Setan-setan di Rumahku

By Astri Soeparyono, Sabtu, 18 Mei 2013 | 16:00 WIB
Setan-setan di Rumahku (Astri Soeparyono)

Ada setan di rumahku. Lima jumlahnya, kecil seperti diriku. Aku tahu, sebab aku melihat mereka. Tapi, Ayah dan Ibu tak tahu, karena mereka tak melihat. Aku melihat. Jelas dan nyata. Aku melihat satu menangis setelah tertabrak Ayah. Tangisnya makin jadi ketika satu kaki Ayah menumpukan berat badannya ke tubuh setan kecil itu. Tangisnya melengking dan memekakkan telinga hingga satu jendela pecah. Ayah berkata, jendela itu sudah tua dan rapuh, sudah waktunya diganti. Aku dilarang mendekati jendela dan harus memakai sandal karet sepanjang hari itu agar tak terluka.

Kukatakan pada Ayah, jendela pecah karena ia menginjak seorang anak hingga menangis! Ayah tak percaya dan menyuruhku tinggal di kamar. "Jangan dekati jendela, Nak!" pesan Ayah.

Ternyata, setelah terinjak Ayah, anak itu (aku belum tahu kalau ia setan) bersembunyi di bawah tempat tidurku. Di sana ia tersedu, sementara empat setan lainnya tengah membujuknya ke luar dari situ dan mengajak bermain lagi.

"Maafkan ayahku. Ia tak melihatmu," kataku.

Aku lalu ikut membujuknya seupaya berhenti nangis dan keluar dari bawah tempat tidurku, sebab aku hendak tidur siang. Ia terbujuk dan mau main lagi. Aku hendak diajaknya main, namun aku menolak, sebab harus tidur siang dan Ayah melarangku dekat-dekat jendela. Mereka pun berlarian tanpa aku. Satu setan, yang paling besar (mungkin juga paling tua di antara mereka) tidak ikut berlarian. Setelah kuperhatikan, ternyata kakinya cacat, bengkok sebelah.

Suatu pagi, Ibu mengeluh tempe gorengnya berkurang, padahal baru diangkat dari wajan. Ayah bilang, mungkin dimakan si Manis, kucing kecilku. Kataku, tidak mungkin. Manis tak suka tempe goreng, apalagi yang masih panas. Manis hanya suka ikan laut. Ayah dan Ibu tak jadi membuang si Manis. Mereka sepakat, tempe goreng itu dicuri kucing tetangga yang nakal.

Kulihat setan yang paling kecil berjongkok di bawah meja makan. Ada remah tempe goring di bibirnya. Sendawa dan kentutnya bau tempe. Kutanya, "Kenapa kau curi tempe Ibuku? Gara-gara kau, si Manis tak dapat jatah makan siang."

Ia menjawab dengan mulut bau tempe, "Aku lapar." Ternyata, sudah sepuluh tahun ia tak makan!

Kukorbankan sebatang cokelatku, kuberikan padanya. Sejak saat itu, ia tak pernah mencuri tempe lagi. Katanya, cokelat itu tak akan habis, bahkan hingga ia mati nanti . Tiba-tiba ia tertawa. Katanya, karena teringat bahwa sesungguhnya ia telah mati.

"Kapan rupanya kau mati?" tanyaku.

"Sejak lahir aku telah mati," jawabnya sambil kemudian tertawa karena menggunakan kata "lahir", sementara ia tak pernah terlahir.

"Bagaimana kau tahu kalau kau mati?"