Benny dan aku tidak pernah bicara. Makhluk sejenis kami memang ditakdirkan hidup dalam kesunyian, dan terperangkap dalam wajah yang sama tiap harinya. Tersenyum, seperti wajah-wajah boneka pada umumnya. Namun, biarpun kami adalah jiwa-jiwa yang hidup dalam benda mati, kami memiliki perasaan, dan perasaan itulah yang menghidupkan kami. Bahkan tanpa bicara pun kami saling memahami. Jadi, biar kami tidak melarutkan waktu dengan kata cinta dan pelukan, kami menikmati kehidupan yang sarat kebisuan ini. Hanya dengan tahu bahwa dia selalu ada di sampingku saja sudah cukup.
***
Suara langkah kaki.
Ketika Tasia membuka pintu kamar dengan sekali banting dan melangkah masuk sambil menghentak-hentakkan kaki, aku sudah tahu apa yang ia inginkan.
Aku.
Dan dugaanku tepat.
Tasia mengambilku dan mendekapku erat-erat. Wajahku terbenam dalam kaos oblongnya. Dan tak lama berselang, aku merasakan tetes-tetes air membasahi kepalaku. Air matakah?
"Nggak adil," ucap Tasia sambil terisak pelan. "Kenapa aku nggak seberuntung mereka?"