FWN, seorang murid kelas VII SMP N 2 Sanden, Bantul, Yogyakarta, dikeroyok oleh lima teman sekolahnya. Dilansir dari Tribunjogja, konfliknya bermula karena ada senggolan saat mau masuk kelas, padahal sebelumnya tidak ada dendam dari pelaku dan korban.
Akibat pengeroyokan tersebut, FWN mengalami gegar otak ringan dan menjalani perawatan medis di Rumah sakit PKU Muhammadiyah, Bantul. Sementara lima pelaku saat ini belum ditindaklanjuti kasusnya, pihak sekolah masih menunggu instruksi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bantul.
Pengeroyokan yang terjadi antara siswa ini bukan hal yang baru, namun sebenarnya harus segera dihentikan. Jangan sampai karena permasalahan yang sepele, malah merugikan kedua belah pihak. Belajar dari kasus pengeroyokan siswa di Bantul, Yogyakarta, ini alasan kita enggak perlu main keroyok untuk menyelesaikan suatu masalah.
Banyak kasus pengeroyokan siswa yang terjadi pada tahun 2018 ini. Awal Februari ini, seorang siswa MTs Maarif Ngalian Wonosobo, berinisial AEP, meninggal dunia setelah dikeroyok tiga siswa dari sekolah yang berbeda dengannya. Pemicunya saat korban berpapasan dengan pelaku di tengah jalan lalu kedua pihak terlibat perselisihan, hingga korban yang masih berada di atas sepeda motor langsung jatuh setelah beberapa kali dihujani pukulan oleh para pelaku di bagian tubuhnya yang vital.
Setelah korban tersungkur, para pelaku melarikan diri. Korban dibawa warga ke rumah sakit tapi nyawanya tak terselamatkan. Ketiga pelaku dijerat dengan pasal 80 ayat (3) Jo. 76 C Undang-undang RI Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 170 ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Akhir Januari ini, ramai berita tentang pengeroyokan yang dialami seorang siswa SD, berinisial T, yang dikeroyok tiga temannya saat sedang bermain sepak bola. Pemicunya, karena T melakukan gol bunuh diri saat pertandingan berlangsung. Tiga orang pelaku dan lima orang dijadikan saksi karena ikut menyaksikan pengeroyokan ini. Meskipun akhirnya masalah ini diselesaikan dengan jalur damai, korban mengalami gangguan saraf setelah alat kelaminnya ditendang.
Belum lama ini juga, seorang siswa SMP di Karanganyar dikeroyok beberapa siswa yang kabarnya dari sekolah yang berbeda dengannya. Pemicunya adalah konflik antar pelajar sekolah negeri dan swasta. Video pengeroyokan sempat viral, terlihat korban menangis saat dihujani pukulan dan tendangan dari para pelaku.
Dari tiga kasus ini, kita bisa melihat bahwa pengeroyokan adalah bagian dari bullying yang sudah mencapai tahap penyiksaan fisik. Permasalahan yang jadi pemicu bisa saja sangat sepele, tapi kemudian dampaknya sangat besar. Bahkan bisa mengorbankan nyawa seseorang.
Pengeroyokan adalah tindakan kekerasan emosi dan fisik yang dilakukan sekelompok orang kepada seseorang dengan tujuan membuat korban menjadi tidak berdaya dan tidak memiliki dukungan.
Ada beberapa teori psikologi yang bisa mampu menjelaskan penyebab terjadinya pengeroyokan. Pertama adalah Teori Frustasi-Agresi Baru, yang merupakan modifikasi dari Teori Frustasi-Klasik Burnstein & Worschel (1962).
Teori ini menyatakan bahwa
Kasus pengeroyokan akan merugikan pelaku dan korban. Tentunya hal yang akan dialami korban adalah luka fisik hingga kemungkinan trauma berkepanjangan. Korban pengeroyokan sama seperti korban bullying, ia akan mengalami masa-masa sulit untuk bisa beradaptasi setelah pengeroyokan yang dialaminya.
Kalau kita punya teman korban pengeroyokan, tetap berada bersamanya. Tidak perlu mengguruinya dengan banyak nasihat, cukup ada di sampingnya dan mendukung dia untuk bisa beraktivitas seperti semula, sudah lebih dari cukup.
(Baca juga: 84% Murid di Indonesia Pernah Mengalami Kekerasan di Sekolah. Kenapa Angkanya Begitu Tinggi?)
Lalu apa yang akan dialami oleh pelaku pengeroyokan? Pasal 170 KUHP mengatakan, barangsiapa yang terang-terangan melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Bila korban mengalami luka-luka, ancamannya paling lama tujuh tahun dan jika korban mengalami luka berat, akan dipidana paling lama sembilan tahun. Bila kekerasan mengakibatkan maut atau hilangnya nyawa seseorang, maka pelaku akan terjerat pidana paling lama dua belas tahun.
Ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah tanpa harus dengan kekerasan. Hal ini bisa kita lakukan atau kita beritahu kepada teman-teman kita, agar tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi, girls.
1. Komunitas membangun itu penting. Maksudnya, kita punya andil untuk memilih dengan siapa kita bergaul dan siapa saja yang berada pada lingkaran pertemanan kita. Kalau misalkan kita berteman dengan orang-orang yang punya temperamen keras, bukan tidak mungkin kita juga bisa tertular.
Setiap pertemanan memang punya kepribadian yang berbeda-beda, tapi jangan sampai berat ke salah satunya. Berteman sama siapa saja boleh, tapi pilih teman-teman terdekat dan komunitas yang membangun.
2. Pengendalian diri yang kuat. Di usia remaja, wajar kalau kita sulit untuk mengontrol emosi. Tapi bukan berarti sama sekali tidak bisa. Saat ada masalah, fokus pada penyelesaian dengan pikiran positif dan menguntungkan kedua belah pihak, bukan malah gimana caranya agar bisa menang sendiri.
(Baca juga: Bukan Hanya Korban Bullying Saja yang Menderita, Bystander atau Penonton Juga Bisa Mengalami Trauma)
3. Pikirkan konsekuensi ketika asal main keroyok. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, main keroyok bukan menyelesaikan masalah tapi justru menambah masalah. Mindset itu segalanya, girls. Jadi, selalu pasang mindset poin dalam pikiran kita.
4. Jangan pernah jadi penonton pengeroyokan. Dengan kita menonton atau mungkin malah merekam hingga video jadi viral, kita sebenarnya sudah menjadi pelaku pengeroyokan. Kalau kita tidak bisa melerai pengeroyokan, maka lebih kita segera melaporkan kepada pihak berwajib.
Dengan kita melakukan empat cara di atas, bukan tidak mungkin kita akan mengurangi kasus pengeroyokan antar siswa di Indonesia.