Menjejaki Perjalanan Panjang Siswa Sumba Barat Daya ke Sekolah

By Astri Soeparyono, Selasa, 6 Desember 2016 | 08:45 WIB
Siswa mengular di jalanan, pulang dari sekolah (foto diambil menggunakan Canon EOS M10). (Astri Soeparyono)

Siswa di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) punya satu kesamaan, mereka harus berjalan kaki untuk ke sekolah. Jangan heran kalau berkunjung ke SBD, sepanjang jalan kita akan berpapasan dengan barisan panjang para siswa yang berangkat sekolah atau pulang ke rumah.

Langit biru, cerah. Jalan raya beraspal hitam panjang seperti enggak kunjung usai. Di sisi kiri jalan, barisan acak remaja berseragam sekolah berjalan kaki sambil menenteng tas. Dari yang berseragam putih merah, putih biru, sampai putih abu. Pemandangan yang selalu terlihat di berbagai wilayah di SBD dari pagi hingga menjelang sore hari.

“Umumnya para siswa berjalan kaki selama tiga puluh menit sampai satu jam menuju sekolah. Lokasi rumah mereka paling dekat satu kilometer dari sini. Tapi mereka sudah ada di sekolah sebelum jam belajar mulai pada pukul 7.30 WIT,” tutur Timoteus Tura Kii, kepala sekolah SMPN 4 Loura yang berada di wilayah Ledo Ngara, Desa Totok, Kecamatan Loura, SBD, Nusa Tenggara Timur.

Sekolah satu atap (sekolah yang terintegrasi antara SD dan SMP) ini berada tepat di puncak perbukitan di Ledo Ngara. SMPN 4 Loura adalah sekolah terdekat untuk wilayah Desa Totok. Walaupun terdekat, jarak dari rumah para siswa ke sekolah minimal 1 kilometer. Dan karena di SBD enggak banyak angkutan umum seperti di kota-kota besar di Pulau Jawa, para siswa harus berjalan kaki. Dan bagi para siswa, berjalan ke sekolah itu biasa. Tapi, tetap saja perjuangannya luar biasa.

“Semangat sekali belajar di sekolah, karena belajar itu menyenangkan. Tapi kadang terlalu lelah untuk berjalan, jadi enggak masuk sekolah. Tapi enggak pernah bolos lebih dari satu hari. Besoknya pasti masuk, karena bosan di rumah, ingin belajar di sekolah,” cerita Omi, siswa kelas 2 SMPN 4 Loura.

Jangan berpikir kalau enggak masuk sekolah, teman-teman kita ini nongkrong atau pergi enggak tentu arah. Rata-rata orang tua siswa di SMPN 4 Loura ini bermata pencaharian sebagai petani ladang. Jadi kalau bolos, mereka akan turun ke ladang untuk membantu orangtuanya. Dan para cewek di Desa Totok biasa tuh mencangkul tanah, bukan masalah.

“Kami biasa mencangkul. Di ladang, kami menanam singkong dan jagung. Setelah panen akan ada orang yang datang untuk mengambil hasil ladang. Kalau enggak sekolah, kami di ladang atau diam saja di rumah, bosan. Lebih baik ke sekolah,” tutur Veby, siswa dari kelas yang sama.

Iya, Veby bilang, lebih baik ke sekolah. Soalnya, belajar banyak hal di sekolah bagi mereka sangat menyenangkan, bukan beban. Dan mereka juga punya cita-cita tinggi. Ada empat profesi yang disebut berulang; polisi, guru, perawat, dan biarawati. Tapi, sebelum bisa meraih mimpi, mereka harus sekolah tinggi. Setelah perjalanan panjang ke SMP, mereka harus berjalan lebih jauh lagi untuk ke SMA. Karena SMA di SBD umumnya berada di tengah kota. Apalagi kalau mereka ingin masuk ke sekolah unggulan, umumnya berada di ibukota SBD, Tambolaka. Buat teman-temanyang sudah SMA, motor jadi pilihan sebagai kendaraan ke sekolah. Tapi, usia mereka kan belum mencukupi untuk punya Surat Ijin Mengemudi (SIM), yah?