Rintihan Lumut
Kenapa semua mencaci
Bila mereka tahu ku tak memaki
Pikirnya ku tak punya hati
Yang mereka anggap sebagai nurani
Mungkin aku memang tak berarti
Tak punya daun dan akar sejati
Inginku mencuri
Memiliki yang selama ini kuingini
Aku ini hanyalah lumut yang iri hati dan pendengki. Menjadi Rumput adalah hal yang selalu aku ingini. Rumput bisa bermain dan menari-nari, tak seperti diriku yang selalu dicaci. Menjadi benalu adalah karier yang aku jalani, menghancurkan batu menjadikan erosi. Lalu siapa peduli dengan makhluk kerdil ini? Senangnya bila diriku menjadi Rumput yang asri.
Gesekan Rumput
Biarkan mereka tertawa
Atau meratapi semuanya
Bukankah aku hanya sebuah hama
Yang tak pernah menjadi bermakna
Inginku menjadi dia
Semua miliknya berharga
Semua memandang rendah diriku karena aku hanyalah hama. Aku ini rumput, lalu apa masalahnya? Masalahnya karena aku ingin menjadi berguna. Seperti Manggis Hutan yang selalu dipuja. Semua hal yang ada pada dirinya adalah mahkota. Tak seperti aku yang selalu dianggap pengganggu belaka. Aku hanya mampu menari tanpa daya. Diterpa angin nakal yang senang menggoda. Sungguh ingin ku menjadi Manggis Hutan yang berharga.
Siulan Manggis Hutan
Haruskah ku selalu membisu
Membiarkan semua mencuri buahku
Bahkan aku sendiri tak mampu
Memandang indahnya langit yang biru
Salahkah bila kumengadu
Ingin menjadi seperti dirimu
Aku hanyalah Manggis Hutan yang selalu merindu akan buahku. Semua mengambil tanpa seijinku. Lalu siapa kelak yang akan menjadi penerusku bila tak ada buah yang jatuh di bawah situ. Tak ada yang menghibur karena semua membisu. Hanya mampu mendengar kicauan burung tentang indahnya langit biru. Bagaimana aku dapat melihat langit biru? Pohon Jati mengahalangi pandanganku. Bahkan hanya sedikit kehangatan matahari yang mampu melewati Pohon Jati itu. Ingin rasanya menjadi Pohon Jati yang mampu menatap langit biru. Bermandikan cahaya matahari tanpa harus beradu.
Desisan Pohon Jati
Bodohnya mendengar rintihan mereka
Menganggapku paling berharga
Diamku adalah merana
Menangis diam karena manusia
Mereka semena-mena
Membunuhku dengan liarnya
Heran sekali saat tahu Pohon Manggis ingin menjadi diriku yang merana. Tak tahukah dia tentang diamku yang nelangsa? Memikirkan tingkah manusia yang membuatku binasa. Bukannya aku ini durhaka, aku hanya ingin terlepas dari sikap manusia yang semena-mena. Mereka tak mampu merasa tentang diriku yang tersiksa. Manusia menggorokku dengan liarnya, tak peduli dengan konsekuensi yang ada. Tanpa diriku akan menjadi apa manusia? Tak ada lagi yang akan melindungi mereka. Aku ingin berubah menjadi Bencana sekarang juga. Menggerogoti semua yang ada hingga manusia ikut binasa. Bencana, sungguh aku ingin menjadi seperti dirimu yang merdeka.
Jeritan Bencana
Bukan salahku yang berani
Salah manusia yang tak terpuji
Ganas, liar, menumbangkan para Jati
Lalu kami menyerang berapi-api
Membalas mereka agar mengerti
Bagaimana alam tak emosi
Karena manusia telah menyakiti yang mengabdi
Inilah tugas kami untuk mengahikimi manusia keji. Karena kerakusan mereka yang semakin menjadi. Sesungguhnya bukan ini yang kami ingini, tapi manusialah yang telah memulai. Saat semuanya telah terjadi mereka menjerit dalam sepi. Sesal mereka sudah tak berarti lagi. Ini hanya permulaan dari kami.
***
Seorang anak kecil berlari kesana kemari, mencari abang dan orangtuanya. Hampir saja dia menangis kalau abangnya tak segera tiba. Matanya berbinar saat melihat abangnya yang bermandikan lumpur menghampirinya, kemudian menggendongnya dengan susah payah. Anak kecil itu segera menggoda abangnya. Menjambak rambut cepak abangnya yang terbungkus lumpur basah. Berbeda dengan adiknya, wajah si abang sudah berluluran air mata. Matanya perih, rasa sakit di kakinya membuatnya terpincang-pincang menjauhi longsoran gunung raksasa.
Di tepi jalan raya, semua orang yang selamat berkumpul dengan gelisah. Suara rintihan mereka tertelan derasnya hujan yang mengguyur kampung itu sejak tadi pagi. Si abang yang menggendong adiknya menelusup masuk ke kerumunan, mencoba mencari ibu bapaknya yang masih saja belum terlihat oleh mata sayunya. Gelapnya malam membuat matanya sulit untuk menerka.
"Senja? Itukah kamu, Nak?" jerit seorang wanita setengah baya, tubuhnya juga penuh dengan lumpur yang mulai meleleh karena hujan.
Si abang segera berlari menghampiri wanita yang memanggilnya. Adiknya mulai menangis karena kedinginan.
"Senja, kuatkan hatimu," kata perempuan itu lagi.
Senja tak mengerti apa maksud perempuan itu. Sambil masih menggendong adiknya dia mendekati pusat kerumunan. Kini semua orang menatap iba dia dan adiknya, hening.
Di hadapan senja, tergeletak sepasang manusia yang telah membujur kaku. Bibir senja bergetar, dan lelehan air matanya semakin menjadi. Kedua manusia itu adalah bapak dan ibunya. Adiknya sepertinya mengerti karena tangisannya bertambah keras. Dengan kesusahan Senja duduk di samping kedua orangtuanya, menciumi mereka satu persatu. Ingin rasanya dia menjerit, tapi hanya batinnya yang bersuara. Pikirannya hampa, dan perasaannya mati rasa.
Dua anak kecil itu terus saja menangis hingga sang fajar tiba. Deretan orang-orang yang senasib dengan orangtua mereka sudah terjajar rapi di kanan kirinya. Dengan anggunnya sang mentari mengintip dari balik longsoran gunung. Seolah ingin memamerkan betapa dahsyat dan parahnya bencana semalam. Kampung itu benar-benar rata oleh tanah, semua bangunan megahnya telah lenyap.
Tak ada lagi kecongkakan yang terlihat dari para manusia itu. Semuanya berserah diri kepada Tuhan, menyesali perbuatan mereka. Kekayaan dunia telah membutakan mata mereka, kini yang tersisa hanya kehampaan belaka. Keserakahan yang menjadikan semuanya tiada.
Yang ada di benak semua orang adalah memperbaiki semuanya. Memulai persahabatan dengan alam yang selama ini mereka sia-siakan. Yang berlalu jadikan sebuah pelajaran untuk kita melangkah ke depan. Belajarlah, karena sesungguhnya alam itu perasa.
(Oleh: Titi Setiyoningsih, foto: weheartit.com)