Aku menunduk kesal sembari mengaduk-aduk tanah becek dengan kakiku secara asal. Berkutat dengan sebuah pertanyaan. Kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan kapasitas yang berbeda? Kenapa Tuhan tak menciptakan aku seperti Airin yang jago Fisika atau seperti Dimas yang dengan mudahnya memahami Kimia dan juga Biologi? Padahal sungguh! Aku sudah belajar mati-matian untuk memahami mata pelajaran tersebut. Tapi ternyata hasilnya tetap saja nihil. Aku harus mengikuti remedial untuk yang ke-3 kalinya. Ke-3 kalinya! Ah, sial!
Aku masih saja merutuki diri sendiri. Bercuap lirih pada angin yang kemudian melarungkannya bersama hujan. Ah, hujan. Dari dulu aku begitu sangat menyukainya. Hujan memang selalu ampuh mengobati kegalauanku. Entahlah, ada damai yang selalu kurasakan di sana. Kala rerintiknya jatuh menghujam tanah, mereka seperti mengucapkan sejuta makna, sejuta bahasa.
"Kenapa masih di sini? Kau belum pulang?" aku mendongak menuju asal suara. Ternyata Dimas. Si jago Kimia juga Biologi itu. Aku hanya diam. Mengacuhkannya.
"Hai, Kay, hello!" teriaknya lagi sembari melambai-lambaikan tangannya persis di hadapanku.
"Kau tak tahu apa? Ini, kan, masih hujan, mengganggu saja!" jawabku bersungut-sungut.
Dia tersenyum. Tanpa disuruh, dia duduk di sampingku. Tangannya menengadah menyentuh hujan yang turun dari atap halte.
"Ini sudah agak mendingan, lho. Nanti-nanti bisa besar lagi. Sekelilingmu juga sudah sepi."
"Ini bukan urusanmu tau!" jawabku masih dengan nada ketus.
"Ha-ha, pasti tentang remedial itu kan? Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan. Biarkan saja sampai Bu Anissa bosan melihatmu, ha-ha!"
"Argh, kau ini. Sudahlah pergi pergi sana. Aku ingin sendiri," gerutuku kesal sembari mendorong-dorong tubuhnya. Dimas hanya bergidik mengangkat bahunya.
"Ya ya...lagian aku hanya ingin menawarimu tumpangan payung saja, kok. Baik, kan, aku ini? Kalau kau tak mau ya sudah...aku pergi."
"Ya sudah, sana pergi!" teriakku mengusir
"Oke...hati-hati di sini, Nona Cantik," lanjutnya lagi sembari beranjak, berlalu dari tempatku berteduh sembari bersiul-siul ringan.
Aku hanya menunduk. Masih sibuk dengan kekesalanku tentang remedial itu. Tak lama kemudian, entahlah...tiba-tiba saja ada keinginan untuk memanggil si Dimas itu.
"Dimas," suaraku agak lirih dan tertahan. Tapi ternyata dia mendengarnya juga.
"Ya!" dia berhenti, menengok ke arahku. Beberapa detik kemudian mataku dan matanya beradu. Tiba-tiba saja ada sebuah getar-getar halus yang mengusikku. Ya Tuhan, apa ini? Tatapan mata Dimas tepat menancap di hatiku. Ditambah lagi dengan senyum manisnya yang berhias lesung pipit itu. Aku kikuk. Lalu secepatnya membuang pandang pada tanah becek yang berada di sisi jalan.
"Kenapa? Mau tumpangan payungnya?"
Aku menggeleng, "Tidak, terimakasih. Aku masih mau menikmati hujan dengan segala prosesnya. Air sungai, air laut, air sawah yang semuanya menguap karena panas yang menyengat lalu berdiam menggumpal di atas sana membentuk awan, hingga muatannya terasa berat lalu karena tak tahan dan kedinginan mereka menjatuhkan diri menjadi tetes-tetes hujan.(1)"
"Eh, menurutmu apa aku akan seperti itu? Karena tak tahan lalu aku akan menjatuhkan diri, putus asa?
"Arghhh, bodoh sekali memang aku ini. Tentu hujan berbeda sekali dengan keputusasaan ya," aku menceracau sendiri sambil menepuk-nepuk jidatku yang tak sakit. Sementara Dimas terbengong di tempatnya sembari memandangiku takjub. Kini giliran aku yang melambai-lambaikan tangan ke arahnya menyimpul pesan, kenapa?.
Dimas menghampiriku masih dengan tatapan takjubnya, sedangkan aku hanya garuk-garuk kepala, tak mengerti dengan tingkah anehnya.
"Kay! Puisi, Kay! Jika kau bilang aku kimia, Airin fisika, maka kau puisi, ya kau puisi," Dimas mengguncang-guncang pundakku. Kembali, aku kikuk. Terdiam. Entah aku pun bingung sendiri dengan apa yang telah dikatakannya itu terlebih dengan apa yang aku ceracaukan tadi. Hadeuh!
"Kay, kau bisa memasukkan fisika, kimia atau yang lainnya melalui puisimu itu. Cobalah, aku yakin kau bisa. Bahkan bisa jauh melebihi Airin dan aku. Aku tunggu, namamu tak terpampang dalam daftar remedial berikutnya. Oke, Kay! Good luck, ya!" Dimas pergi. Meninggalkanku yang masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang perlahan berlalu.
Pada jarak 5 meter Dimas berbalik, melambaikan tangannya padaku lalu mengubahnya menjadi kepalan semangat. Tiba-tiba untuk ke-sekian kalinya, entah ada yang membuat perasaanku tak tenang. Tak tenang karena ada sebuah getaran asing yang tak bisa kuartikan. Senyum Dimas yang manis itu terbayang-bayang dalam benakku. Ah, apa pula ini?
*
Kalau dipikir-pikir, usul Dimas tentang belajar bersama puisi itu boleh juga untuk dicoba. Aku memang menyukai puisi, terkadang di tengah pelajaran kosong aku sering menceracau pada kertas hingga jadilah puisi yang entahlah menurutku tak jelas.
Aku memerhatikan usul Dimas baik-baik. Aku mencoba memasukkan kata-kata asing itu ke dalam puisi-puisiku. Awalnya aku kesusahan. Tapi dengan segenap konsentrasi dan kesungguhan akhirnya aku bisa melakukannya. Dan benar saja, kata-kata asing itu jika dipadupadankan dalam puisi-puisi, bagiku itu terasa sangat menyenangkan. Tapi aku benar-benar harus tahu kapan waktu yang bagus untuk belajar. Memahami pelajaran itu bersama alam juga planet-planetnya. Bersama senja juga semburat jingganya. Bersama hujan juga kandungan H2O dan mineral-mineral lainnya. Bersama kerlip bintang juga angkasa dan galaksi-galaksinya. Atau juga bersama aroma shubuh dengan O2 nya yang masih segar dan menenangkan. Aku bertekad, tak akan ada yang namanya remedial lagi. Titik!
Aku melangkah dengan pasti menyusuri koridor sekolah. Siap menyambut remedial yang begitu menyeramkan. Menyeramkan? Ah tidak! Aku akan menghadapinya dengan perasaan penuh cinta. Menyapa nomor-nomornya secara santun lalu menjabat tangan mereka sambil mengatakan, "Hai, aku Kayla, aku datang dengan segenap cinta. Aku akan menaklukkanmu secara lembut." Lalu senyumku mengembang. Semuanya akan baik-baik saja. Dan bye-bye remedial. Ah, kenapa aku benar-benar jadi sepuitis ini? Bahkan lihatlah, bougenville di taman kelas itu mengangguk-angguk mengembangkan senyum manisnya padaku. Sementara kupu-kupu mengepakkan sayap warna-warninya mengelilingi taman. Dan oh, tidak! Mereka mengepalkan tangan tanda memberi semangat. Persis seperti apa yang Di....
"Halo, Kay."
...mas lakukan. Aku terlonjak, kaget karena punggungku tiba-tiba ditepuk dari belakang. Aku melirik ke sumber suara, ya ampun! Dimas sudah berada persis di sampingku sembari mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. Tangannya memeluk beberapa buku yang nampak begitu tebal-tebal di dadanya.
"Kau melamun? Awas, lho, nanti bisa diganggu jin iprit," godanya padaku sembari tersenyum ringan. Sekilas aku memerhatikannya. Dan ternyata dia ganteng juga. Lesung pipitnya itu membuat dia semakin cute saja. Dan lagi, dia itu cerdas! Argh, secepatnya aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak!
"Iya, jin ipritnya itu kau," aku bersungut-sungut, secepatnya mengalihkan hatiku pada sesuatu hal yang lain.
"Haha, aku tunggu hasil remedialmu itu, okey," Dimas berlalu menyisakan senyum manisnya. Dan aku hanya bisa tersenyum merona. Inikah cinta? Bahkan bougenville dan kupu-kupu pun masih saja tersenyum dan melambaikan senyum semangatnya padaku. Ah, gila!
"Kay!"
Aku terlonjak lagi. Dimas kembali memanggilku dalam jarak 5 meter. Mengepalkan tangannya sembari mengembangkan senyum berhias lesung pipit yang perlahan aku mulai menyukainya.
"Semangat!" ucapnya lirih. Aku tersenyum, meski agak kikuk, aku membalas kepalan tangannya itu, "Ya, semangat!" kami berdua tertawa bersama dalam jarak 5 meter. Ah, bougenville...aku tak bisa menyangkalnya. Aku jatuh cinta!
*
Berkali-kali aku memicingkan mata, kali saja aku salah lihat. Bahkan lembaran kertas itu aku kibas-kibaskan dengan kerasnya, kali saja angkanya itu imitasi yang hanya tempelan belaka. Dan ternyata tak ada satu huruf atau angka pun yang rontok darinya. Ya, Tuhan...ini nyata. Aku berhasil melewati remedial ini setelah 2 remedial sebelumnya. Bahkan lihatlah, kau tau berapa nilainya? 9,9! Nol koma satu lagi menuju 10. Angka yang nyaris sempurna.
Aku berlari-lari senang. Menyapa semuanya yang lewat. Hujan nampaknya begitu paham dengan perasaanku yang sedang bahagia ini. Dia turun di waktu yang begitu tepat. Aku semakin berlonjak-lonjak senang. Bougenville dan kupu-kupu bahkan menjabat tanganku erat. Senyumnya mengembang menyenangkan. Ah, apa aku sudah gila?
Satu orang yang benar-benar harus aku temui adalah dia. Dia yang menemukan aku bersama puisi. Dia yang dengan kepalan tangan dan senyum manisnya tak henti-henti untuk mengobarkan semangat untukku. Menunjukkan bahwa aku bisa. Dan kini benar, aku telah membuktikan bahwa aku bisa dan mampu untuk melewatinya. Dimas.
Sudah hampir setiap pojok ruangan dari sekolah ini aku jelajahi. Tapi tak nampak batang hidung pun si Dimas itu. Anak itu sebenarnya ke mana?
"Hai, Rin, kau tahu Dimas di mana?" aku berteriak ke arah Airin yang sedang sibuk membawa peralatan praktikum fisika.
"Dimas? Eh, ada di lab tuh...sedang sibuk dengan hati ayam dia," jawab Airin sambil tetap jalan terburu-buru, membawa alat-alat itu dengan repot. Bayangkan saja, di tangan sebelah kanan dia membawa satu boks batu baterai. Di tangan sebelah kiri dia membawa ampere meter dan stop kontak, sedang di lehernya tergantung gulungan kabel. Maklumlah untuk mata pelajaran fisika sekarang labnya memisahkan diri, pindah ke ruangan baru. Aku hanya bisa tersenyum nyengir melihat Airin yang begitu nampak kerepotan.
Segera aku melangkahkan kakiku menuju ruang laboratorium yang memang belum terjamah karena tempatnya yang agak terpencil. Tentu saja mencari Dimas si pemilik lesung pipit. Aku mengintip melalui kaca jendela. Dan itu Dimas. Dia sedang menumbuk hati ayam yang kalau tak salah itu untuk menguji pengaruh enzim katalase(2) dalam penguraian Hidrogen Peroksida(H2O2). Aku pun pernah melakukan praktikum itu. Tapi semuanya gagal total karena aku salah memasukkan larutan ke tabung yang berisi hati ayam itu. Tentu saja tidak bereaksi sama sekali. Tetesan yang aku masukkan bukannya larutan, tapi hanya aquades(3) murni. Ha-ha!
Baru saja aku melangkah hendak masuk menuju pintu lab, Dimas dengan tubuh jangkungnya menyembul dari sebalik pintu. Terang saja kami bertabrakan dan tubuhku sedikit agak terpental kebelakang. Kertas yang sedari tadi kupegang, terjatuh. Dan tidak! Dimas menginjaknya.
"Ah, kau ini...awas, awas, awas!" Dimas buru-buru entah mau kemana. Aku menggeser beberapa langkah ke kiri sembari mendengus kesal. Memandangi kertas remedialku yang tadi terjatuh dan terinjak olehnya. Aku mengibas-ibaskan kertas itu. Hiks, kertasnya kotor.
Dimas itu meski ganteng tapi benar-benar sangat menyebalkan. Bahkan sekedar berbasa-basi saja dia tidak melakukannya. Sekedar untuk mengucapkan sesuatu, "Hai, Kay, ini hasil remedialmu itu, ya?" atau "Hai Kay, sedang apa kau di sini? Mau menemui aku yang ganteng ini ya?". Huek, aku meringis sendiri. Mengapa aku jadi berharap banyak seperti ini? Padahal selama ini mungkin saja dia memang hanya mau menyemangatiku saja. Atau mungkin aku yang perasa, dia memang ada urusan penting tadi. Ah, tentang perasaan ini memang terkadang merumitkan.
Aku lebih memilih pulang saja. Membiarkan semuanya larung bersama hujan. Termasuk tentang rasa ini yang entah selalu membuatku gundah. Biarkan saja semuanya seperti tetes-tetes hujan. Jika sudah waktunya, ia akan jatuh pada tempat yang selalu tepat. Tanah. Semuanya sudah ada pasangan dan takdirnya masing-masing, bukan? Termasuk cintaku ini, yang bahkan dia hadir untuk yang pertama kalinya. Dan aku akan tetap menyimpannya. Di sini, di hati ini. Lagi pula aku ini masih seorang pelajar yang memang harus belajar. Untuk urusan cinta, biarkan aku jatuh cinta. Ya, karena ini wajar. Dan tentunya aku pun harus bisa memperlakukannnya dengan wajar juga. Yeah....
Aku tersenyum, memandangi kertas remedialku yang kini agak kotor karena bekas injakan si Dimas itu. Aku memandanginya lamat-lamat. Perlahan aku melihat senyumnya mengembang. Angka-angka itu, huruf-huruf itu, semuanya, mereka mengepalkan tangannya sembari berucap, "Hai, Kayla, aku hanya kertas remedial yang mungkin tak ada apa-apanya dengan kertas Ujian Nasional nanti. Untuk cintamu yang telah sedikit kau larungkan bersama hujan, semangat!" Aku menatap takjub. Bahkan kini mulutku tercekat. Setelah bougenville dan kupu-kupu yang mengembangkan senyum semangatnya, kini mereka mulai ikut-ikutan juga? Ah, Gila!!
***
(oleh: Rosika Azahra, foto: imgfave.com)
1).Terinspirasi dari proses terjadinya hujan.
2).Enzim Katalase adalah enzim yang mampu memecah ikatan karbon dan ikatan karbon-nitrogen. Pada manusia enzim ini dapat diisolasi oleh organ hati dan dapat menguraikan Hidrogen Peroksida (H2O2) yang bersifat racun.
3).Aquades adalah air hasil destilasi / penyulingan, sama dengan air murni atau H2O, kerena H2O hampir tidak mengandung mineral. (Sumber : Google)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR