Ketika Ada Guru yang Menganiaya atau Melakukan Kekerasan Pada Muridnya di Sekolah

By Ifnur Hikmah, Jumat, 20 April 2018 | 03:00 WIB
Ilustrasi tindakan kekerasan oleh guru terhadap murid. Foto: askkpop.com (Ifnur Hikmah)

Tindak kekerasan di sekolah enggak hanya terjadi antara sesama murid saja. Dari berita-berita yang ada di media massa, beberapa kali kita menemukan kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada murid di sekolah. Tindakan kekerasan ini beragam, seperti memukul pakai tangan atau benda sampai ke menganiaya.

Contohnya saat ini sedang viral video guru SMK di Purwokerto yang menampar muridnya di kelas. Bukan hanya satu anak saja, tapi menurut penjelasannya, dia memberikan hukuman tersebut karena sikap siswa yang sudah keterlaluan dan melanggar aturan.

Beberapa waktu lalu juga ada berita guru yang menghukum muridnya dengan cara disuruh menjilat WC.

Tahun lalu juga ada kejadian kepala sekolah di Riau yang melakukan tindakan kekerasan di Riau. Kepala sekolah ini diduga menganiaya 46 orang siswa yang bolos setelah libur Imlek. Kabarnya, beliau menganiaya siswa tersebut sampai ada luka dan lebam kemudian menjemur mereka di lapangan.

Ini hanya contoh salah satu kasus kekerasan yang terjadi di sekolah antara guru dan murid. Ketika saya masih sekolah dulu, saya juga pernah melihat langsung hal ini. Tumbuh dan sekolah di kota kecil membuat sebuah berita berkembang dengan sangat cepat. Tidak banyak SMP di kota saya, sehingga ketika ada seorang guru yang akhirnya diberhentikan dari profesinya sebagai guru dan dipindahkan ke unit lain, berita itu langsung tersebar dengan cepat.

Ada pun alasan guru itu dipindahkan karena dia memukul seorang murid menggunakan penggaris kayu yang lumayan tebal sampai menimbulkan luka. Kejadian ini cukup mengguncang kota saya pada saat itu, dan semakin ramai karena meski sudah lewat bertahun-tahun kemudian, cerita ini masih terus disampaikan dari kakak kelas ke murid baru.

Saya punya orangtua yang berprofesi sebagai guru. Keluarga besar saya umumnya juga guru. Saya pernah ingat orang tua saya berpendapat kalau pendidikan kita yang sudah jauh berubah. Kalau dulu, guru sering memukul atau membentak murid yang ketahuan berbuat salah, tapi sekarang hal tersebut bisa diperkarakan.

Dikutip dari republika.com, wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla, juga mengungkapkan hal yang sama. Beliau berkata bahwa beberapa tahun lalu, tindakan guru memukul siswa masih dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa terjadi. Namun, sekarang terdapat aturan kalau guru dilarang memukul anak didik.

Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, pernah mengungkapkan bahwa dalam mendidik siswa, harus mengutamakan cinta kasih dan keteladanan. Karena itu, tentunya tindakan kekerasan ini sangat disayangkan karena bisa menimbulkan efek traumatis pada siswa.

Bukan cuma kekerasan fisik, kekerasan verbal juga bisa menimbulkan efek yang sama, seperti membuat kita jadi kurang percaya diri, tertekan, dan itu tentunya akan mempengaruhi kita dalam menjalani pendidikan. Seperti jadi enggak nyaman untuk ke sekolah atau enggak bisa berkonsentrasi.

“Dulu waktu SMA aku punya guru yang galak, kalau sama murid kadang suka main pukul kalau marah. Yang cewek juga pernah dipukul pakai buku atau penggaris. Beberapa memang karena kesalahan murid, tapi menurutku kekerasan bukan cara buat nyelesaiin ini. Kan, bisa dinasihatin baik-baik. Jadinya, aku enggak nyaman belajar sama dia. Karena terlalu mikirin enggak mau berbuat salah, jadinya malah enggak sengaja berbuat salah dan bisa bikin dia marah. Enggak enak banget, deh.” (Tiara, 18 tahun, Jakarta)

Dikutip dari website Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr.soc.pol Agus Heruanto Hadna, seorang pengamat kebijakan publik UGM, memandang kalau banyaknya kasus kekerasan guru kepada murid ini terkait dengan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia.

Menurut beliau, sistem pendidikan Indonesia seringnya mengabaikan pendidikan prilaku dan karakter serta lebih menekankan pada aspek kognitif. Sehingga, aspek prilaku dalam pendidikan jadi lemah, enggak hanya pada guru tapi juga pada murid. “Jadi enggak ada keseimbangan antara pendidikan kognitif dan prilaku,” jelas Agus.

Beberapa kasus kekerasan ini mungkin memang berasal dari murid. Seperti kasus di Purwokerto. Guru tersebut mengaku karena muridnya sudah kelewatan dan melanggar aturan meski tidak disebutkan aturan seperti apa yang dilanggar. Atau seperti kasus di Riau tersebut. Kejadian ini bermula karena murid yang membolos.

Soal guru di kota saya, dia terpaksa memukul siswa karena siswa tersebut melanggar peraturan sekolah berkali-kali. Mungkin, kita bisa mengurangi kejadian ini dengan cara memerhatikan sikap kita.

Seringkali, melanggar peraturan jadi alasan. Peraturan dibuat tentunya demi kebaikan kita, dan memang, sih, godaan untuk melanggar aturan itu gede banget, apalagi kalau teman-teman banyak yang melakukannya. Namun, tentu saja hasilnya enggak baik, sehingga enggak ada salahnya kalau kita mulai lebih memperhatikan peraturan.

Ketika peraturan yang ada dirasa sudah enggak relevan lagi atau malah mengekang kita sehingga enggak bisa mengembangkan kreativitas atau menghambat kita untuk maju, hal ini tentu bisa dibicarakan baik-baik.

Ada OSIS yang menjadi wadah bagi para siswa untuk menyampaikan opini untuk kemudian disampai kepada sekola. Ada MPK, alias Majelis Perwakilan Kelas yang bisa menjembatani antara keinginan siswa dengan sekolah.

Agus juga mengungkapkan kalau hal ini bisa diatasi dengan menjaga pola komunikasi agar terjalin dengan baik. Termasuk antara sekolah dengan orangtua.

“Meski sudah banyak dibentuk komite sekolah, tapi belum banyak yang memanfaatkan wadah ini sebagai saran menjalin komunikasi orang tua dan murid dengan pihak sekolah dengan baik. Kalau komunikasinya efektif maka enggak akan terjadi hal-hal seperti ini,” ungkap beliau.

“Menurutku, murid dan guru itu bisa bersahabat tapi kita tetap menghormati mereka. Caranya ya dengan enggak sengaja nyari masalah. Kalau memang kita salah, aku harap guru juga bisa bersikap bijaksana, enggak langsung marah-marah apalagi berbuat kekerasan. Kalau di sekolahku ada sistem poin, setiap kali kita melanggar aturan, maka hukumannya jelas, bisa dapat poin dan guru enggak bisa bertindak kasar atau menghukum dengan cara lain. Namu, balik lagi ke kitanya juga. Aku, sih, bilang ke diri aku sendiri kalau aku sekolah ya buat belajar, bukan nyari masalah, jadi sebisa mungkin aku enggak melanggar peraturan.” (Nadia, 17 tahun, Jakarta)