Satu dari 12 orang melukai dirinya sendiri saat remaja. Begitulah temuan sebuah penelitian. Bagi kebanyakan orang, persoalan akan terpecahkan sebelum dewasa, tetapi sekitar 10 persen masih berlanjut ke masa dewasa. Remaja cewek lebih sering melukai diri dibanding cowok dan risiko berlanjut ke dewasa lebih besar.
Penelitian itu melibatkan hampir 2,000 remaja di Australia, dan diulang dengan menyurvei mereka setelah 15 tahun. Para peneliti menemukan bahwa kecemasan, depresi, penggunakan alkohol, merokok, mengonsumsi ganja berasosiasi dengan penyiksaan-diri. Bahkan dalam bentuk yang umum mereka melakukan penyiletan atau malah pembakaran diri selama masa remaja.
Sebanyak 90% remaja itu menghentikan penyiksaan-dirinya sebelum mencapai dewasa. Namun bukan berarti bahwa penyiksaan diri itu menjadi fase seseorang sebelum beranjak dewasa. Jika tidak ditangani dengan serius bisa menjurus ke bunuh diri. Dukungan keluarga dan teman dekat amat menentukan apakah penyiksaan-diri itu bergeser menjadi bunuh diri.
"Penyiksaan diri merupakan salah satu tanda kuat menuju ke bunuh diri," kata Dr. Paul Moran dari King's College London, seperti dikutip oleh BBC. Menurut Professor Keith Hawton, direktur Pusat Penelitian Bunuh Diri, Universitas Oxford, antara 50% dan 60% orang yang meninggal bunuh diri memiliki sejarah pernah melakukan penyiksaan diri.
Kunci untuk mencegah hal itu adalah menemukan apa yang membuat remaja berani melakukan aksi nekat. Sesuatu sepertinya membuat remaja benar-benar enggak bahagia atau ketakutan. Ketika remaja tidak bisa mengatasinya, cenderung akan melanjutkan untuk melukai dirinya atau, dalam kasus ekstrem, mendorong tindakan melakukan bunuh diri.
(agus/intisari-online.com, foto: fanpop.com)