"Fir, mana pesenan brownies buat gue?"
"Buat gue juga mana?"
Kelas tampak riuh dengan suara orang yang berteriak meminta pesanan kue cokelat manis yang ada di plastik besar milik Firina. Cewek yang suka banget memakai jepit rambut merah muda itu tampak berkeringat melayani pesanan teman-temannya.
"Sabar dong. Kalian semua pasti kebagian kok. Kan gue udah nyatet semua pesanan kalian," sahut cewek itu sambil terus memasukkan potongan kue ke dalam plastik bening kemudian diberikan pada tangan-tangan temannya yang sudah terulur sejak tadi.
"Makin laku aja dagangan elo, Fir," kata Reyna sambil duduk di sebelah Firina yang sedang sibuk merapikan tempat duduknya yang sudah enggak karuan karena ramainya pembeli.
"Gue bersyukur banget, Rey. Lumayan buat nambah uang sekolah gue."
Firina memang enggak terlahir dari keluarga kaya yang bisa menggunakan uang dengan santai. Sejak kecil Firina sudah biasa membantu ibunya jualan brownies di sekolahnya. Meskipun untungnya tidak terlalu besar, tapi uang tersebut sangat membantu Firina untuk membeli peralatan sekolahnya maupun biaya tidak terduga lainnya.
"Tapi brownies buatan nyokap elo emang enak bangetm sih, Fir. Enggak bikin bosen."
"Masa sih?"
"Iya. Gue rasa semua orang di kelas kita udah pernah beli brownies elo, deh."
Firina langsung terdiam mendengar pernyataan Reyna. Dia menunduk sambil sesekali menghela nafas panjang.
"Gue rasa Rio enggak pernah beli dagangan gue," kata Firina dengan wajah lesu.
"Iya juga, ya? Cuma dia doang yang enggak pernah nyoba dagangan elo."
"Gue juga heran, Rey."
Di antara rasa syukur Firina karena jualannya laku, dia sering merasa sedih karena ada satu teman sekelasnya yang enggak pernah membeli brownies dagangannya. Rio selalu saja cuek dengan decak kagum orang yang memuji kelezatan brownies Firina. Meksipun teman sebangkunya melahap kue itu dengan semangat, Rio masih aja enggak bergeming.
"Mungkin dia enggak suka kue," kata Reyna.
"Masa sih? Kemaren gue liat dia makan bolu yang dibawa Tagor waktu dia balik dari Medan."
"Terus menurut elo kenapa dia begitu?"
"Apa mungkin dia benci sama gue ya?"
Firina tampak bersedih. Dia teringat ketika pertama kali Rio datang dan memperkenalkan diri sebagai murid baru pindahan dari Samarinda. Firina inget banget kalau cowok tinggi dengan kulit hitam manis itu bahkan tidak membalas senyuman Firina. Lebih dari itu, Rio juga enggak pernah ngobrol sama Firina selain ngomongin tugas.
"Ih, kenapa mesti benci sama elo? Elo, kan, enggak pernah berbuat kesalahan, Fir."
"Gua cuma merasa dia enggak suka sama gue, Rey. Gue juga enggak tau apa alasannya."
"Enggak mungkin, Fir. Rio itu cowok yang baik. Emang sih dia sedikit dingin, tapi dia bukan tipe cowok yang membenci orang tanpa sebab."
Firina lagi-lagi menghela nafas panjang. Selama ini dia mudah bergaul dengan siapa saja, bahkan sama orang yang baru dikenalnya. Sifatnya yang periang bikin dia gampang berbaur dengan lingkungannya. Baru kali ini dia meerasa dijauhi orang tanpa tahu alasannya.
"Terus gue harus gimana dong?"
"Gue yakin kalo Rio enggak benci sama elo. Jadi, enggak usah dipikirin. Kita coba aja buat ngedeketin dia, biar semuanya jelas," kata Reyna sambil tersenyum lebar.
***
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, murid-murid berhamburan untuk mengantri pesanan mereka di meja Firina. Kali ini durasi antrian menjadi lebih pendek karena Reyna ikut membantu sahabatnya itu berjualan.
"Yusuf enggak masuk sekolah karena mendadak sakit. Brownies pesanan dia buat elo aja, Rey. Thanks banget udah ngebantuin gue jualan," kata Firina sambil memberikan potongan brownies terakhir yang ada di tangannya.
Reyna tersenyum. Terlintas ide di otaknya ketika kue itu ada di tangannya. Dia berjalan menuju meja Rio yang sedang asyik membaca komik.
"Rio, beli dong brownies Firina. Tinggal satu, nih," kata Reyna.
"Beli?" tanya Rio dengan keheranan.
"Iya. Tinggal satu. Sayang kalo kebuang."
Rio tampak kebingungan. Dilihatnya sepotong kue yang sudah diletakkan Reyna di mejanya. Kemudian dia kembali menatap Reyna yang masih menunggu respon Rio.
"Beli dong, Rio," kata Reyna lagi.
Tiba-tiba Imron, si ketua kelas lewat tepat di depan Reyna dan Rio sambil membawa LKS yang sudah dikoreksi untuk dibagikan. Rio langsung memanggil Imron dengan semangat.
"Mron, elo bilang pengen kue. Nih, Reyna nawarin brownies."
Imron meletakkan LKS yang tengah dipegangnya kemudian berjalan menghampiri Reyna. "Masih sisa? Sini deh gue yang beli." kata Imron sambil menarik dompet hitam dari dalam kantongnya.
Firina yang melihat kejadian itu semakin bertambah kalut. Dia semakin yakin kalo Rio memang membencinya karena terlihat jelas kalo Rio enggan memakan brownies yang dijualnya itu, meksipun yang menawarkannya Reyna.
***
"Mungkin dia enggak suka cokelat kali, Fir," kata Reyna.
Sudah dua hari Firinia dibikin galau karena penolakan brownies miliknya yang dilakukan oleh Rio. Tapi Reyna masih sabar meyakinkan Firina kalau Rio enggak seperti yang ada di pikirannya. Tapi Firina seolah enggak percaya dengan kata-kata Reyna dan memilih terus bersedih.
"Enggak mungkin, Rey. Gue liat sendiri kok kalo kemaren dia makan cokelat."
"Kita kan enggak tau alasan Rio, Fir. Elo enggak boleh berburuk sangka, dong."
Firina enggak membalas perkataan Reyna. Dia terus melamun sambil memikirkan Rio, satu-satunya cowok yang mengganggu pikirannya.
***
"Rio? Ngapain elo ke sini?"
Firina lagi sendiri di dalam kelasnya meskipun bel pulang sudah berbunyi sejak satu jam yang lalu. Hujan yang turun dengan derasnya jadi alasan Firina untuk bertahan di dalam kelas sambil menunggu hujan reda. Reyna sudah pulang duluan karena ada urusan mendadak.
"Dompet gue ketinggalan. Elo sendiri ngapain di sini?" tanya cowok itu.
"Nunggu hujan reda. Mungkin bentar lagi gue balik."
"Ngapain sendiri di sini? Nanti tau-tau ada yang nemenin loh." kata Rio sambil tertawa.
"RIO IH!" teriak Firina yang memang penakut dan paling enggak bisa ditakut-takutin.
Rio tertawa kecil melihat Firina yang tampak kesal karena godaannya. Kemudian cowok itu malah meletakkan tasnya di meja dan menarik kursi untuk duduk di dekat Firina.
"Katanya mau pulang. Enggak jadi?" tanya Firina.
"Daripada elo sendirian di sini. Mau gue tinggalin?"
Firina tersenyum melihat untuk pertama kalinya Rio bicara dengan gaya yang berbeda dari biasanya. Kalimatnya tampak sangat bersahabat.
"Ini apaan?" tanya Rio sambil melihat kotak berwarna kuning yang terletak di meja Firina.
"Itu bika ambon. Kemaren gue nyoba bikin. Enggak habis soalnya gue keburu kenyang." kata Firina sambil tertawa.
Tanpa izin, Rio langsung membuka kotak bekal itu dan mengambil potongan bika ambon yang masih tersisa dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Enak, Fir."
Firina menatap Rio dengan tidak percaya. Cowok yang selama ini enggak pernah mau beli dagangannya, kali ini memakan bika ambon buatannya dengan lahap. Firina tidak berkedip ketika Rio mengambil sepotong lagi bika ambon buatannya dan memakannya.
"Wah, elo bakat jadi koki, Fir," kata Rio sambil menelan kue yang dikunyahnya.
"Kenapa elo makan bika ambon buatan gue?" tanya Firina.
Rio tampak terkejut dengan pertanyaan Firina. Sejenak Rio terdiam sambil menatap Firina yang saat ini ada di hadapannya.
"Memang enggak boleh? Kenapa enggak bilang kalo enggak boleh?"
"Bukan gitu. Bukannya elo benci sama gue?"
Rio ketawa lebar, membuat Firina semakin bingung dengan apa yang terjadi. Firina hanya bisa menunggu cowok itu berhenti ketawa.
"Benci sama elo? Kenapa juga gue harus benci sama elo?"
"Buktinya elo enggak pernah beli brownies dagangan gue."
"Memang kalo gue enggak beli, itu artinya gue enggak suka sama elo? Kan enggak bisa disimpulkan kayak gitu, Fir."
Firina terdiam mendengar perkataan Rio. Tapi di dalam pikirannya sudah melekat kuat kalau cowok yang jago banget main catur ini tidak menyukainya meskipun memang bener sih, enggak beli brownies nggak bisa dijadikan alasan.
"Gue enggak suka brownies. Gue suka makanan lokal. Meskipun yang bikin itu nyokap elo, tetep aja sebenernya itu bukan resep asli kita, kan? Gue suka makanan daerah. Termasuk bika ambon," tambah Rio lagi.
Firina tertegun. Tidak disangka kalau Rio yang katanya pernah tinggal di luar negeri saat kecilnya malah menyukai makanan yang dianggap orang sederhana. Firina mendadak menemukan sisi lain seorang Rio yang mungkin aja enggak diketahui orang lain.
"Gue pengen bantuin elo dengan ngebeli dagangan elo. Tapi kalo enggak gue makan dan gue kasih ke orang lain, itu bakal bikin elo sakit hati, kan?" kata Rio sambil tersenyum tipis.
"Tapi elo bener-bener enggak benci gue, kan?"
"Aduh, hidup aja udah rumit. Ngapain juga dipersulit dengan membenci orang lain, Fir?"
"Jadi kalo gue enggak jual brownies, kalo gue jual bika ambon ke elo, elo pasti beli?"
"Dengan senang hati," katanya sambil tertawa.
Firina tertawa senang, begitupun dengan Rio. Lega sudah. Enggak ada lagi yang harus dipikirin. Enggak perlu berpikir yang aneh-aneh karena Rio sama sekali enggak membencinya. Lebih dari itu, mulai besok Firina dapet pelanggan baru yang istimewa. Istimewa karena yang dibelinya bukan brownies. Tapi bika ambon.
***
(Oleh: Y. Magdalena, foto: imgfave.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR