Jika kuperhatikan Mama mungkin dulunya adalah anak manja. Aku tak pernah melihat Mama memasak makanan sendiri. Selama ini Mama hanya pesan di restoran sebelah untuk sarapan dan makan siang. Biasanya untuk makan malam, Mama hanya memanggang roti dan menggoreng sosis.
"Giska, kapan kamu akan siap?" Kakek langsung mencecar Mama dengan pertanyaan begitu selesai mengangkut koper-koper dan duduk di samping Mama. Mama hanya diam. Raut wajahnya berubah masam.
"Aku tidak tahu Ayah. Mungkin nan..."
"Apa? Nanti? Kamu pikir ini masalah sepele?" suara Kakek meninggi. Nenek segera menegur Kakek.
"Sssstt, Pak. Jangan keras-keras. Kedengaran tetangga kan malu."
"Tapi Bu kalau begini terus, kita bisa terlambat. Kalau sudah terlambat, kita tidak bisa berbuat apa-apa!" Kakek menatap Nenek serius.
Nenek segera duduk mengapit Mama lalu berkata dengan amat tenang, "Iya, saya mengerti. Tapi kalau Giska belum siap, ya, kita harus sabar. Yang menjalani kan dia, biar dia yang memutuskan, Pak."
"Ya sudah. Terserah kamu Gis. Ayah ingin melakukan yang terbaik bagi kamu. Tapi kalau kamunya tidak terima, terserah..." Kakek terlihat menyerah lalu meraih jeruk dan mengunyahnya.
"Tapi Bu... aku benar-benar takut. Aku tak tahu kalau aku bisa.." Mama mulai terisak. Ya ampun...kenapa Mama tak bisa berhenti menangis? Kenapa semua orang selalu membuat Mama sedih?
Aku ingin sekali melindungi Mama dari semua tekanan-tekanan mereka. Selama ini Mama selalu melindungiku dari terjangan dan tendangan Papa, meski Mama sendiri harus kesakitan.
Aku menantikan saat-saat itu. Saat aku sudah besar dan mampu melakukan apa saja termasuk melindungi Mamaku. Saat itu pasti saat yang amat tepat untuk membalas semua pengorbanan Mama untukku.
"Kalau begitu kami pulang dulu. Kamu istirahat saja dan jangan terlalu capek. Ibu khawatir melihat kamu," Mama mengangguk. Kakek dan Nenek lalu bergegas menuju pintu dan terlihat takut dipergoki orang. Aneh, sangat aneh.