Suasana Brown Coffe Shop sore itu sepi. Hanya ada empat meja yang terisi. Aku meletakkan tas di atas meja bundar dari kayu yang ada di hadapanku dan duduk di sofa berwarna krem. Pramusaji menghampiri, menanyakan pesananku, tak lama kemudian membawakan sepotong tiramisu dan caramel latte. Setelah mengucapkan terima kasih, aku menarik keluar sebuah novel dari dalam tas dan membuka halaman yang telah kutandai lalu membacanya.
Jam-jam ini adalah saat-saat yang paling kunikmati. Pulang ngajar, jalan-jalan ke toko buku, nunggu Hans pulang kerja, sambil nongkrong di Brown Coffee Shop. Rutinitas ini baru berjalan dua minggu, berkat promo credit card yang membuatku berani mengeluarkan duit untuk membeli kopi dari gerai super mahal ini.
Saat aku membalik halaman ke-45 dari bukuku, pintu toko terbuka, seorang cowo berkacamata frameless masuk, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Lalu ia rnenemukan apa yang dicarinya dia tersenyum sambil melambaikan tangan. Yang membuatku sedikit terpana adalah karena dia berjalan menuju ke sini. Ke arahku! Dengan santai cowok itu berjalan ke deretan meja aku dan... menghempaskan dirinya di meja sebelahku.
Aku menegakkan diri dan memperbaiki posisi duduk. Rasanya agak tidak nyaman kalau ada yang duduk sedekat itu dengan kita. Tapi aku enggak bisa pindah, rasanya enggak sopan sekali.
Keduanya kedengaran berbasa-basi lalu mngobrol sedikit dan memanggil pramusaji. Konsentrasiku jadi buyar, entah mengapa halaman ke-45 ini tidak bisa kutuntaskan. Memang begitulah sifatku sering rnengamati sesuatu yang tidak penting. Aku senang mendengar percakapan orang-orang di kendaraan umum, di toko buku, di tempat tunggu praktek dokter, café... Aku mencoba beristirahat sebentar, sambil mnikmati tiramisu yang tadi kupesan.
"Wah, keren! Kapan-kapan gue main yak e kantor lo!" aku menoleh sedikit, cowok berkacamata tadi yang sedang berbicara.
"Biasa saja, kali! Lo gimana, man? Balik-balik, sudah S2, hebat...hebat...Kenapa enggak cari kerjaan di sana saja, Di?" Tanya temannya tadi.
Si "Di" itu tertawa, "Kangen rumah, lah! Enggak betah di sana, susah cari makan, biaya hidup tinggi."
"Ah, menuh-menuhin Indonesia saja, lo!" seloroh temannya.
Mereka terdiam bebarapa saat, waktu pramusaji datang mengantarkan pesanan. Aku tersadar dari kegaiatan sia-sia yang baru saja kulakoni. Ah, aku kembali menunduk pada novelku dan berusaha menyelesaikan halaman ke-45.
Satu paragraph, dua paragraph, tiga...
"Haha, anak kampus gue. Junior... Nanti deh, lo gue kenalin." Kata suara temannya. "Lo gimana? Cewek lo bule, ya? Kok enggak dibawa?"
"Ngarang lo, gue enggak punya cewek...." Kata si cowok.
"Ah, enggak mungkin! Jangan-jangan lo putus sebelum balik!"
"Enggak! Sok tahu. Lo! Gue di sana beneran belajar, enggak ada tuh kepikiran nyari cewek."
"Kata si Farel, cowok-cowok Asia di sana laris manis..."
"Yah enggak semuanya, kali..."
Mereka tertawa kecil. Percakapan itu kembali menarik perhatianku. Aah, kenapa sih aku ini? Entah kenapa, kupingku senang mendengar suara si cowok bernama "Di" itu dan temannya. Mendengarkan mereka bercakap-cakap. Kenapa ya?
"Eh..." celetuk si cowok. "Gimana kabara...dia?"
"Dia?" temannya tampak ragu-ragu. "Mm... maksudnya Ki...?"
Tidak ada jawaban, hanya desahan napas.
"Apa lo benr-bener putus kontak sama dia?" Tanya temannya itu.
"Iya...enam tahun, enggak kerasa, ya?" gumam cowok itu.
"Lo masih mikirin dia, ya?"
Mereka terdiam.
"Lo tahu sesuatu tentang dia?" Tanya si cowok berinisial "Di" itu.
"Err..Stahu gue dia sudah punya cowok sekarang," jawab temannya.
"Hmmm. Telat ya, gue? Segalanya sudah berubah sekarang."
"Yaa, sayang banget. Padahal kalian cocok, lho. Sinar dan cahaya, arti nama kalian..."
"Itu memang kesalahan terbesar dalam hidup gue..."
"Kenapa?"
"Karen ague enggak pernah bisa memilih..."
Percakapan terhenti sejenak. Ada merasakan cowok tadi akan mulai bercerita, mmulai sebuah kisah.
"Semua berawal karena gue tidak sebaik kakak gu. Enggak pinter, enggak rajin...Orangtua gue merasan aneh, karena seharusnya gue punya kesamaan dalam dua hal itu sama kakak gue. Kami sama-sama dikasih nasi, dididik dngan cara yang sama... Puncaknya, pas gue gagal dapet beasiswa ke Inggris. Seperti yang lo tau, bokap gue orang yayasan sekolah, katanya gue ini malu-maluin dia banget dengan gagal dapet beasiswa..." terdengar bunyi dentingan gelas dan sendok yang beradu, salah satu dari mereka mengaduk kopinya. "Gue ditekan terus...Enggak boleh main-main, pokoknya gue harus menyamai kakak gue."
"Apa bedanya? Dia juga pintar, tapi dia tetap punya perasaan ke elo..."sanggah si teman.
"Buat gue, dia berpengaruh banyak. Dia adalah penyemangat, pemotivasi, dan pengatur mood gue. Kalau gu lihat dia dekat sama cowok lain, atau denger gosip tentang dia, mood gue gampang banget turun. Gue jadi sering bête dan enggak bisa konsen. Ditambah kalau gue lihat kakak guee, selama bertahun-tahun enggak pulang. Pasti orangtua gue juga penginnya gu begitu, tamatin sekolah dulu, baru pulang. Artinya bakal lama banget gue enggak bisa ketmu dia. Gue makin engga semangat belajar."
"Ho...Jadi lo punya dua pilihan? Mau serius sama dia atau ngelupain dia?"
"Akhirnya ngelupain dia adalah jalan paling baik, kan? Soalnya ini menyangkut masa deepan, piker gue. Kalau dia, sih, cukup lah nyakitin perasaan dia, matiin harapan dia tentang gue. Kita sama-sama menjauh. Dan berhasil, gue lebih focus belajar, dia enggak pernah mampir di ingatan gue. Kecuali di hari kelulusan kita..."
"Yang mana?"
"Waktu dia nyatain perasaannya ke gue...saat dia ngasih sekotak penuh benda-benda tentang gue yang dia simpan."
"Aah, gue ingat."
"Gue nyaris batal pergi. Tapi gue juga sadar kalau semua yang sudah gue capai itu, enggak dibuang gitu saja. Kali terakhir gue bicara sampai saat gue mau masuk ke boarding room. Ngucap terima kasih dan selamat tinggal."
"Kenapa harus bilang selamat tinggal? Kaya di film-film itu...lo janji bakal balik..long distance love..."
"Gue enggak mai ngasih harapan yang muluk-muluk ke dia. Kita kan enggak pernah tahu kedepannya bakal gimana. Bisa saja gue suka sama cewek lain atau dia ketemu cowok lain..Tapi gu sadar kalau gue salah, lo kira gue enggak berusaha? Liburan dua tahun yang lalu, gue berusaha nelepon dia. Tapi dia sudah pindah rumah. Gue enggak pernah tahu nomor HP-nya, gue enggak pernah tahu email-nya. Saat itu gue piker, sudahlah."
Si teman tidak menyanggah lagi. Keduanya diam cukup lama. Aku terdiam, kisah itu membuat mataku kosong, menatap lantai toko yang terbuat dari kayu. Teringat akan sesuatu...
"Dan sekarang...lo berubah pikiran? Lo pengin ketemu sama dia?" Tanya temannya.
"Hmmm.. Karen ague bakal menetap di sini, gue punya banyak waktu untuk cari dia," jawab si cowok tadi, sambil menyandar pada kursinya.
"Lo masih berharap dia nyimpan perasaan ke lo?" Tanya temannya lagi.
"Gue enggak mau egois, dan merusak tatanan hidup dia yang sekarang. Apakah dia happy, gimana perasaannya ke gue sekarang. Inginya sih dia bahagia sekarang...sama cowoknya. Tentang perasaannya ke gue...harapan itu selalu ada."
Suara si cowok terasa sangat dekat denganku. Membuat bulu kudukku berdiri.
"Jadi...kalau ketemu, lo mau apa?"
"Berterima kasih...dan mengembalikan sesuatu..kalung nama ini..."
"Radiant...bahkan nama lo dia ukir..."
Aku tidak melanjutkan kegiatan mngupingku. Karena penggalan akhir percakapan mereka telah menulikanku.
"Hey, baru datang?" setelah sekian lama dalam kesunyian, suara Hans merasuki indera pendengaranku. Ia telah duduk di seberangku sambil mengetuk-ngetukan jarinya di meja. Dengan wajah tersenyum lebar, membuat suasana jadi riang.
Aku tersadar dari lamunanku dan mendongkrak. Sedikit salah tingkah, aku tersenyum kaku padanya.
"Kata kamu ada buku bagus, ya? Kita k Gramedia sekarang, yuk!" Hans melanjutkan.
Namun saat ia melanjutkan ocehannya, pikiranku malah melantur. Kmbali kea lam pikiranku sendiri. Sampai akhirnya tangan kanan Hans melambai-lambai di depan mataku.
"Kirana...kok ngelamun? Kamu enggak apa-apa?" Hans bertanya, sambil tetap tersenyum.
Bersamaan dengan itu, kursi di sampingku berderit, saat orang yang menempatinya bergerak cpat.
Untuk beberapa saat aku kehilangan control tubuhku. Cumin bisa megap-megap. Tidak menduga namaku akan terucap.
Kubereskan segala barang-barang bawaanku dan kutinggalkan sepotong tiramisu serta seperempat minuman yang belum habis. Lalu berdiri tergesa-gesa, mengabaikan tatapan keheranan yang dilempar Hans.
Sambil berdiri, sudut mataku menangkap tatapan terpana dua pasang mata. Dengan nekat aku menoleh pada dua orang tadi. Khususnya pada cowok berkacamata frameless yang duduk tepat disampingku. Yang menghabiskan percakapan 30 menit tentang seorang gadis. Is speechlees dan mematung.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa saat mata kami bertatapan. Jutaan Tanya, berbagai jenis rasa, dan fakta yang ada menggebrakku tiba-tiba. Aku kepengin menjerit. Menjerit pada kebodohanku menguping percakapan orang lain, menjrit pada kedua cowok tadi, menjerit pada Hans yang sudah menyebut namaku.
Setelah sepersekian detik yang tidak tertahan, aku mengalihkan tatapanku. Kembali menatap ke depan. Menghampiri Hans dan menggandengnya.
"Ayo..." bisikku.
Aku menyeret Hans keluar dari sana. Hans menurut saja, walau jelas ia dipenuhi rasa penasaran. Kami menyapa malam yang dingin, membuat otomatis mnggigil. Masih tidak percaya pada 'kebetulan' ini. Pada segala hal yang terjadi dalam 30 menit yang baru kulewati. Bahwa aku lah gadis yang dikisahkan tadi.
***