Punctum Remotum

By Astri Soeparyono, Sabtu, 7 September 2013 | 16:00 WIB
Punctum Remotum (Astri Soeparyono)

Panas. Penat. Basah oleh keringat. Hari apa ini? Nanti kelas kami akan disuruh bernyanyi saat pelajaran bahasa Prancis. Mungkin kali ini aku bisa menggunakan kesmepatan ini untuk memikat hati para gadis di kelas dengan menyanyikan lagu berbahasa Prancis itu dengan logat Prancis yang kental. Ada yang bilang bahasa Prancis itu bahasa yang paling seksi. Yah, tapi seseksi apa pun suatu bahasa, aku belum menemukan satu bahasa pun yang mampu menjelaskan perasaan dingin yang tajam yang telah kurasakan sejak aku masuk SMA. Oh, ya ampun. Pikiranku sudah terbang terlalu jauh, seperti layangan putus. Hari ini hari Rabu.

            Perkenalkan, namaku Mario. Aku memang sedikit berkumis, tapi aku tidak pernah makan jamur yang punya mata dan bisa bergerak ke sana ke mari. Pelajaran Biologi pun tidak pernah menyebutkan spesies jamur semacam itu. Terakhir kali kulihat diriku di cermin di toilet cowok beberapa menit yang lalu, aku cukup tampan. Tampan. Harus kuakui itu kata yang kuat. Aku suka basket, sangat suka, sampai-sampai aku tak pernah punya waktu untuk menghitung momentum yang terjadi antara bola basket dengan tanah. Aku ikut ekskul basket dan merasa senang saat teman-temanku memujiku karena permainanku yang elegan.

            "Kau pasti sudah punya banyak ya, sekarang," aku ingin temanku pernah berkata begitu kepadaku sambil tertawa geli. Banyak. Satu lagi yang sama kuat dengan 'tampan'. Apanya yang banyak? Pacar. Perempuan. Wanita. Hawa. Dingin. Aku membeku setiap memikirkan makhluk-makhluk itu. Aku tak punya talenta untuk dekat dengan perempuan, bahkan perempuan-perempuan di kelasku. Realita memang sulit ditelan, meskipun kita sudah mengunyahnya berkali-kali. Aku lebih memilih untuk mengecap ironi. Manis, dan lebih berbahaya dari penyakit diabetes.

            Bel pulang berbunyi keras. Senyum-senyum kecil tersungging di wajah teman-temanku, sindiran sementara yang muncul karena merasa menang atas satu hari yang penuh dengan kertas, pena dan rumus. Setelah berdoa, kamu semua menghambur keluar kelas. Dengan langkah gontai aku turun ke kantin lantai satu, menimbang-nimbang makanan yang akan dapat kunikmati sore ini. Aku berharap tidak perlu menelan bahan-bahan karsinogenik untuk hari ini. Silakan tertawa, tapi aku tetap percaya tidak ada yang lebih tidak logis daripada harapan.

            Nikmat. Aku menghabiskan makan soreku dengan lahap. Kuteguk sebotol air mineral, dan membiarkan diriku terhanyut dalam kegelapan, seperti terjebak dalam gue yang dipenuhi stalaktit-stalaktit yang meneteskan larutan kalsium bikarbonat. Yak, kalau begitu aku siap menuju Atrium untuk mencari novel utuk tugas Bahasa Indonesiaku. Aku melangkah keluar sekolah, sambil sesekali mempraktekkan gaya bermain basketku, berkhayal pacar imajinerku terkagum-kagum melihat kelincahanku. Aku menunggu mikrolet M 01 di pinggir jalan sambil tersenyum. Senyuman tragis yang mengiris hatiku setiap kali aku menyadarinya. Aku kembali membeku di pinggir jalan, menunggu M 01 yang sepertinya tak tega memberiku tumpangan.

            Setelah bermenit-menit menunggu, akhirnya angkutan umum itu datang juga. Tepat ketika aku hendak naik untuk duudk di kursi depan, mataku yang labil melihat sesosok makhluk ciptaan Tuhan yang...sial! Terlalu cantik! Seorang perempuan yang juga ingin menaiki M 01. Aku terkaget-kaget melihat rambutnya yang bergelombang dan...pirang! Apa dia orang Eropa? Atau mata-mata Rusia? Atau jangan-jangan dia berasal dari kaum peri yang mampu menyamar jadi manusia? Matanya yang biru, biru yang tak beku. Kulitnya putih, dan rasanya aku ingin menjilatnya. Mungkin rasanya akan semanis susu. Jantungku berdetak cepat, aku pun melangkah masuk ke kursi depan mobil. Tapi ternyata dia ikut masuk dan duduk di sebelahku. Sial! Sial! Rasanya pembuluh darahku dialiri lava! Aku membeku, dan aku meleleh!

            Sepanjang perjalanan kami tidak berbicara. Aku tak berkutik. Lidahku tercebur ke dalam kubangan elipsis. Aku berencana membiarkan diriku disiksa oleh kediaman, sampai aku dikejutkan oleh suara perempuan di sebelahku yang sangat fasih berbahasa Indonesia.

            "Kau bersekolah di SMAN 68, ya?" tanyanya.

            "Uh, iya...bagaimana kau tahu?"

            "Itu. Dasimu," katanya sambil tersenyum kecil. Senyuman yang indah sekaligus korosif. Senyuman asam klorida. Erupsi eksplosif kegembiraanku memberikan keberanian padaku untuk melanjutkan pembicaraan. Setelah beberapa waktu barulah aku tahu bahwa namanya Remo. Nama yang cukup aneh. Keanehan yang mengharukan.

            Kami pun tiba di Atrium. Aku membayarkan ongkos Remo agar ia tidak perlu mengeluarkan uang lagi. Ia ke sini untuk mencari sebuah tas yang akan dijadikan kado ulang tahun temannya esok hari. Tapi sebelum ia mencarinya, ia mengajakku makan siang di sebuah restoran seafood. Aku juga membayari makan siangnya. Setelah itu, kami sama-sama masuk ke dalam mall dan mencari keperluan kami masing-masing. Aku mencari novel dan Remo mencari tas. Setelah ia menemukan tas itu, kurelakan juga uangku untuk membayarnya. Ia sempat menolak.

            "Wah...kau ini terlalu murah hati atau terlalu kaya?" tanggapnya agak cemas.

            "Ah, sudahlah. Jangan dipikirkan. Aku ikhlas," kataku sambil tersenyum. Senyuman tragis itu lagi. "Uhm, apa kau punya nomor yang bisa kuhubungi? Mungkin kita bisa ngobrol lagi kalau ada waktu?" tanyaku.

            "Ini," ia menuliskan nomornya di kertas struk belanja. "Memang sulit dipercaya, tapi hubungi saja dan pasti aku yang mengangkat teleponmu," katanya sambil menunjukkan senyum korosifnya.

Kulihat nomor pada kertas itu. 0/0. Nol per nol. Provider gila macam apa yang menciptakan nomor seperti itu?! Ayolah, aku sudah muak dengan matematika dan rumus-rumus gilanya. Cepat-cepat kusingkirkan pikiran rumit ini. Aku juga menulis nomorku pada pada struk belanja yang lain dan memberikannya kepada Remo, lalu mengantarnya sampai keluar mall. Keluar dari mall, tembakan-tembakan shotgun menyambutku, disusul dengan hantaman bom fosfor, lalu ledakan nuklir yang luar biasa dahsyat sebagai penutup. Seorang laki-laki menjemput Remo dengan mobil hitam mengilap. Sambil melambaikan tangan ke arahku, dia mengucapkan selamat tinggal dan masuk ke dalam mobil. Ia pergi. Pergi dari sisiku. Pergi ke suatu tempat yang kebahagiaan mendapatkan definisi hanya dari dirinya, bukan dari diriku dan dirinya.

Aku kembali beku, menunggu untuk pecah menjadi butiran-butiran es di dalam kulkas yang tak akan pernah dihiraukan. Kulihat kembali ke struk belanja itu, ke nomor matematis sialan itu, lalu menyobek-nyobek kertas itu dan menebarkannya ke udara. Nol per nol. Kekecewaan yang tak terdefinisikan. Aku pun pulang dengan novel tebal di tangan yang dapat lebih berfungsi sebagai pemukul kepala dalam situasi seperti ini.

***

Kamis. Seperti biasa, aku menjalani ekskul basket sepulang sekolah. Permainanku diganggu oleh suara hapeku. Ringtone-nya lagu Hoppipolla, dinyanyikan oleh Sigur Ros, band asal Irlandia. Aku dan kekasih imajinerku sangat menyukai lagu ini. Kami berdua biasa menjelajah dunia imajinasi ditemani lagu ini. Saat kujawab panggilan itu, virus matematika mengganggu otakku. "Limit mendekati tak hingga," bisiknya. Ya ya ya, aku sadar aku tak tahu siapa yang meneleponku. Dan yang terpenting aku tidak tahu dimana dia berada dan berapa kilometer orang yang meneleponku terpisah dariku.

"Halo!"

"Hai, Mario! Ini Remo!"

Tembakan revolver. "Remo...kenapa kau meneleponku?! Aku sedang sibuk!"

"Aduh, maaf aku tidak bermaksud mengganggu...tapi apa kau bisa menemaniku pergi ke acara ulang tahun temanku hari ini?"

Sayatan samurai. "Bukannya kau punya teman yang bisa mengantarmu?! Yang kemarin menjemputmu itu?"

"Itu? Oh, itu kakakku! Yah, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya hari ini. Jadi, kupikir kau bisa menemaniku...."

"Ka...kakakmu?" tanyaku tidak percaya. Secangkir besar madu tumpah dari langit.

"Iya. Tapi berhubung kau sedang sibuk, sebaiknya...."

"Eh, tunggu! Sebenarnya aku sudah hampir selesai dengan latihan basketku. Jadi kupikir...yaaa, aku bisa menemanimu."

"Bisa? Yeayyy! Baguslah kalau begitu!"

 

"Yeaah. Jadi di mana kita bertemu?" tanyaku sambil berusaha menyembunyikan perasaan senang yang meluap-luap. Hening. Tiba-tiba dengan nada biacara seorang psikopat dia menjawab, "Kita bertemu di sini...sekarang."

Aku pucat. Sekelilingku berputar, menciptakan gradasi warna yang sangat berantakan. Aku melihat lapangan basket. Panjang dikali lebar tidak lagi berlaku, yang berlaku adalah sekarang phi dikali r2, lalu kabur. Aku melihat teman-temanku. Tidak ada bentuk manusia. Yang ada hanya garis-garis lengkung tak beraturan yang saling bersilangan. Saat kuangkat kepalaku, Remo sudah berdiri di depanku, menatapku dengan mata birunya yang menghanyutkan sambil tersenyum.

'Hai, Mario," sapanya lembut.

"Remo...," sahutku lirih. Rasanya aku pingsan, atau mungkin hanya ingin tidur sebentar saja.

'Remotum. Lengkapnya Punctum Remotum," katanya, kali ini lebih ramah. Ia memelukku. Aku tersentak oleh kehangatan tubuhnya. Mataku berair. "Senang bertemu kau lagi," ia berkata lagi lalu tiba-tiba mencium pipiki. Sembarang sekali! Dasar perempuan gila!

"Apa yang kau inginkan?! Kau ini...apa?! Kau ini apa?!" tanya histeris. Kebenaran. Di mana bisa kutemukan? Haruskah manusia berteriak histeris sepanjang hidupnya sampai merusak tenggorokan untuk mendapatkannya? Atau adakah solusi lain yang lebih realistis?

"Tenanglah. Kau akan tahu. Sekarang coba tenang sejenak dan lihat kita ada di mana!" katanya gembira, kegembiraan seorang anak kecil yang belum terpapar kepada kejahatan dalam kehidupan.

Aku melihat aku telah berada di dalam sebuah rumah, bersama orang-orang asing dengan pakaian pesta mereka. Mereka tertawa, tersenyum, terharu, bangga. Di tengah ruangan ada sebuah kue, kurasa kue ulang tahun. Tapi tidak ada lilin di atasnya yang menandakan umur orang yang berulang tahun. Saat aku mendekat, aku terkejut melihat peti mati yang ada di bawah kue itu.

"Selamat datang di negasi!" seru Remo.

"Mereka merayakan kematian? Mereka gila! Mereka gila, kan?" aku kembali histeris.

"Ha-ha-ha! Tidak ada orang yang lebih gila daripada orang yang menganggap dirinya tidak ada, kan?" sahut perempuan misterius itu. Ia menatapku lekat-lekat, dan matanya berkaca-kaca.

Aku tersadar. Ya, aku tersadar. Berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menganggap diriku hanya milik imajinasi. Tubuhku gemetar. Ternyata aku menangis.

"Sekarang, coba kau lihat perempuan-perempuan yang ada di sini," pintanya lembut.

Kuseka airmataku, lalu mencoba melihat sekeliling. Sekilas aku melihat beberapa sosok ramping yang cantik, lalu memudar. Abu-abu. Kabur. Aku kehilangan mereka dari pandanganku. Aku tesentak oleh keabu-abuan ini, lalu kembali menangis.

 "Aku...aku Punctum Remotum1. Aku titik terjauh yang bisa kaulihat mengenai kenyataan. Akulah titik terjauh yang bisa kau lihat mengenai seorang perempuan. Ingat waktu aku memeluk dan menciummu? Itulah harapanmu terhadap seorang perempuan, terhadap kenyataan. Tapi bukan begitu caranya. Justru kau yang harus berusaha menerima kenyataan," katanya. Sekarang ia ikut menangis. Ia kembali memelukku.

"Bagaimana...caranya?" tanyaku lirih. Begitu dingin. Basah. Air! Kami berdua sedang tenggelam! Remo melepaskan pelukannya yang hangat, lalu menunjuk sebuah lubang di permukaan es di atas sana. Ia memintaku berenang ke sana. Aku tak tahu bagaimana kami berdua sampai di sini, tapi akhirnya aku berenang ke atas sana sekuat tenaga. Ingin kulihat kelembutan wajah Remo yang misterius untuk terakhir kalinya, tapi aku takut mati kehabisan napas. Aku berenang menjauh, berenang, berenang sekuat tenaga. Hampir sampai! Saat aku nyaris merain lubang keluar itu, sayup-sayup aku mendengar suara Remo.

"Terimalah...dan tetaplah menjadi kenyataan...begitulah caranya." Aku menoleh, melihat Remo tersenyum. Kubalas senyumannya untuk terakhir kalinya, lalu keluar melalui lubang itu, dan....

Rabu. Astaga! Aku tertidur selama pelajaran bahasa Prancis! Tapi cukup menyenangkan. Menyenangkan dan mengharukan. "Tetaplah menjadi kenyataan," kuulang kalimat itu dalam kepala. "Baiklah," gumamku

Bel pulang berbunyi. Aku menuju kantin lantai 1, makan sore sebentar, lalu berencana pergi ke Atrium untuk mencari novel untuk tugas bahasa Indonesiaku. Aku menunggu mikrolet M 01 di pinggir jalan. Di sebelahku berdiri seorang perempuan cantik berambut hitam panjang dan halus. Matanya cokelat, indah dan manis. Wajahnya yang cantik begitu kaku dan bibirnya yang merah terkatup rapat.

"Halo, menunggu M 01 juga?" tanyaku padanya.

"

Ya," jawabnya singkat tanpa menoleh.

"Siapa namamu?" tanyaku, tak peduli apakah dia akan curiga padaku.

"Proxi," jawabnya. Kini dia menoleh. Dia meraih tanganku, menjabatku sambil tersenyum. Proxi. Punctum Proximum2.

Realita, aku siap.

***

1 Punctum Remotum: Titik jauh, yaitu titik terjauh benda yang masih dilihat mata dengan jelas saat mata tidak berakomodasi.

 

2 Punctum Proximum: Titik dekat, yaitu titik terdekat benda yang masih dilihat mata dengan jelas saat mata berakomodasi secara maksimum.

(Oleh: Jonah Mario Simorangkir, foto: tumblr.com)