Hari ini, terlalu kelabu untuk diceritakan. Aku dipermalukan oleh senior, nilai ulanganku menurun dan terlalu banyak tugas yang harus kukerjakan. Aku menatap ke langit mendung yang sudah menutupi harapanku. Ah, bisakah ini tak lebih buruk lagi?
Hujan mulai membasahi seluruh tubuhku. Aku berteduh di depan toko topeng mungil yang kelihatannya sepi. Terdengar derap langkah kaki di belakangku. Aku menoleh ke belakang. Dia tersenyum dan mempersilakanku masuk.
"Masuk saja, terlalu dingin di luar," katanya sambil tersenyum simpul.
Sebenarnya, aku sangat ingin menolaknya. Tapi, tubuhku yang menggeletar kedinginan mendorongku untuk berkata, "Baik, terima kasih."
Cowok itu sepertinya berumur tidak jauh di atasku. Tinggiku dengannya hanya berbeda sekitar 5 cm. Dan raut mukanya mengatakan bahwa dia kasihan padaku.
"Biar saya ambilkan handuk, tunggu saja di sini," katanya sambil tersenyum lagi.
Dia menemuiku dan memberikan sebuah handuk putih. Percakapan kami berlangsung cukup lama, bahkan hingga hujan sudah selesai beberapa menit yang lalu. Namanya Naufal. Ia tampak sangat kagum ketika mengetahui bahwa aku sangat tertarik seni rupa. Ia bahkan menyuruhku datang lagi untuk bertemu dengannya. Dan gejolak di dadaku mengatakan bahwa aku senang.
Akhirnya, esok yang kutunggu tiba juga. Aku menemui Naufal yang sedang melambai padaku di depan toko.
Dia memanduku mengelilingi toko, memperlihatkan puluhan topeng yang seperti dilakukannya pada orang yang datang ke toko itu. Mataku menyapu seluruh ruangan yang dipenuhi oleh warna-warna dan raut topeng yang beragam.
"Toko ini bukan milikmu, kan? Tidak apa-apa jika aku terlalu lama di sini?" tanyaku dengan khawatir.
"Aku hanya pemandu di sini. Tenang saja, pemiliknya sedang bepergian."
Ah, hanya pemandu? Maksudnya pelayankah? Tapi dia tidak mengatakan itu kemarin. Kenapa dia hanya pelayan? Pertanyaan itu kusimpan dalam hati. Aku tahu jika aku menanyakannya aku akan menyinggung perasaannya.
Percakapan dan perjalanan keliling toko itu begitu menyenangkan. Melupakan segala kehidupanku yang sebenarnya. Ya, yang sebenarnya.
Dia menyuruhku untuk melukis topeng yang sedang dia buat. Dia bukan pembuat topeng yang cukup baik, tapi dia mengatakan bahwa warna dalam diriku akan membuat topeng itu menjadi lebih baik.
Senja menandakan bahwa aku harus pulang. Meninggalkan dunia fantasi itu dan kembali ke dalam kehidupanku yang kelam.
"Sampai ketemu lagi, Rin. Datanglah kapan saja jika kau mau." Naufal melemparkan senyum simpul dan membuat ledakan membabi-buta di dadaku.
"Terima kasih untuk hari ini, Fal. Aku akan kembali dan melukiskan topeng itu untukmu."
Setiap hari aku datang ke toko topeng itu. Melangkahkan kaki ke dalam ruangan kecil berwarna-warni. Dan bercakap-cakap dengan cowok yang membuatku jatuh cinta....
Sudah satu minggu sejak pertama kali aku bertemu dengannya. Aku selalu bertemu dengannya dengan alasan melukiskan 7 replika topeng moai yang ia buat. Aku belum menceritakan kehidupanku yang sebenarnya, rahasia yang mendesak ingin keluar dari tempat persembunyiannya.
"Kau tahu? Sebenarnya topeng kita ini harusnya berbentuk patung. Tapi, biarkan dia jadi topeng dan tetap berharap menjadi patung seperti raut wajahnya," katanya sambil tertawa kecil.
"Raut wajah topeng itu memang penuh harap, tapi di sisi lain wajahnya seperti tegas dan keras kepala," kataku.
"Akan kucatat itu dalam otakku Rin,"
Kami mulai menjadi sangat dekat, dan sayangnya 5 dari 7 topeng itu sudah kulukis. Namun, rahasia besar hidupku belum juga kuceritakan padanya. Sampai akhirnya, rahasia itu yang menceritakan dirinya sendiri pada Naufal.
Aku menyimpan surat diagnosis dokter di dalam tas. Dan, Naufal melihatnya dengan sangat terkejut.
"Kau? Terkena kanker? Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku? Kanker apa? Apa aku salah jika aku terlalu banyak mengundangmu ke sini?" tanyanya bertubi-tubi
Aku sudah bisa memprediksikan yang terjadi. Dia menghujaniku dengan ribuan pertanyaan yang enggan kujawab. Dia melihatku dengan rasa kasihan, seperti pada saat aku kehujanan waktu itu. Tapi kali ini lebih buruk.
Aku menceritakan segala yang terjadi. Tentang kanker darah yang kualami, tentang diagnosa dokter yang berkata hidupku tinggal beberapa bulan lagi. Air mataku tumpah padanya. Menceritakan segala kegelisahan dan kesedihanku yang kualami.
"Kenapa harus aku, Fal? Kenapa Tuhan memilihku? Inikah yang dinamakan takdir?" tanyaku padanya dengan mata penuh air mata.
"Inilah skenario yang dibuat Tuhan, Rin. Semua sudah ditentukan dari awal, tak ada segala suatu yang kebetulan. Semua hanya takdir yang tinggal menunggu kapan dia menampilkan dirinya, tak bisa diubah," katanya padaku.
Setelah mengetahui bahwa aku sakit, dia jarang menyuruhku mengunjungi tokonya. Bahkan, dia seringkali datang kerumahku. Dia menemaniku hingga detik-detik batas akhir hidupku.
Hingga akhirnya.
"Batasku sudah terlewati kemarin, Fal! Dokter tidak benar! Aku masih hidup! Aku masih hidup!" kataku dengan riang.
Dia tersenyum lebar. Dia memegang tanganku dan berkata "Aku tahu kau bisa!"
Aku tahu sebenarnya perjuanganku yang sebenarnya baru dimulai. Ibu mengatakan, bahwa aku akan menjalani operasi di luar negri. Namun, bila aku gagal, aku akan meninggalkan segalanya.
Aku tidak ingin memberi tahu tentang operasi yang akan kujalani pada Naufal. Aku tidak ingin ia terlalu khawatir. Aku menjauhinya sebisa mungkin.
Kini, aku menyesal telah mengenal Naufal. Terlalu banyak orang yang akan kutinggalkan, terlalu banyak kenanganku yang akan tersimpan di dalam dirinya. Terlalu banyak cintaku yang terkubur jauh bersama dirinya.
Aku akan berangkat menuju Singapura beberapa jam lagi. Setelah check-up dan dokter mengatakan bahwa aku siap untuk dioperasi, aku pun siap menanggung segala resiko yang ada.
Aku tidak memberitahu Naufal hingga sejauh ini. Aku menitipkan surat pada dokter, bila terjadi kemungkinan terburuk. Kemungkinan terburuk yang terbesar.
Aku berangkat menuju Singapura dengan pesawat bersama ayah dan ibuku. Mereka mendukungku, menyemangatiku hingga aku lelah mendengar ocehan mereka. Ketika sampai di bandara, aku terkejut setengah mati.
Naufal meneleponku dengan panik, "Kemana kau, Rin? Kau jahat sekali tidak memberitahukan hal ini padaku!!"
Sekali lagi aku menangis bersamanya, "Aku minta maaf. Jangan khawatir, aku baik-baik saja."
Aku memasuki ruang operasi, dengan tenang yang pasrah. Apa pun yang terjadi berikutnya, sudah tidak ada yang bisa diubah. Tuhan telah memberi karunia terbaik yang pernah ada.
Aku tenggelam dalam obat bius yang membutakan kesadaranku. Ketika kesadaranku pulih, semua orang berada di pinggir tempat tidurku dan tersenyum bahagia. Mereka tampak tidak percaya bahwa aku berhasil. Aku berhasil.
Aku sangat bahagia. Tak henti-hentinya aku bersyukur pada tuhan. Aku mengambil ponsel dan ingin segera menelepon Naufal. Namun, sebuah pesan singkat tertera di layar handphone-ku.
Hey, kau melupakan 7 topeng kita, ya? Kau ini! Satu topeng lagi tak sabar ingin segera dilukis. Tetap di sana, dan aku akan ada di Singapura beberapa jam lagi.
Naufal
Aku sangat senang, dan segera meneleponnya. Namun, yang menjawab hanyalah suara operator yang terus diulang-ulang. Aku meneleponnya hingga belasan kali. Berharap suara operator itu berubah menjadi suara yang biasa kudengar.
Hingga akhirnya, televisi yang menjawab.
Gempa 7,5 SR terjadi di daerah GRAVILIA. Korban jiwa diperkirakan hingga 4500 jiwa. Pemerintah akan menindaklanjuti program....
DUAR! Ledakan di dalam tubuhku begitu terdengar jelas. Seakan ledakan itu nyata, aku menjadi tak sadarkan diri. Ketika tersadar, ibu dan ayahku tampak khawatir. Mereka sangat terkejut melihatku tak sadarkan diri. Aku berkata bahwa sebenarnya yang kukhawatirkan adalah gempa yang terjadi di kotaku. Di kota kami.
Aku menceritakan segalanya pada ibu tentang Naufal. Ibu tampak mengerti dan mencari informasi tentangnya. Rumah kami ternyata baik-baik saja. Namun, rumah keduaku hancur lebur. Toko topeng itu....
Setelah diperbolehkan pulang, aku segera bergegas menuju toko topeng. Aku tidak mempedulikan rumahku. Hanya Naufal. Aku menuju jalan yang sudah ditutupi oleh reruntuhan yang begitu bertebaran di mana-mana. Ambulans berbunyi nyaring, tetesan air mata tumpah dan harapan kosong penduduk kota.
Aku menemukan toko topeng dalam keadaan hancur. Topeng yang berwarna warni berubah menjadi keping-keping harapan yang remuk. Dan, akhirnya aku bertemu seorang wanita.
"Kau Rina? Teman Naufal, kan? Hanya kau yang dia punya. Jadi, kukira kau yang perlu kutitipkan ini," katanya sambil memberikan replika topeng moai dan sebuah tiket pesawat.
"Apa yang terjadi? Dimana dia?"
" Maafkan aku, dia sudah berhasil keluar dari toko itu. Namun, tiba-tiba dia berteriak menyebutkan namamu, dia berlari masuk hendak mengambil sesuatu. Namun, reruntuhan sudah mengalahkan harapannya. Maafkan aku, maafkan aku," kata wanita itu.
Air mataku mulai berjatuhan. Aku menggenggam erat topeng dan tiket itu. Aku terbiasa menangis bersamanya, tidak untuknya. Harapan kami yang terputus, harapan kami yang sudah kami pupuk sejak awal kami bertemu. Dihancurkan oleh getaran bumi yang memberikan sebuah pelajaran yang terlalu berharga.
Topeng kami menjadi sebuah topeng impian. Impian yang tidak akan kuteruskan tanpanya. Tanpa dirinya.
Semua sudah ditentukan dari awal, tak ada segala suatu yang kebetulan. Semua hanya takdir yang tinggal menunggu kapan dia menampilkan dirinya, tak bisa diubah. Seperti pertemuan kami, yang bukan suatu kebetulan.
(oleh: Kariza Rai Shafira, foto: tumblr.com)