Airmata Sakura

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Maret 2014 | 16:00 WIB
Airmata Sakura (Astri Soeparyono)

Hamparan tikar bambu juga sederet makanan kecil masih berjejer di samping keranjang, termasuk sebuah buku harian berwarna merah muda milik Ayumi. Sementara Miyuki duduk mematung, melihat ke sekeliling Murayama Koen[1] yang dipadati pengunjung. Mata cokelatnya mencari-cari Ayumi, gadis berambur kuncir kuda dengan sebuah pita merah muda terselip di rambutnya. Baru saja, setelah dia menutup telpon dari Shinji, kekasihnya, dia tersadar kalau sahabatnya yang tadi duduk di sampingnya menghilang tanpa memberitahu ke mana dia akan pergi.

            Hingga matanya kembali tertumbuk pada halaman buku harian Ayumi yang terbuka. Ada sebuah catatan yang dilelehi airmata dan sebuah kelopak sakura yang jatuh tepat di atasnya.

 

            Hiroshi, aku tak tahu sebenarnya apa itu cinta. Padahal sering sekali aku menuliskannya. Aku tak mengerti, cinta itu di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana. Aku hanya tahu -hanya sekedar tahu- bahwa cinta ada di dalam hati, dan dirasakan oleh jiwa. Hiroshi, adakah cinta lain yang mampu kurasakan selain dirimu?

            Hembusan angin musim semi yang berbaur dengan riuh tawa orang-orang yang sedang ber-hanami[2], tak menarik lagi bagi Miyuki. Dia berusaha keras mengusir pikiran buruk tentang Ayumi. Apalagi, dia tak bisa meninggalkan tempat duduknya hingga Shinji tiba.

***

            Sekelebat hitam mengelilingiku tiba-tiba. Mata tajam mereka yang tersembunyi di balik topeng ninja, menatapku tanpa ampun. Mereka berdiri dalam posisi menyerang dengan tangan kanan yang sudah siap menarik samurai keluar dari sarungnya.

            "Dare wa[3]?" tanya salah satu di antara mereka dengan suara kasar.

            Aku menelan ludah. "Yamada Ayumi." Kerongkonganku tercekat.

            Tatapan mereka makin menyelidik.

            "Dia temanku!" sebuah pekikan berasal dari belakangku, di balik rindangnya pohon ceri tempatku bersandar.

            Kemudian tengkukku terasa ditiup angin, dan sesosok pemuda seusiaku berdiri di sampingku. Sikapnya seolah melindungiku. Hati-hati sekali dia bergerak mendekat, lalu tangannya terulur pelan setelah orang-orang yang tadi mengelilingiku kembali berdiri tegap.