Cewekbanget.id - Meski awalnya terjun ke dunia tari karena terpaksa, kini nama Eko berkibar sebagai seniman dengan sejumlah penghargaan internasional.
Sejak kecil, Eko Supriyanto diharuskan ayahnya untuk berlatih tari dan pencak silat ketika keluarganya bermukim di Magelang. Ia berlatih tari dan silat dari sang kakek, Djojoprayitno, yang merupakan penari wayang orang Sri Wedari tahun 1960-an.
Awalnya, Eko kurang sreg, karena tari kerap dianggap lebih cocok untuk perempuan. Ia bahkan sempat mogok menari selama beberapa waktu. Namun, saat duduk di bangku SMA, pria kelahiran 26 November 1970 ini kembali menekuni dunia tari sebagai pilihan aktivitas ekstrakurikuler.
"Waktu itu pilihan ekstrakurikuler yang tersedia hanya tari, basket dan sepak bola. Basket kan tidak mungkin, karena postur tubuh saya pendek. Sepak bola tidak suka, karena ya mosok ada segitu banyak orang, semuanya hanya lari-lari mengejar satu bola, ha-ha-ha...," kenangnya.
Saat kembali menekuni dunia tari, Eko merasa seperti membuka pintu menuju kehidupan baru. Dengan menari, ia bisa mendapat banyak teman dan berkesempatan mengunjungi banyak tempat tanpa keluar biaya sama sekali. Pengalaman itu membuat pria yang lahir di Astambul, Kalimantan Selatan, ini semakin mencintai dunia tari.
Akhirnya, setelah lulus SMA, Eko pun mantap melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI), Solo. Di situlah, ia mengenal aneka ragam jenis tarian dari berbagai penjuru Indonesia, selain yang sudah lebih populer seperti tarian Jawa dan Bali. Di luar kampus, pria yang kini menjadi dosen tetap di ISI ini, berguru pada seniman Suprapto Suryodarmo dan Sardono W. Kusumo.
Mulai membuat koreografi sejak masih berstatus mahasiswa, sudah banyak karya tari yang dihasilkan Eko hingga kini. Setelah sukses menangani koreografi upacara pembukaan dan penutupan Asian Games 2018, pria yang sempat melanjutkan studi di University of California, Los Angeles, ini tengah disibukkan oleh 3 proyek besar.
Proyek pertama adalah tari Likuray dari Belu, Atambua, Nusa Tenggara Timur. Temanya adalah Body as the Borders, yang akan melibatkan 3 penari dari Belu dan 2 penari dari Timor Leste. Rencananya, pertunjukan perdana tarian ini akan dilakukan di Jerman, Belgia dan Taiwan pada tahun 2020.
Proyek kedua adalah tari kolaborasi dengan sipir-sipir penjara anak di Campbelltown, Sydney, Australia. Koreografi ini diikuti oleh 5 orang sipir. Pada tahun 2019 nanti, Eko dan timnya akan memulai tur pentas di seluruh penjara anak-anak Australia.
Yang terakhir adalah kelanjutan dari tur pementasan tari yang sudah berjalan sejak tahun 2012, yaitu tur tarian trilogi Cry Jailolo, Balabala, dan Salt. Ini adalah koreografi tari kontemporer yang terinspirasi dari tari perang Cakalele. Dalam proyek ini, Eko melibatkan penari-penari dari Jailolo, Maluku Utara.
Menjadi profesional di bidang tari, Eko mengakui bukannya tanpa tantangan. Selain stigma orang mengenai dunia tari sebagai dunia perempuan, tantangan lainnya adalah membuktikan bahwa aktivitas menari dapat dijalani secara profesional dan bisa menghasilkan nilai ekonomi. Hebatnya, ia berhasil menaklukkan kedua hal tersebut dengan kerja keras selama bertahun-tahun.
Kini, pria yang pernah dipercaya Madonna menjadi penata tari untuk salah satu rangkaian tur dunianya tersebut, bertekad menjawab tantangan selanjutnya, yaitu menjadikan seni tari sebagai alat diplomasi sekaligus promosi negara.
"Tarian bukan hanya sebagai wujud kreativitas, tetapi bisa menjadi alat diplomasi dan informasi. Suatu negara bisa membuktikan ketangguhan diri dan peradabannya melalui budaya. Saya tertantang untuk bisa terus melakukannya," tegas Eko.
Tur tari trilogi dari Jailolo adalah salah satu upaya Eko untuk membuktikannya. Dunia Internasional awalnya tidak tahu ada di mana Jailolo, karena Indonesia Timur sama sekali belum terjamah. Tapi kini, melalui presentasi budaya tari, nama Jailolo pun berkibar di mancanegara.
"Di Jailolo, saya seperti menemukan mutiara terpendam. Tarian itu awalnya berasal dari tari ritual perang. Tapi ide yang saya gagas dalam koreografi baru adalah mengenai kehancuran terumbu karang, di mana orang awam bisa memahaminya. Itu salah satu contoh saja. Selain itu masih ada banyak lagi local colour yang bisa diaplikasikan menjadi karya yang sifatnya universal," terang koreografer yang punya nama julukan “Eko Pece” sejak masa kuliah ini.
Dalam menggali kreativitas dan menggarap proyek tarian, Eko mengaku banyak mendapat dukungan dari pemerintah dan organisasi terkait. Untuk proyek tarian trilogi Jailolo misalnya, ia mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah, terutama Bupati Halmahera.
"Saya mungkin termasuk yang beruntung karena mendapatkan banyak dukungan. Tetapi masih banyak rekan seniman lain yang memerlukan dukungan pula dalam berkarya. Barangkali ke depannya, pemerintah pusat bisa merangkul pemerintah daerah agar bisa mengembangkan seni tari sekaligus para seniman di daerahnya masing-masing," Eko berharap. (*)