Rupanya, alih-alih kesalahan dalam pemeriksaan, sebetulnya hal tersebut dapat terjadi karena kita salah memahami maksud dari masing-masing hasil tes.
Tes antibodi dan PCR memiliki target atau tujuan yang berbeda, jadi enggak bisa dibanding-bandingkan.
Tes antibodi itu tentang kondisi yang mungkin sudah pernah terinfeksi dan muncul kekebalan, sedangkan PCR adalah tentang kondisi yang mungkin sedang terinfeksi dan menular.
Tapi pemerintah memang sempat menerapkan alur tes antibodi sebelum berlanjut ke PCR di awal masa pandemi karena pada waktu itu layanan tes PCR masih jarang dan ketersediaan laboratorium yang memeriksa sampel dahak, lendir, atau cairan untuk mendeteksi virus corona penyebab COVID-19 belum banyak.
Sementara yang ada saat itu adalah rapid test antibodi, maka disusunlah suatu alur untuk dapat diterapkan.
Bila memang ada gejala dan termasuk kriteria orang dalam pantuan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), maka dilakukan tes awal dengan tes antibodi dulu, baru apabila reaktif, diteruskan dengan PCR.
Baca Juga: Peraturan Baru, Masa Berlaku Rapid Test & PCR Bisa Sampai 14 Hari, Lho!
Yang Luput dari Penjelasan
Tapi, dr. Tonang menilai, ada yang luput terjelaskan atau terlanjur salah paham.
Bila memang tersedia pemeriksaan PCR, seharusnya bisa langsung PCR atau enggak lewat tes antibodi dulu dan bila terpaksa enggak ada PCR, baru bisa digunakan tes antibodi dulu.
Anggapan salah kaprah berikutnya yang terjadi adalah soal hasil rapid test reaktif pasti positif COVID-19, padahal bila tes antibodi reaktif, seseorang belum tentu positif COVID-19 kecuali sudah dikonfirmasi dengan PCR.
Sementara itu, kita diperintahkan untuk tetap melakukan isolasi saat hasil rapid test reaktif karena kita masih harus menunggu untuk pelaksanaan PCR serta hasil pastinya, demi mengurangi risiko penularan.
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Indah Permata Sari |
KOMENTAR