Punctum Remotum

By Astri Soeparyono, Sabtu, 7 September 2013 | 16:00 WIB
Punctum Remotum (Astri Soeparyono)

"Ka...kakakmu?" tanyaku tidak percaya. Secangkir besar madu tumpah dari langit.

"Iya. Tapi berhubung kau sedang sibuk, sebaiknya...."

"Eh, tunggu! Sebenarnya aku sudah hampir selesai dengan latihan basketku. Jadi kupikir...yaaa, aku bisa menemanimu."

"Bisa? Yeayyy! Baguslah kalau begitu!"

 

"Yeaah. Jadi di mana kita bertemu?" tanyaku sambil berusaha menyembunyikan perasaan senang yang meluap-luap. Hening. Tiba-tiba dengan nada biacara seorang psikopat dia menjawab, "Kita bertemu di sini...sekarang."

Aku pucat. Sekelilingku berputar, menciptakan gradasi warna yang sangat berantakan. Aku melihat lapangan basket. Panjang dikali lebar tidak lagi berlaku, yang berlaku adalah sekarang phi dikali r2, lalu kabur. Aku melihat teman-temanku. Tidak ada bentuk manusia. Yang ada hanya garis-garis lengkung tak beraturan yang saling bersilangan. Saat kuangkat kepalaku, Remo sudah berdiri di depanku, menatapku dengan mata birunya yang menghanyutkan sambil tersenyum.

'Hai, Mario," sapanya lembut.

"Remo...," sahutku lirih. Rasanya aku pingsan, atau mungkin hanya ingin tidur sebentar saja.

'Remotum. Lengkapnya Punctum Remotum," katanya, kali ini lebih ramah. Ia memelukku. Aku tersentak oleh kehangatan tubuhnya. Mataku berair. "Senang bertemu kau lagi," ia berkata lagi lalu tiba-tiba mencium pipiki. Sembarang sekali! Dasar perempuan gila!

"Apa yang kau inginkan?! Kau ini...apa?! Kau ini apa?!" tanya histeris. Kebenaran. Di mana bisa kutemukan? Haruskah manusia berteriak histeris sepanjang hidupnya sampai merusak tenggorokan untuk mendapatkannya? Atau adakah solusi lain yang lebih realistis?

"Tenanglah. Kau akan tahu. Sekarang coba tenang sejenak dan lihat kita ada di mana!" katanya gembira, kegembiraan seorang anak kecil yang belum terpapar kepada kejahatan dalam kehidupan.