Kawashita No Meikaku**

By Astri Soeparyono, Senin, 23 Juli 2012 | 16:00 WIB
Kawashita No Meikaku** (Astri Soeparyono)

Rok rimpel bermodel A- Line yang ringan tergantung manis di pinggul, membalut kaki jenjang berkulit kuning langsat yang bercahaya nan mulus dan memelihara bulu halus yang menampilkan pesona seksi. Tank top ketat berwarna ungu gelap. Stiletto berwarna senada ikut melengkapi. Lekuk tubuh gadis itu terbalut manis. Cantik. Cantik sekali. Mataku lekat memandangi pantulan sosok cantik di cermin. Make-up tipis menambah kharismanya. Hatiku berkata lantang, 'Aku akan secantik dia nanti!'

            "Mbak Tari, mau ke mana sih? Cantik banget!" Gadis cantik itu duduk di sampingku, mengulas senyum dengan bibir bergincu mengiringi tatapan teduhnya.

            "Mbak Tari mau pemotretan dulu ya, sayang. Nanti aku bawain oleh-oleh deh. Mau mainan apa cokelat?"

            Sontak hatiku bersorai penuh antusias, 'Aku mau lipgloss! Aku mau blush on! Aku mau eye shadow!'

            "Hm, aku mau cokelat saja deh. Tapi sama minyak wangi Mickey Mouse ya. Punyaku habis, Mbak."

            "Ih kecil-kecil ganjen deh! Hehehe. Oke deh, nanti aku beliin ya. Jangan nakal di rumah. Sekarang mainnya sama Mbak Citra atau Mbak Rissa saja ya. Daaagh." Kecupan lembut menyapu pipiku singkat. Mataku mengawasi kepergiannya. Hatiku kembali berbisik, 'Aku ingin secantik dia!'

            Setelah yakin Mbak Tari sudah pergi, aku menghampiri meja riasnya. Kujelajahi benda-benda ajaib yang sangat menarik bagiku. Kuulaskan satu persatu pada wajahku. Mengikuti apa yang selama ini aku amati dari kakak-kakakku. Alas bedak kusapu rata, disusul dengan dempulan bedak. Kutambahkan blush on. Kuberi eye shadow. Tak lupa mascara, dan juga favoritku, lipgloss. Tara! Cantik. Meski tak secantik Mbak Tari, tapi aku menikmatinya.

***

            TOK! TOK! TOK! Aku menoleh mengawasi daun pintu di sisi jauh kiriku. "SIAPA?" jeritku. Tanganku sibuk mengusap kapas yang basah dengan facial cleanser di wajahku yang penuh make-up.

            "Ini Mbak Citra," setelah wajahku kembali bersih dan polos, aku menghampiri pintu dan membukanya. Mbak Citra membuntutiku duduk di ranjang.

            "Bintang, besok Papa pulang. Kamu jemput ya," Mataku terbelalak sepersekian juta detik, yang segera aku benahi sehingga menampilkan ekspresi datar di wajahku.

            "Besok gue kuliah sampai malam," sahutku kalem.

            "Berarti Papa pulang naik taksi dong. Aku besok ada praktek di rumah sakit. Tari shooting. Rissa siaran. Kamu juga kuliah. Kasihan Papa," serunya berintonasi dimelas-melaskan. Berharap aku terbujuk? Sori dori mori stroberi ye.

            "Sekali enggak bisa ya tetap enggak bisa. Gue ngantuk. Jadi..." delikku seraya melirik tajam bagai pemangsa yang kelaparan. Mataku seperti bicara, 'Citra aku lapar! Kau akan kumakan! Hahahh.'

            "Oke oke oke oke oke. Aku tahu kok, rayuanku enggak mempan. Oke aku keluar. Daagh adikku sayang." Sebelum ngibrit keluar kamar dia sempat menjahiliku dengan mencium pipiku seperti aku ini anak kecil. Hampir saja bantal di sisiku menghajarnya, sayang pintu menghalangi dengan cepat. Dasar pintu jelek! Mau sok jadi pahlawan ya?

            Besok Papa pulang. Pertanda musibah akan menimpaku. Aku harus siap-siap jadi boneka prajurit lagi. Besok kuliah kelar jam dua, aku ngapain ya sampai malem? Hatiku resah. Pasalnya Papa ikutan TNI, cuma beberapa bulan sekali pulangnya. Kalau pulang kerjaannya mempresentasikan shotgun terbarulah, motor balap tercanggihlah, atau robot gundam terkeren. Sayangnya penyiksaan itu hanya berlaku dan tertuju padaku. Huaaaa.

            'Bintang, ini Papa bawakan robot-robotan gundam terbaru! Kamu pasti suka. Ayo sini lihat sama-sama.'

            'Besok kita nonton film Superman yuk. Kamu pasti mau seperti Superman kan? Terus kita lihat pameran otomotif abis itu. jagoan Papa pasti senang. Mumpung Papa enggak tugas ke luar kota. Bintang besok pasti gembira sekali.'

            'Bintang! Papa enggak suka kamu pakai baju warna itu! Ganti! Kamu pakai warna hitam atau biru donker pasti lebih keren. Cepet sana ganti!'

            'Kamu ini, kerjaannya bercermin terus! Kalau pakai minyak wangi buanyak buanget. Kalau mandi lama. Itu mobil-mobilan yang Papa beli malah dianggurin. Kamu ini sukanya apa sih?'

            Aku tersadar dari lamunanku masa kecilku. Menyebalkan banget punya Papa rese kayak gitu! Apapun yang kusukai selalu ditentang. Huh! Kenapa hanya aku yang dilarang bersolek dan mengenakan gaun-gaun cantik berwarna pastel! Hanya aku! Aku ingin seperti Mbak Tari, Mban Citra, dan Mbak Rissa.

            Malam menghadirkan nuansa kelam yang sama gelapnya. Bintang-bintang berkelip mengejek. Bulan menyembul dari balik awan seperti mengintip. Aku berharap diriku seindah bintang di langit, tapi yang ada hanya pertentangan batin. Berat. Aku harus terus berlakon seperti apa yang papa inginkan.

            "BINTANG!!" Sinar mentari menghujam mataku. Aku terdampar dari tidur nyenyakku. "BANGUN BINTANG! BANGUN!" Oke. Tak hanya matahari yang mengusikku. Juga teriakkan bunda yang bombastis. Sekali saja bunda berniat menaikkan nada suaranya satu oktaf, kurasa seluruh kaca akan pecah. Aku tertegun sejenak, tumben amat bunda ada di kamarku. Entah jin mabok mana yang menggiring bunda ke kamarku pagi-pagi. Oh tidak, sedikit siang. Kutegakan bantal untuk menyanggah punggungku.

            "WHOAAM. Ada apa, Bun? Kok pagi-pagi sudah berkokok?" Mataku masih beradaptasi dengan ganasnya mentari.

            "ADA APA KAMU BILANG?" Bunda menumpahkan isi kantung di genggamannya ke pangkuanku. Meluncurkan senjata pribadiku. Bedak. Blush on. Eye Shadow, Foundation. Eye Liner. Mascara. Semuanya. WHOA. Gaswat! Aku sempat terlonjak. Tiba-tiba bunda histeris. Menjerit. Menjambak rambutnya sendiri yang ikal. Juga diiringi rintikan hujan di wajahnya. Mendadak dramatis.

            "Apaan nih, Bun? Bunda mau latihan jadi sales girl?" Aku mencoba berakting. Maklum anak IKJ yang enggak keterima. Bisalah.

            "Kamu pikir kamu bisa bohongin bunda? Bunda nemuin ini di laci kamu! Kenapa kamu menyimpan barang-barang ini?" Bunda terlihat amat berang. Sudut 35 derajat dari mataku menangkap kedatangan ketiga kakakku. Wajah-wajah penuh dosa dan tanda tanya menyerbu kamarku.

            "Ada apa sih, Bun? Kok kayaknya emosi sekali." Mbak Tari mencoba memecah penasarannya yang sudah sampai ke ubun-ubun.

            "Lho? Kok bisa ada di laci aku sih? Mbak Citra kali lupa naruh di kamarnya lagi." Dengan memasang wajah innocence bin (pura-pura) enggak tahu apa-apa, kujawab. Aku masih nyoba mengeles, mengacuhkan selaan Mbak Tari. Eits. Pantang menyerah. Atau hancur selamanya? Mbak Citra yang kujadikan tumbal menganga lebar. Kurasa bola tenis masuk mulutnya dengan mulus.

            "Citra itu tidak ceroboh. Kamu tidak usah mungkir terus! Sudah! Jelasin semuanya sama Bunda!" Mata sendu yang biasa menatap lembut kini memerah dan berkilat penuh amarah. Sial! Ini adalah pertanda perang dunia akan dimulai.

            "Kenapa Citra sih, Tang? Emang ada apa sih Bund?" Mbak Citra mulai sewot, mendengar namanya disebut-sebut tanpa izin.

            "Itu tuh!" Bunda menunjuk segala perisai hidup yang ada dipangkuanku, "Adik kamu memiliki dan menyimpan barang itu semua. Bunda curiga. Apa itu punya kalian?" Serentak semua menggeleng seperti agem (anak dugem) yang digambarkan Project Pop. Tatapan  menghujam dengan samurai menguap dari Mbak Citra. Dendam Mbak Citra. (Baca seperti suara orang yang menyebutkan Dendam Nyi Pelet di televisi).

            "Oke. Bintang jelasin semuanya, aku coba menguatkan hati. "Bintang emang nyimpen itu semua. Karena emang Bintang suka. Bintang juga mau terlihat seperti Mbak Tari, Mbak Citra, ataupun Mbak Rissa. Terus apa yang salah Bun?" Kuatur napas yang mulai memendek. Sakit.

            "TAPI KAMU ITU LAKI-LAKI, BINTANG!" Helaan napas menyela. Aku merasa tertohok dengan realita itu. Aku ini laki-laki. "Kamu enggak pantas pakai barang begituan. Sejak kapan kamu begini? Kenapa Bintang? Kenapa?"

            Kusapukan pandangan pada diriku. Aku tidak melihat adanya lekuk tubuh indah layaknya perempuan. Yang ada hanya dada bidang, dengan lengan yang sedikit berotot, tak ketinggalan sesuatu yang mengganjal di selangkanganku. Aku mulai shock dengan keadaanku sendiri. Merasa bahwa aku selama ini sama dengan Mbak Tari, Mbak Citra, ataupun Mbak Rissa. Perempuan. Tapi kenyataannya aku ini LAKI-LAKI. Laki-laki. Cowok. Pria.

            Entah dari mana asalnya aku merasakan air mata yang membuat aliran sungai di pipiku. Oh Tuhan, apa yang membuat aku harus terbentur realita sepahit ini. Apa salah bila aku menyukai kosmetik itu. Apa salah bila aku gemar bersolek? Karena tidak ada tulisan pada kemasan kosmetik manapun, poter apapun, yang menyatakan kosmetik hanya khusus wanita. Lalu apa salahku? APA SALAHKU?! AAAAARRRRGGGGHHH!

            "Ingat Bintang Andhika Mulia Prabowo. Kamu itu LAKI-LAKI! LAKI-LAKI! Jangan sekalipun kamu menyalahi kodrat kamu sebagai seorang PRIA seperti ini!" Bunda menjerit frustasi. Mencoba menyaingi kefrustasianku. Fiuh!

            "Bunda, ini mungkin salah Tari juga. Dari Bintang kecil, Tari suka mengajak Bintang berdandan, kadang-kadang juga Tari jadiin Bintang korban yang Tari dandanin." Terdengar tawa putus asa yang menyilet jantung." Jangan salahin Bintang sepenuhnya Bun. Tari juga merasa bersalah. Bintang maafin Mbak Tari ya. Gara-gara Mbak kamu jadi begini." Tangisan yang sedari tadi dibendung, kini membanjiri wajah cantik kakak yang sangat dekat dan menyayangiku. Aku? Hancur.

            "Sudahlah Mbak. Mbak enggak usah menyalahkan diri sendiri. Toh emang bukan Mbak yang salah." Refleks aku membanting semua kosmetik-kosmetik yang sedari tadi kukelonin di pangkuan. Kontraksi infeksi batinku sudah teramat parah. Tak sanggup aku terus mendengar realita. AKU INI LAKI-LAKI. Laki-laki yang salah.

***

Keterangan: ** = Kenyataan yang terbongkar.

Oleh: Ketty Tressianah