When 7 Days Left

By Astri Soeparyono, Sabtu, 1 Februari 2014 | 16:00 WIB
When 7 Days Left (Astri Soeparyono)

Itu aku? Aku bisa melihat diriku sendiri? Melihat tubuhku tergeletak di lantai keramik kamar mandi. Sedangkan aku sendiri berdiri menatapnya.

Apa-apaan, nih?

Aku masih menatap dengan syok saat tiba-tiba pintu kamar mandi menjeblak terbuka dan Cahya, kakak perempuanku, menerobos masuk dengan ayahku di belakangnya. "Ya Tuhan, ya Tuhan," suara Cahya gemetar sambil memeluk tubuhku yang terkulai di lantai dan masih memakai seragam abu-abu. Seragamku basah kuyup oleh air yang menggenang di mana-mana dari air keran yang mengalir tanpa henti. Tapi air itu tidak berwarna bening, melainkan keruh berwarna merah.

Aku membekap mulutku sendiri dengan leher tercekat. Tentu saja aku tahu apa yang sudah kulakukan. Dan kenapa pergelangan tanganku terus mengucurkan darah, lalu kenapa silet itu ada di sana. Aku tahu, tentu saja. Aku, kan, yang melakukannya.

Putus asa. Kecewa. Malu. Marah. Frustasi. Itulah yang telah kurasakan. Hampir semuanya bilang: "Duniamu tidak akan berakhir hanya karena ini, Lena. Semuanya pasti akan baik-baik saja." untuk menghiburku. Tapi mereka enggak mengerti! Enggak ada yang benar-benar paham. Saat menatap dua kata janggal pada surat pengumuman kelulusan itu tadi pagi. Hanya dua kata. Tapi dua kata itu sanggup mengaduk isi perutku dan membuat duniaku berputar.

Karena aku hanya butuh satu kata saja. Kata "LULUS" tanpa kata "TIDAK" di depannya.

Mungkin semua memang salahku. Aku sadar aku enggak berusaha yang terbaik, dan aku bukan jenius. Bahkan saat 7 hari menjelang ujian aku selalu tertidur saat belajar. Tapi aku enggak sanggup, setelah semua ini akhirnya terjadi, aku bahkan enggak berani menatap mata orang lain. Aku lupa bagaimana cara menegakkan kepala. Aku takut mendapat tatapan-tatapan mencemooh, mengejek, bahkan kalau ada yang menatapku iba, harga diriku rasanya runtuh.

Dan bagaimana dengan ibuku? Selama ini dia selalu membimbingku, mendukungku, dan berdoa untukku. Dia melakukan semua yang terbaik untukku. Dia bahkan selalu percaya aku akan berhasil. Tapi apa yang kuberi?

Aku hanya ingin semua ini berakhir. Rasa sakitku, rasa malu yang akan dialami orangtuaku. Semuanya.

Tapi seharusnya sama sekali enggak seperti ini.

Aku mengikuti Kak Cahya dan Ayah yang membopongku keluar dengan panik. Kak Cahya berusaha menghubungi dengan ponselnya, tapi ponsel itu malah tergelincir dari tangannya dan jatuh lalu pecah di lantai. "Cahya, ambilkan kain!" ucap Ayah setengah menjerit, "Kain apa saja!"

            Tanpa ragu kak Cahya mengulurkan cardigan putih faforitnya, Ayah menerimanya tanpa melihat sambil meraba-meraba denyut nadi di leherku. Dan tiba-tiba ekspresi Ayah membeku, cardigan Kak Cahya merosot begitu saja dari genggamannya. "Lena udah... enggak ada," bisiknya lirih dan tersendat seolah takut ada yang mendengar.