The Transporter

By Astri Soeparyono, Senin, 16 Januari 2012 | 16:00 WIB
The Transporter (Astri Soeparyono)

Mataku masih berat dan badan ini masih terasa lemah. Aku mencoba tidur di sepanjang perjalanan. Namun, kebisingan lagu tribal yang Mum putar di radio mobil menggangguku.

          Mum bohong, ia bilang dia akan pindah ke suatu tempat yang asyik. Coba tebak? Mum mengajakku ke Indonesia. Aku sangat senang mendengarnya, mungkin aku akan tinggal di Bali. Namun, Mum bilang aku tidak akan tinggal di daerah pantai lagi seperti 16 tahun sebelumnya. Benar saja, dari lahir aku selalu dibesarkan di daerah pantai. Dan aku selalu berpindah tempat tinggal sejak umur 5 tahun. Setahun di Gold Coast, dua tahun di Pattaya dan sisanya di daerah (entah di mananya) Queesland, Australia. Lalu, saat menginjak umur enam tahun aku menjalani hidup di North Shore.

          Tapi mengapa, di saat aku 16 tahun, di saat masa remajaku ini, Mum mengajakku pindah ke kota (entah di sebelah mana) Indonesia ini. Bahkan untuk mengeja namanya saja susah! Aku coba ...Pa-lem-bang, yang mungkin itu nama kota ini. Entah mengapa Mum pindah ke sini. Lebih tepatnya entah kenapa Mum mau saja dipindah tugaskan ke sini! Kenapa bukan Jakarta? Bandung? Yogyakarta? Kalau dipikir-pikir untuk apa ke Indonesia kalau menghindari daerah pantai!

          Bayangkan, kota ini bahkan tidak punya satu pun otlet Starbucks dan Taco Bell! Enggak asyik. This city is tottaly uncool. Dimana ombak itu? Dimana papan seluncur Rusty-ku yang sudah using?

          "Nathan, wake up! " Mum menguncang bahuku. Aku menyipitkan mataku.

          "We're here, honey. Are you okay?" tanya Mum.

          "Yeah, I'm cool. "Aku mengambil backpack-ku yang berisi notebook dan beberapa alat tulis itu.

          "Good luck for your first day, sweetheart."

          Mum mencium pipiku sembari aku melangkah keluar dari SUV hitam kami. Kepalaku masih berat dan aku menyipitkan mataku. Terdengar dari belakang sayup suara SUV Mum yang melaju meninggalkanku.

          Mataku agak terbelalak ketika melihat betapa megahnya gedung yang berada dihadapanku. Entah tulisan apa yang menempel di atas gedung itu. Yang jelas gedung ini adalah sekolah baruku.

          Aku berjalan meniti tangga sebelum menuju balkon. Kakiku masih bergetar. Kemarin, pesawat terguncang hebat karena hujan lebat. Beginilah hasilnya, aku namakan ini "shaking leg and puffy eyes plane syndrome'.

          Ah! Kenapa aku tidak langsung 'transport' diriku saja! Biar mereka tahu ada transporter di sini yang tidak perlu bepergian dengan pesawat ke segala penjuru dunia.