"Ha-ha-ha, remedial lagi," tawa mereka membahana seantero kelas setelah Pak Rudi, guru Fisika kami, keluar dari kelas.
"Ih, apaan, sih? Berisik!" gerutu Mia, teman sebangkuku, dengan wajah cemberut, "Remedial aja bangga. Heran!"
Aku menoleh tanpa kata meski hati ini juga jengkel mendengar tawa mereka yang cukup keras. Suara tawa itu berasal dari segerombol anak-anak yang terkenal dengan julukan geng remedial. Alin, Hani, Ega, dan Dea. Empat siswi yang rajin masuk babak remedial nyaris di semua ulangan. Duduk selalu di pojok kelas. Mereka kaum minoritas di kelasku.
Jika ada kaum minoritas, pasti ada kaum mayoritas. Yap, kaum mayoritas itu salah satunya ada aku di dalamnya. Geng anak-anak yang selalu menyabet peringkat sepuluh besar. Kumpulan anak-anak yang berlimpah pujian dari kalangan guru dan siswa. Penyumbang terbanyak piala dan piagam baik tingkat sekolah, kota, provinsi, bahkan nasional. Nama-nama yang dikenal oleh senior dan junior. Kami eksklusif. Popularitas sangat kami nikmati di masa muda yang indah.
Entah kenapa, setiap kali aku mendengar tawa Alin dan kawan-kawan, rasanya berbeda. Sebuah tawa lepas, tanpa beban. Aku tidak tahu apa yang ada di benak empat anggota geng remedial ini. Tidak ada raut sedih atau pun kecewa ketika guru mengumumkan mereka harus mengikuti remedial. Malah tawa cekikikan mereka yang menggema seolah mereka baru saja memenangkan sebuah kompetisi.
Ada yang mengganjal di hatiku. Ada ketidaktentraman. Bahagia ketika kepala sekolah menyematkan gelar juara kelas atau juara umum padaku di akhir semester atau akhir tahun. Bangga ketika aku bisa mempersembahkan piala atau piagam untuk sekolah setelah bertarung otak di kancah kompetisi matematika, fisika, kimia, atau biologi. Namun, sejujurnya aku tidak pernah tertawa lepas layaknya geng remedial itu.
"Fik, nanti jadi, yah, belajar bareng di rumah aku. Kita tunggu," ujar Mia sambil melambaikan tangannya, "Aku duluan!"
Aku hanya mengangguk sembari memberi mengulas senyum dan lambaian. Aku dan gengku seperti biasa setiap kali menjelang ujian semester mengadakan belajar kelompok di salah satu rumah kami. Aku yang dinobatkan sebagai guru untuk mengajar mereka setiap mata pelajaran.
Derai tawa itu kembali terdengar di antara riuh ramai jam pulang sekolah. Aku menoleh. Geng remedial tengah tertawa riang sembari menikmati snack cemilan mereka. Langkah mereka ringan. Tawa mereka lepas. Rasanya jarang aku begitu.
Tawaku di tengah kawan-kawan eksklusifku seolah hanya sebagai formalitas semata menghargai kawan yang berkelakar. Kelakar untuk melepas penat di mana otak ini selalu dijejali rumus-rumus dan hafalan semata. Bukan sebuah candaan untuk menikmati hidup, tapi hanya sebuah penghibur di kala bosan dengan setumpuk rutinitas.
Langkah kakiku pun rasanya tidak pernah seringan mereka. Langkah ini berat dengan segudang titel, julukan, kebanggaan, dan harapan. Jika aku menorehkan sebuah kesalahan sedikit saja maka rentetan tanggung jawab itu akan rusak.
"Hai!" aku menyapa geng remedial saat mereka melintas di hadapanku. Seketika langkah mereka terhenti. Bukannya menyahut sapaanku, mereka malah saling pandang dengan tatapan heran.