingini, tapi manusialah yang telah memulai. Saat semuanya telah terjadi mereka menjerit dalam sepi. Sesal mereka sudah tak berarti lagi. Ini hanya permulaan dari kami.

***

            Seorang anak kecil berlari kesana kemari, mencari abang dan orangtuanya. Hampir saja dia menangis kalau abangnya tak segera tiba. Matanya berbinar saat melihat abangnya yang bermandikan lumpur menghampirinya, kemudian menggendongnya dengan susah payah. Anak kecil itu segera menggoda abangnya. Menjambak rambut cepak abangnya yang terbungkus lumpur basah. Berbeda dengan adiknya, wajah si abang sudah berluluran air mata. Matanya perih, rasa sakit di kakinya membuatnya terpincang-pincang menjauhi longsoran gunung raksasa.

            Di tepi jalan raya, semua orang yang selamat berkumpul dengan gelisah. Suara rintihan mereka tertelan derasnya hujan yang mengguyur kampung itu sejak tadi pagi. Si abang yang menggendong adiknya menelusup masuk ke kerumunan, mencoba mencari ibu bapaknya yang masih saja belum terlihat oleh mata sayunya. Gelapnya malam membuat matanya sulit untuk menerka.

            "Senja? Itukah kamu, Nak?" jerit seorang wanita setengah baya, tubuhnya juga penuh dengan lumpur yang mulai meleleh karena hujan.

            Si abang segera berlari menghampiri wanita yang memanggilnya. Adiknya mulai menangis karena kedinginan.

            "Senja, kuatkan hatimu," kata perempuan itu lagi.

            Senja tak mengerti apa maksud perempuan itu. Sambil masih menggendong adiknya dia mendekati pusat kerumunan. Kini semua orang menatap iba dia dan adiknya, hening.

Di hadapan senja, tergeletak sepasang manusia yang telah membujur kaku. Bibir senja bergetar, dan lelehan air matanya semakin menjadi. Kedua manusia itu adalah bapak dan ibunya. Adiknya sepertinya mengerti karena tangisannya bertambah keras. Dengan kesusahan Senja duduk di samping kedua orangtuanya, menciumi mereka satu persatu. Ingin rasanya dia menjerit, tapi hanya batinnya yang bersuara. Pikirannya hampa, dan perasaannya mati rasa.

Dua anak kecil itu terus saja menangis hingga sang fajar tiba. Deretan orang-orang yang senasib dengan orangtua mereka sudah terjajar rapi di kanan kirinya. Dengan anggunnya sang mentari mengintip dari balik longsoran gunung. Seolah ingin memamerkan betapa dahsyat dan parahnya bencana semalam. Kampung itu benar-benar rata oleh tanah, semua bangunan megahnya telah lenyap.

Tak ada lagi kecongkakan yang terlihat dari para manusia itu. Semuanya berserah diri kepada Tuhan, menyesali perbuatan mereka. Kekayaan dunia telah membutakan mata mereka, kini yang tersisa hanya kehampaan belaka. Keserakahan yang menjadikan semuanya tiada.

Yang ada di benak semua orang adalah memperbaiki semuanya. Memulai persahabatan dengan alam yang selama ini mereka sia-siakan. Yang berlalu jadikan sebuah pelajaran untuk kita melangkah ke depan. Belajarlah, karena sesungguhnya alam itu perasa.

(Oleh: Titi Setiyoningsih, foto: weheartit.com)