"Ini, Nduk. Kancingnya copot, mau Emak jahit," jawabnya dengan senyum yang tulus.
Dengan segera kubawa baju Mak Ujah ke dalam rumahku untuk menjahitkan kancing baju itu. Namun ternyata kali ini Mak Ujah tak melarangku untuk membantunya seperti biasa. Mak Ujah hanya membiarkanku menjahitkan kancing bajunya. Aku tersenyum, setidaknya aku merasa senang bisa menolong Mak Ujah.
"Bajunya bagus, Mak," kataku.
"Ini memang baju terbaik Emak, Nduk. Mau Emak pakai saat Bagus pulang."
"Pulangnya kapan, Mak?"
Akhirnya Mak Ujah bercerita padaku kalau seminggu lagi Bagus akan pulang ke desa ini. Rencananya Mak Ujah akan diajak Bagus untuk tinggal bersama di kota Jakarta karena tanah tempat rumah Mak Ujah sekarang berdiri bukanlah tanah milik beliau. Ditambah lagi rumah Mak Ujah sudah reot dan tak layak untuk ditempati.
Dari cara Mak Ujah bercerita, sepertinya Bagus adalah anak yang sangat istimewa bagi beliau. Semua orang di desa ini sudah tahu akan itu. Tak ayal bila tak ada yang heran bila Mak Ujah juga sangat bersuka cita atas ajakan Bagus. Aku yang melihat kebahagiaan Mak Ujah menjadi terharu karena aku tak pernah melihat Mak Ujah sebahagia ini. Aku juga kagum dengan bakti seorang Bagus. Ia tetap menghormati orangtuanya walau ia telah berhasil. Bagus adalah kacang yang tak lupa pada kulitnya.
***
Tibalah hari Mak Ujah akan menyambut Bagus dengan baju terbaiknya. Sejak pagi buta tadi, Mak Ujah sudah mengepak semua baju dan barang-barang penting lainnya di dalam tas koper. Kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul 8 pagi, namun Mak Ujah sudah duduk tenang di depan beranda rumahnya dan sabar menunggu akan kedatangan Bagus. Kuhampiri Mak Ujah yang sedang termenung.
"Kok sudah siap, Mak? Mas Bagus mungkin baru berangkat kalau jam segini," kataku.
"Emak sudah ndak kuat nahan kangen, Nduk."
"Apa ndak pa-pa Emak nunggu lama di luar?" tanyaku.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR