"Ahh...."
"Trus, sehabis balet, Ai langsung pulang, kok, tanya aja Pak Ipol."
"Ah, Namarina ke mari, kan, enggak nyampe sepuluh menit."
"He he, tadi pulangnya lewat Halimun, muter dulu. Ai mau lihat jajanan di depan sekolah Penabur."
"Tuh, kan. Kamu sengaja melakukan ini. Datang terlambat, biar enggak ketemu dengan Tante Sera dan Errista."
"Lagian Mama norak, ah. Serasa masuk ke dalam buku Sejarah, deh. Hari gini, lho, masih aja mikir jodoh-jodohan."
"Ahh, kamu ngasal aja ngomongnya. Masa anak SMP mama yang cantik dan modis begini dijodohin. Memang kamu kira Mama ini berasal dari jaman penjajahan? Tante Sera itu mau minta tolong kamu ngawasi si Errista."
"Hah... memangnya Mama buka Yayasan penyedia babysitter, ya?"
"Husshh. Errista itu, kan, teman kamu. Ada yang laporin, Erri ikut-ikutan geng enggak bener gitu. Nah, Tante Sera kalang kabut."
"Errista?"
**
Pemuda itu tahu, sudah beberapa kali mamanya menoleh ke arahnya. Berniat hendak mengucapkan sesuatu yang tidak pernah terungkap. Mengerutkan dahi dan kembali fokus menatapi Honda Civic hitam di depan mereka. Sekali waktu mata itu menatap kaca spion, kiri dan kanan.