Punctum Remotum

By Astri Soeparyono, Sabtu, 7 September 2013 | 16:00 WIB
Punctum Remotum (Astri Soeparyono)

            "Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan. Aku ikhlas," kataku sambil tersenyum. Senyuman tragis itu lagi. "Uhm, apa kau punya nomor yang bisa kuhubungi? Mungkin kita bisa ngobrol lagi kalau ada waktu?" tanyaku.

            "Ini," ia menuliskan nomornya di kertas struk belanja. "Memang sulit dipercaya, tapi hubungi saja dan pasti aku yang mengangkat teleponmu," katanya sambil menunjukkan senyum korosifnya.

Kulihat nomor pada kertas itu. 0/0. Nol per nol. Provider gila macam apa yang menciptakan nomor seperti itu?! Ayolah, aku sudah muak dengan matematika dan rumus-rumus gilanya. Cepat-cepat kusingkirkan pikiran rumit ini. Aku juga menulis nomorku pada pada struk belanja yang lain dan memberikannya kepada Remo, lalu mengantarnya sampai keluar mall. Keluar dari mall, tembakan-tembakan shotgun menyambutku, disusul dengan hantaman bom fosfor, lalu ledakan nuklir yang luar biasa dahsyat sebagai penutup. Seorang laki-laki menjemput Remo dengan mobil hitam mengilap. Sambil melambaikan tangan ke arahku, dia mengucapkan selamat tinggal dan masuk ke dalam mobil. Ia pergi. Pergi dari sisiku. Pergi ke suatu tempat yang kebahagiaan mendapatkan definisi hanya dari dirinya, bukan dari diriku dan dirinya.

Aku kembali beku, menunggu untuk pecah menjadi butiran-butiran es di dalam kulkas yang tak akan pernah dihiraukan. Kulihat kembali ke struk belanja itu, ke nomor matematis sialan itu, lalu menyobek-nyobek kertas itu dan menebarkannya ke udara. Nol per nol. Kekecewaan yang tak terdefinisikan. Aku pun pulang dengan novel tebal di tangan yang dapat lebih berfungsi sebagai pemukul kepala dalam situasi seperti ini.

***

Kamis. Seperti biasa, aku menjalani ekskul basket sepulang sekolah. Permainanku diganggu oleh suara hapeku. Ringtone-nya lagu Hoppipolla, dinyanyikan oleh Sigur Ros, band asal Irlandia. Aku dan kekasih imajinerku sangat menyukai lagu ini. Kami berdua biasa menjelajah dunia imajinasi ditemani lagu ini. Saat kujawab panggilan itu, virus matematika mengganggu otakku. "Limit mendekati tak hingga," bisiknya. Ya ya ya, aku sadar aku tak tahu siapa yang meneleponku. Dan yang terpenting aku tidak tahu dimana dia berada dan berapa kilometer orang yang meneleponku terpisah dariku.

"Halo!"

"Hai, Mario! Ini Remo!"

Tembakan revolver. "Remo...kenapa kau meneleponku?! Aku sedang sibuk!"

"Aduh, maaf aku tidak bermaksud mengganggu...tapi apa kau bisa menemaniku pergi ke acara ulang tahun temanku hari ini?"

Sayatan samurai. "Bukannya kau punya teman yang bisa mengantarmu?! Yang kemarin menjemputmu itu?"

"Itu? Oh, itu kakakku! Yah, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya hari ini. Jadi, kupikir kau bisa menemaniku...."