Intoleransi. Kata yang saat ini banyak banget diangkat sebagai isu di media massa atau pun media sosial.
Salah satu pemicu utama yang membuat isu intoleransi ini makin banyak dibahas akhir-akhir ini adalah momen Pilkada DKI Jakarta.
Ada perbedaan agama dan ras antara kedua paslon juga kampanye yang dirasa menimbulkan SARA, dianggap meningkatkan intoleransi di dalam masyarakat.
Seperi yang diungkapkan Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo pada Kompas.com kalau Pilkada DKI ini imbasnya ke mana-mana, termasuk pada siswa atau remaja di lingkungan sekolah.
Apakah benar?
Ketika yang lain ribut soal intoleransi di medsos, ternyata begini reaksi nyata para remaja!
Intoleransi ini jadi lawan dari toleransi atau enggak bertoleransi.
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toleran adalah:
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri
Jadi kalau intoleransi, ya sebaliknya.
Seperti sudah disebutkan di atas, salah satu pemicu utama yang membuat isu intoleransi ini makin banyak dibahas akhir-akhir ini adalah momen Pilkada DKI Jakarta.
Ada perbedaan agama dan ras antara kedua paslon juga kampanye yang dirasa menimbulkan SARA, dianggap meningkatkan intoleransi di dalam masyarakat.
Seperi yang diungkapkan Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo pada Kompas.com kalau Pilkada DKI ini imbasnya ke mana-mana, termasuk pada siswa atau remaja.
Menurutnya hal ini memang enggak langsung mengganggu kegiatan belajar mengajar, tapi berdampak pada kemerdekaan berpikir kita.
Henny juga bilang kalau ini didasarkan pada hasil penelitian Kemendikbud di sekolah-sekolah di daerah Singkawang dan Salatiga.
Di Singkawang sendiri memang pernah terjadi konflik antar etnis dan agama.
(Baca juga: 84% Murid di Indonesia Pernah Mengalami Kekerasan di Sekolah. Kenapa Angkanya Begitu Tinggi?)
Responden adalah 160 orang yang terdiri dari siswa, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, hingga akademisi.
Sangat setuju 57,5%
Setuju 30,6%
Ragu-ragu 10%
Tidak setuju 1,3%
Sangat tidak setuju 0,6%
Tidak setuju 42,5%
Sangat tidak setuju 36,3%
Ragu-ragu 13,1%
Seuju 6,3%
Sangat setuju 1,9%
Tidak setuju 34,8%
Ragu-ragu 25.5%
Setuju 19,3%
Sangat tidak setuju 16,8%
Tidak setuju 3,7%
Walau memang masih ada minoritas yang bersikap intoleran.
(Baca juga: 5 Kisah Guru di Indonesia yang Paling Mengharukan dan Bisa Mengunggah Hati Kita)
Kalau menurut psikolog anak dan keluarga Annasurti, sikap intoleran pada rmeaja atau siswa ini sebenarnya enggak sepenuh berasal dari Pilkada DKI.
Tapi lebih pada praktik kurangnya toleransi yang sudah sering menimpa dia sejak kecil.
“Pengaruh dari orang tua dan lingungan sekolah (sejak kecil) lebih kuat,” jelas psikolog yang akrab dipanggi Nina ini.
Nina juga menjelaskan kalau terpaan isu intoleran dari media massa atau medsos memang bisa jadi memengaruhi pola pikiri remaja.
Tapi enggak dengan mudah.
Bisa terjadi kalau intensitasnya tinggi, atau terus-terusan mengonsumsi isu intoleransi.
“Semakin tinggi intensitasnya, makan akan dianggap itu yang benar. Padahal yang banyak dibicarakan orang belum tentu yang benar,” kata Nina.
Menurut Nina, remaja juga akan lebih mudah terpengaruh info intoleransi dari medsos kalau dia terlalu banyak menghabiskan hidupnya di medsos dan kurang dekat orang tua.
“Pada dasarnya usia remaja adalah usia saat seseorang mencari jati diri. Jadi dia akan memilih mana yang paling pas dan membuat dia nyaman atau memberikan manfaat.
Ketika info yang masuk banyaknya berbau intoleransi, bisa saja itu menggiring dirinya ke arah sikap intoleransi,” jelas Nina
Senada dengan yang diucapkan oleh Nina, Kinan (16) siswi SMA Al Azhar BSD yang merupakan sekolah Islam mengatakan kalau
masalah orang enggak toleransi itulebih karena sejak kecil orang tersebut enggak ditanami budaya toleransi oleh keluarga atau sekolahnya.
"Kalau mereka ngajarin toleransi pasti kita otomatis akan ngikutin.
Aku sekolah di sekolah muslim, tapi kalau tandi atau main dengan sekolah lain juag dianggap sama aja, enggak ada yang dibeda-bedain,” cerita Kinan.
“Enggak pantas dan enggak perlu bahas soal agama di medsos, karena agama itu tanggung jawab masing-masing manusia. Masalah pribadi dengan yang disembahnya.
Sebagian perpecahan berawal dari medsos. Belum tentu respon yang baca baik, tergantung dari bijaksana atau enggaknya si pembaca itu.
Kalau buat aku sih enggak terlalu pengaruh ya.
Yang penting aku taat dengan agama aku sendiri.” -Vero (15), SMAN 46 Jakarta.
“Isu intoleransi ini malah bikin perpecahan di Indonesia.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika saat ini sepertinya udah luntur karena banyak orang yang udah enggak menghargai perbedaa.
Pilkada Jakarta kemarin juga banyak yang sengaja manas-manasin atau menyudutkan salah satu paslon.
Enggak sehat buat kita karena banyak kebencian yang menyangkut SARA yang diangkat ke publik.
Walau aku bukan orang Jakarta, tapi ikut kesal sama isu ini, hati aku ikut panas. Ditambah juga ada teman-temanku yang manas-manasin.” Renanda (16), SMAN 2 Bogor.
“Harusnya isu intoleransi ini enggak usah diperdebatkan, karena memilih udah jadi hak masing-masing dan enggak seharusnya kita saling menjatuhkan.
Malah justru dijadikan untuk saling menghargai pendapat satu sama lain.
Pengaruhnya buat aku sih jadi semakin mikir kalau toleransi itu membuat kita satu dan enggak membeda-bedakan satu sama lain.” - Fitriany (16), SMAN 91 Jakarta.
Kalau dari beberapa pendapat teman-teman kita itu, sepertinya kericuhan isu intoleransi yang disebarkan orang-orang, khususnya orang dewasa di medsos atau media massa ini enggak membuat atau membuktikan mereka jadi intoleransi akibat isu Pilkada Jakarta.
Setidaknya dari delapan siswa yang ditanya oleh Cewekbanget.id semuanya enggak menganggap hal ini membuat mereka jadi intoleran.
Meski begitu, bukan berarti tertutup kemungkinan kalau ada remaja yang terbawa jadi intoleran karena isu ini.
Khususnya di kota Jakarta sebagai yang terkait langsung.
Lalu apakah isu ini sampai memengaruhi kehidupan mereka di sekolah?
Misalnya enggak mau punya pemimpin yang berbeda agama?
Sebagain besar menjawab enggak. Karena mereka merasa enggak masalah memilih dan punya pemimpin yang berbeda agama. Selama pemimpin tersebut memang mampu dan punya kualitas yang baik.
“Aku mau aja dipimpil oleh yang beda agama, karena menurut aku enggak ada masalah dengan itu, selama dia mampu.” - Fitriany, SMAN 91, kelas 11
“Enggak masalah (milih dan punya pemimpin beda agama).
Aku enggak melihat dari apa suku dan agamnya, yang penting dia bisa diandalkan,” ujar Ardi (16), SMAN 1 Tanggerang.
Namun ada juga yang bilang enggak akan memilih pemimpin yang beda agama, tapi enggak masalah kalau dimpimpin oleh yang beda agama.
“Aku pribadi enggak memilih calon pemimpin yang beda agama dengaku karena ajaran agamaku menganjurkan milih pemimpin yang seiman.
Tapi kalau harus dipimpin oleh pemimpin yang beda agama, aku enggak masalah.
Namanya juga demokrasi, yang menang suara terbanyak, dia yang berhak jadi pemimpin.” Renanda (16), SMAN 2 Bogor.
Meski masih banyak yang mengaku kalau isu-isu intoleransi yang mencuat ke media massa dan medsos akhir-akhir ini enggak membuat mereka jadi ikut intoleran, bukan berarti kita bisa jadi enggak waspada.
Soalnya melalui medsos atau internet ini, informasi hoax yang bersifat mengadu domba atau menyesatkan bisa sangat mudah tersebar.
Lalu dipercaya begitu saja karena banyak yang menyebarkan, sehingga dianggap benar. Padahal belum tentu.
Untuk itu, menurut psikolog Anna Surti, ada 5 cara yang bisa kita lakukan biar enggak termakan isua tau sikap intoleransi.
Yuk girls, buktikan kalau remaja sekarang bisa saling toleransi dan enggak mudah termakan isu hoax atau yang mudah mengadu domba kita!