Lelaki jangkung itu bangkit dari duduk, mencangklongkan cerutu ke bibirnya yang setengah bergumam, "Tidak bisa, Sayang. Papa harus berangkat sore ini juga."
"Tapi Pa..., Papa belum genap seminggu ada di rumah. Sekarang hendak pergi lagi?" mata gadis belasan tahun itu membola. Lalu bibirnya mengerucut kesal.
"Rachel, Papa sudah tidak muda lagi sementara usiamu belum lagi genap 15 tahun. Perjalananmu masih panjang. Selagi Papa masih sehat, Papa harus bekerja. Memastikan agar kelak hidupmu terus nyaman. Mengerti?" Lelaki jangkung yang rambutnya memutih nyaris sempurna itu memegang bahu putrinya dengan lembut.
"Well, Tuan Christopher Reindhart, di usia Anda yang senja, bukankah lebih baik jika menghabiskan waktu dengan bersenang-senang bersama putri anda satu-satunya di Pasar Malam?" rajuk Rachel sambil mengulaskan senyum semanis yang ia bisa.
"Papa tidak setua itu, Rachel," Chris tertawa sambil mengenakan mantel dan topinya.
"Aku serius soal Pasar Malam itu, Pa! Rombongan gipsi itu baru sampai kemarin malam, mereka berkemah di lapangan pinggir kota," seru Rachel berlomba dengan tubuh jangkung ayahnya yang menghilang di balik pintu.
Rachel menghela napas menatap pintu kamar kerja ayahnya yang kini menutup sempurna.
"Kau bisa pergi dengan Nana, Rachel. Minta ia menemanimu." Suara bariton Chris membuat Rachel terlonjak kaget. Ia menoleh dan mendapati wajah ayahnya yang muncul dari celah pintu yang terbuka kembali.
Rachel tersenyum lebar.
"Terimakasih Pa, hati-hati di jalan."
Chris mengangguk. "Kau juga, Gadis Kecil," ujarnya sebelum menutup pintu untuk kedua kalinya.
--