Jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi tapi matahari seperti sudah menapaki bumi. Panas sudah menyengat. Sebagian tubuh sudah berkeringat. Ya, beginilah kalau kita sedang berada di pusat urat bumi. Laju rotasi terasa begitu cepat. Setiap menit dan detik terasa begitu singkat.
Upacara bendera seperti dilaksanakan di atas kubangan magma. Rian terus berusaha berdiri sekuat tenaga. Kepalanya pening dan tubuhnya mulai bereaksi tak biasa. Iringan lagu Indonesia Raya semakin membuat kepalanya terasa berat. Tubuhnya oleng. Kesadarannya hilang seketika.
Mata Rian terbuka. Ia berbaring di atas tempat tidur. Dilihatnya langit-langit ruang UKS yang putih temaram. Seorang gadis tampak berdiri di sampingnya sambil meracik obat. Dari seragam yang dipakainya, Rian tahu kalau dia seorang petugas PMR. Rian pun bergegas bangkit.
"Oh, kamu udah bangun ya!" ujarnya ramah. "Kamu cuma pusing kepanasan aja kok, nanti juga sembuh. Nanti aku kasih obatnya ya!"
"Ma...makasih ya," ucap Rian terbata. Gadis berambut panjang itulah yang telah menolongnya. Sebagai seorang cowok, Rian sungguh sangat malu karena terlihat lemah di depannya. Sungguh menyebalkan.
"Kamu murid baru ya?"
Rian mengangguk. Baru 3 hari ia pindah ke Pontianak tapi kejadian memalukan sudah dialaminya. Rian sekeluarga pindah ke Pontianak untuk mengikuti sang ayah yang dinasnya dimutasi.
"Kenapa gue mesti pingsan segala sih! Padahal ini kan hari pertama gue masuk sekolah!" gerutu Rian dalam hati.
"Beginilah jadinya kalo kita tinggal tepat di pusat garis khatulistiwa, panasnya luar biasa! Apalagi kalo di bulan Maret kayak sekarang, matahari tuh kayak nangkring di kepala aja. Bikin pusing!" ujar cewek itu akrab. "Oh ya, kenalin aku Naisha. Aku anak kelas 12 IPA 1."
"A...aku Rian. Aku anak kelas 12 IPA 5. Aku baru pindah dari Jakarta."
"Oh.. dari Jakarta ya! Gimana Jakarta? Panasan mana sama Pontianak?"
"Kayaknya sama aja deh. Sama-sama bikin gerah!"