Rahasia Sang Penulis

By Astri Soeparyono, Sabtu, 9 November 2013 | 16:00 WIB
Rahasia Sang Penulis (Astri Soeparyono)

Aku tahu cara menulis cerpen yang bagus. Aku tahu pemilihan kata, frase, atau kalimat yang bisa membuat pembaca terangsang untuk membaca sampai tuntas. Intinya, aku tahu bagaimana memuaskan pembaca. Semua hanya masalah trik. Seperti halnya pialang saham yang piawai melihat geliat pasar, menulis pun demikian. Menulis cerpen hanya butuh trik. Ya, cuma trik.

Semua trik itu sudah kuhafal di luar kepala. Aku mempelajarinya secara otodidak. Kulahap semua cerpen di buku, koran dan majalah. Kuteliti yang membuatku terkesan, dan kubuang yang biasa-biasa saja.

Lama-kelamaan, aku menemukan formula tersendiri untuk menulis. Aku tidak butuh buku panduan atau pembimbing. Semua kulakukan sendiri. Dan benar saja, banyak cerpenku yang dimuat di media. Dalam sekejap, aku kaya raya karena honor yang melimpah.

Meski aku terkenal di antara para penulis cerpen, tak ada yang tahu siapa aku yang sebenarnya. Aku memakai nama Sumire untuk menyamarkan identitas.

Saat akhirnya aku merilis novel, namaku segera disandingkan dengan penulis-penulis terkenal Indonesia, seperti Clara Ng, Andrea Hirata atau Andrei Aksana. Semua orang tergila-gila dengan cerita yang kubuat. Bahkan aku sampai punya fans club sendiri, meski bukan aku yang mengurusnya.

Tentu aku bahagia dengan hal ini. Pundi-pundi uangku segera terisi penuh. Aku semakin terkenal dengan sebutan "Penulis Misterius Abad Ini".

Waktu penerbit membujukku untuk mengungkap identitas yang sebenarnya, aku menolak. Sumire hanya nama buatan. Ia hanya nama yang kugunakan untuk mencari segepok uang. Sumire bukan aku yang sesungguhnya.

Tidak ada seorang pun yang tahu. Sumire adalah seseorang yang terkurung dalam rumah mewah. Ia terpenjara karena berkelakuan buruk. Ia tidak pernah diizinkan keluar kamar tanpa pengawasan.

Ya, Sumire itu aku. Rayana Sasmita.

***

Kamarku berada di lantai tiga sebuah rumah mewah di kawasan pemukiman milik swasta. Dari kamarku, aku bisa melihat view yang menawan. Hutan, danau, dan jalan setapak teratur rapi. Bunga-bunga juga bermekaran, seperti musim semi di luar negeri. Benar-benar indah. Sayang, sudah lama aku tidak menyentuhnya dengan tanganku sendiri. Aku hanya mampu memantaunya dari jendela kamarku yang diberi teralis besi.

Tentu bukan tanpa alasan kenapa aku dikurung di sini. Kata orang-orang aku jahat. Aku suka merusak. Aku tidak bisa dinasehati. Ah, pokoknya macam-macam. Bahkan orangtuaku mengataiku begundal. Jahatnya. Padahal mereka orangtuaku, tapi teganya mengataiku seperti itu.