Aku ingin jatuh cinta. Seperti dulu aku jatuh cinta padamu. Pada matamu yang menghimpun lautan. Pada tubuh hutan hujan tropismu. Pada suaramu yang serupa candu. Aku ingin jatuh cinta seperti ketika aku jatuh cinta padamu.
Aku tahu, tak mungkin ada yang bisa sepertimu, tak ada. Tak mungkin ada yang bisa menggantikanmu. Dalam dadaku ini, senantiasa ada ruang yang sejak dulu, tak pernah diisi oleh siapa pun, selain namamu. Hanya namamu.
Kamu memang tak benar-benar mengharapkan aku. Bagimu, aku hanya seorang sahabat. Cukup. Tidak lebih. Tak ingin lebih. Kamu lebih memilih perempuan lain, yang menurutmu cantik, seksi, pintar, dan banyak alasan lain, untuk bisa membuatmu jatuh cinta.
Sedangkan jatuh cinta padaku, bagimu seperti sebuah dosa. Lantas jadilah kita hanya sahabat. Kamu menceritakan semua yang terjadi dalam hidupmu padaku. Aku mengatakan semua hal, kecuali perasaanku padamu yang sesungguhnya.
Setiap kali kamu menceritakan hubunganmu dengan pacarmu, kali itu juga, selalu ada yang membara dalam dadaku. Aku cemburu. Cemburu pada perempuan yang menjadi kekasihmu. Terkadang, saat kamu memutuskan untuk mengakhiri hubunganmu dengan seseorang, aku merasakan sebuah kebahagiaan. Entahlah, aku merasakan kepuasan yang luar biasa ketika kamu memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan seseorang.
Begitu juga sebaliknya, aku akan merasakan kebahagiaan jika pada satu waktu, kekasihmu memutuskan hubungannya denganmu. Kamu bercerita dengan penuh kesedihan. Aku menghiburmu, meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa perempuan yang memutuskan hubungannya denganmu suatu hari akan menyesal.
Ini mungkin kebahagiaan yang aneh. Ganjil. Seharusnya aku ikut sedih saat itu, merasakan kesedihanmu juga. Sebagai sahabat semestinya aku ikut memaki perempuan yang telah begitu saja memutuskan hubungan cintanya denganmu.
Perasaan seperti itu terus muncul hingga akhirnya kita berpisah. Selepas sekolah menengah atas, kamu memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah di kota tempat kita tinggal. Kamu memilih untuk kuliah jauh dari rumah. Saat itu kamu mengatakan padaku, kamu ingin mencoba belajar hidup mandiri. Kamu ingin merasakan bagaimana hidup jauh dari orangtua.
Sejak saat itulah, aku mengubur segala hal tentangmu. Aku tegaskan pada diriku bahwa aku tak ingin lagi jatuh cinta padamu. Cukup sampai kita menyelesaikan masa SMA bersama. Sebab semakin aku memupuk cinta padamu, aku akan semakin sakit. Aku tak ingin larut dalam cinta platonis.
Maka saat kamu berpamitan padaku, aku mendekapmu. Mendekap erat tubuhmu, menatap matamu yang menghimpun lautan itu, sebagai sahabat. Aku menetapkan untuk menempatkan diriku benar-benar sebagai sahabatmu.
Aku melepaskan segala yang terpendam dengan berat hati, dengan cucuran airmata. Sebelum kamu berangkat meninggalkan kota tempat kita menghabiskan masa kecil hingga sekolah menengah itu, hampir setiap malam aku menangis. Aku menangisi kamu. Menangisi cintamu. Menangisi cintaku. Semuanya membuatku menangis.
"Aku berangkat ya, jaga dirimu baik-baik." Kamu berbisik di telingaku. Suaramu yang candu menyelusup masuk ke dalam sanubariku.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR