Inong

By Astri Soeparyono, Kamis, 19 Desember 2013 | 16:00 WIB
Inong (Astri Soeparyono)

"Kenapa sih aku harus manggil dengan sebutan Inong?"

 

"Emang Inong kenapa?"

 

"Kan enggak gaul banget!"

 

Cewek dengan rambut ikal kepirangan itu tampak merengek di hadapan seorang wanita setengah baya. Sementara wanita itu malah enggak peduli dan masih aja asyik memilih pakaian yang tergantung di salah satu toko pakaian di mall itu. Meskipun dicuekin, cewek itu tetap merengek, enggak peduli kalo ada beberapa pasang mata yang melihat dengan kebingungan ke arahnya.

 

"Emang ada peraturan yang nyuruh kalo kita harus memanggil ibu dengan sebutan yang gaul?" tanya perempuan setengah baya itu.

 

"Tapi Risha malu, Nong. Temen-temen Risha manggilnya keren, mami atau mom, masa Risha kalah keren, sih?"

 

"Terserahmu saja, Sha."

 

Risha lahir dari keluarga yang punya kebudayaan yang sama, baik ibu maupun ayahnya. Darah Batak mengalir dalam tubuhnya. Keluarga Risha masih membiasakan anak-anaknya untuk menjaga kebiasaan adat mereka, meskipun ayah dan ibu Risha besar di Jakarta. Bahkan kakak Risha yang sudah tinggal di Amerika pun fasih berbahasa Batak. Hanya Risha, si anak bungsu, yang punya selera berbeda dengan kakaknya.

 

"Risha kenapa?" tanya Tiur, kakak Risha yang akan pergi studi ke Australia dalam waktu dekat ini.

 

"Risha lagi bete, kak."

 

"Berantem lagi sama Inong?"

 

"Habisnya Inong enggak pernah bisa ngertiin Risha, sih."

 

"Inong yang enggak bisa ngertiin kamu atau kamunya yang enggak bisa ngertiin Inong?"

 

"Ih, Kak Tiur kok nuduh aku kayak gitu, sih?"

 

"Bukan gitu maksud Kakak, harusnya kamu menilai aja. Siapa yang pantes disebut salah."

 

Risha menggigit bibirnya karena kesal. Meskipun Risha anak bungsu, Risha terbiasa untuk tidak melawan saat kakaknya menasehati. Risha tidak pernah mengadu pada orang tuanya kalau kakaknya memarahinya. Tapi kakak Risha juga tidak pernah memarahi Risha tanpa alasan. Jadi, Risha selalu patuh pada nasehat kakaknya.

 

"Iya deh, nanti Risha minta maaf sama Inong." kata Risha akhirnya.

 

***

 

"Abang!" teriak Risha.

 

Richard, kakak pertama Risha, baru aja pulang dari perjalanan bisnisnya di negeri sakura. Karena Richard laki-laki, Risha enggak manggil kakak tapi abang. Meskipun jarak umurnya lumayan jauh, tapi Richard adalah kakak yang paling deket sama Risha. Makanya pas tahu kakaknya pulang, Risha buru-buru ngebatalin acara nonton sama temennya buat menjemput Richard di bandara.

 

"Eh, Risha makin cantik." kata Richard sambil mencubit pipi adiknya.

 

"Apanya yang cantik? Inong bilang aku anak Inong yang paling jelek."

 

"Inong ngomong gitu karena Inong kalah cantik sama kamu, Sha."

 

"Serius, Bang?"

 

"Iyalah. Masak Abang bohong."

 

Risha tersenyum senang kemudian dia membantu abangnya membawa barangnya ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan Risha bercerita mengenai pendapatnya yang seringkali menjadi pemicu pertengkaran dengan ibunya itu. Richard hanya tertawa melihat celotehan adik bungsunya itu.

 

"Jadi menurut Risha, panggilan Inong itu enggak keren?" tanya Richard.

 

"Iya, Bang. Jaman sekarang itu udah modern. Enggak ada lagi yang manggil itu, kan lebih oke kalo kita manggilnya mami atau mama gitu."

 

"Artinya sama aja kan, Sha?"

 

"Iya sih. Tapi buat Risha enggak keren, bang. Risha penginnya manggil mami."

 

"Emang kelebihannya manggil mami apa, Sha?"

 

"Lebih keren, bang."

 

"Cuma itu doang?"

 

"Iya, Bang. Jadi kalo di mall Risha keliatan keren manggil Inong dengan sebutan mami. Keliatannya lebih elit, bang."

 

Richard mengusap kepala Risha dengan gemas. "Kamu, tuh, ada-ada aja sih, Sha."

 

"Ih, Abang. Coba aja Abang jalan di mall terus manggil Inong, pasti diliatin banyak orang deh. Kan malu, Bang."

 

"Abang kira kalau kamu udah SMA kamu jadi nambah dewasa, Sha. Ternyata kamu masih aja kayak bocah. Kalau gitu Abang enggak akan ngijinin kamu pergi di atas jam tujuh malam."

 

"Ih, Abang!"

 

"Habisnya kamu masih kaya anak kecil, sih."

 

"Ini bukan persoalan ringan, Bang. Ini mengenai sebutan untuk Inong. Kita harus ganti sebutan itu menjadi sebutan yang lebih keren."

 

"Nanti, ya, Abang bakalan jelasin lebih lengkap biar kamu ngerti. Abang cape banget, nih. Kamu pijitin abang, ya."

 

Lagi-lagi Risha hanya memanyunkan bibirnya mendengar perintah abangnya yang sudah berbaring di pangkuannya kemudian tertidur.

***

 

Sekolah dihebohkan dengan kedatangan murid baru yang katanya datang dari luar negeri. Risha keliatan antusias banget pas ngeliat murid baru itu masuk ke kelasnya. Pak Dudung, guru biologi yang mengantarkan ke kelas.

 

"Nama saya Ricardo. Panggil aja Rico," katanya singkat.

 

Cowok tinggi dengan kulit sawo matang itu dipersilakan duduk, dan dia kebagian duduk tepat di bagian belakang kursi Risha. Pas jam istirahat, Risha sengaja membalikkan kursinya dan duduk menghadap ke arah Rico. Begitu juga dengan beberapa teman yang lain, mereka ikut bergabung untuk bicara dengan teman baru ini.

 

"Gue ikut bokap kemari. Sebelumnya udah tinggal di sana sama nyokap. Kasian bokap di sini sendirian, jadi gue balik," kata Rico ketika ditanya kenapa ke Indonesia.

 

Sepulang sekolah, ketika Risha sedang merapikan tasnya, Rico kemudian berdiri di samping Risha dan memandangi Risha dengan serius.

 

"Kenapa?" tanya Risha kebingungan.

 

"Enggak. Eh, hari ini temenin gue makan es krim, yuk. Katanya es krim di seberang sekolah enak, ya?"

 

Risha yang memang doyan banget makan es krim, langsung mengangguk dengan semangat. Risha paling enggak bisa nolak yang namanya es krim. Es krim adalah salah satu alasan yang membuat Risha lebih dekat dengan Richard. Karena abang satu-satunya itu rajin banget membelikan Risha es krim.

 

Pas lagi makan es krim, tiba-tiba handphone Rico bunyi, buru-buru Rico mengangkatnya.

 

"Enyak!" teriak Rico.

 

Risha hampir aja keselek es krim melihat cowok keren yang ada di depannya memanggil seseorang yang bertelepon dengannya dengan sebutan enyak. Rico keliatan gembira banget dan berkali-kali kata 'enyak' itu keluar dari mulutnya. Setelah lima belas menit berlalu, Rico mematikan teleponnya.

 

"Nyokap gue. Baru ditinggal bentar aja udah kangen," kata Rico tanpa ditanya.

 

"Elo manggil nyokap dengan kata enyak?" tanya Risha heran.

 

"Iya. Kenapa emang?"

 

"Waktu di Aussie, elo juga manggil gitu?"

 

"Iya. Nyokap gue Betawi asli, loh!" kata Rico sambil tertawa.

 

"Bahkan kalau jalan-jalan di mall elo manggil gitu?"

 

"Iya. Kenapa, sih? Memang aneh?"

 

"Enggak malu?"

 

Rico tertawa terbahak-bahak, lalu memakan es krimnya yang sudah meleleh gara-gara dicuekin selama lima belas menit. Setelah makan dia menatap Risha sesaat.

 

"Kenapa mesti malu, Sha? Itu kan kebudayaan kita. Gue malah bangga punya panggilan yang beda buat nyokap gue. Temen-temen gue aja pada iri sama gue karena gue bisa bicara Bahasa Indonesia sama nyokap, kata mereka gue keliatan hangat dan dekat dengan nyokap gue."

 

Nafas Risha serasa tertahan di dada. Bahkan temennya yang jelas-jelas tinggal di luar negeri, tanpa malu memanggil dengan gaya khas sukunya pada nyokapnya. Sedang Risha, baru jalan-jalan di mall Jakarta, yang isinya kebanyakan orang Indonesia, udah malu banget manggil Inong. Risha jadi ngerasa nyesel banget udah mempermasalahkan panggilan ibunya itu.

 

"Lagian, Sha. Panggilan kan sama aja, yang penting artinya. Gue dengan latar belakang budaya Betawi, ya gue manggil enyak. Mereka, orang bule itu, manggil mom. Bagi gue sama aja."

 

***

 

"Bang, Risha mau tanya."

 

"Tanya apa?"

 

"Selama Abang di Jepang, apa Abang pernah ngomong pake bahasa Batak?"

 

Richard ketawa lagi terus dia nyubit pipi Risha dengan gemas. "Pernah dong. Kalo Inong nelpon Abang kan pake bahasa Batak."

 

"Di tempat kerja, Bang?"

 

"Iya. Asal jangan pas jam kerja."

 

"Abang enggak malu?"

 

"Malu? Kenapa mesti malu?"

 

"Kan enggak keren, Bang."

 

"Ih, kamu, tuh, ngurusin keren melulu. Nih, abang kasih tau. Salah satu atasan abang ada yang orang Indonesia dan ketika dia mendengar Abang bisa ngomong bahasa Batak, dia salut sama Abang. Dia jadi ngasih kepercayaan lebih buat Abang. Dia salut karena Abang masih menjaga kebudayaan kita."

 

"Jadi Inong itu enggak norak ya, Bang?"

 

"Tentu enggak dong, Sha. Malah keren. Atasan abang itu, udah bisa bahasa Inggris, Jepang, Perancis dan dia malah pengen belajar bahasa Batak sama abang. Harusnya kamu malu nggak bisa bahasa daerah kamu sendiri, Sha. Kalau bukan kita yang jaga kebudayaan kita, siapa lagi, Sha? Cuma kamu, lho, di rumah ini yang enggak bisa ngomong Batak."

 

Risha terdiam. Ternyata pemikirannya tentang keren itu salah besar. Keren itu bukan persoalan manggil ibu dengan kata mother atau mom. Keren itu identitas diri kita sendiri dan Inong adalah panggilan yang paling keren yang pernah ada. Risha tersenyum lebar.

 

"Kenapa nyengir?" tanya Richard.

 

"Risha mau nyari inong."

 

"Ngapain?"

 

"Minta diajarin bahasa Batak."

 

***

 

(oleh: Y. Magdalena, foto: weheartit.com)