Tawa kami yang bermunculan seketika lenyap, digantikan oleh suara berat Farrel yang seakan mengubah duniaku hari ini-dunia SMA dengan masa-masa bahagia yang indah.
"Iya, aku gay."
Mataku membulat lebar, mulutku menganga, sesuatu yang tidak mungkin aku lakukan sepanjang hidupku, kalau aku tidak benar-benar berada dalam situasi yang menyulitkan seperti ini.
Sangat menyulitkan.
"Maaf," katanya plan. Matanya menatapku intens, mencari jawaban dari binary mata yang mendadak memudar dari bola mataku. Haruskah aku mendengar smua alasan yang ia berikan?
Aku menggeleng, bukan menolak permintaan maafnya, melainkan munutupi rasa kalut yang mendadak menyergapku. Kalau ia gay, berarti aku menyukai seorang cowok yang mencintai cowok lain. Mencintai cowok.
Tiba-tiba, ada suatu perasaan aneh muncul dari dalam diriku, membuatku tidak tahan untuk tidak menangis. Aku bergeming, menatap sebagian dirinya dengan pandangan kosong dan hampa yang hampir-hampir seperti mayat hidup.
Ini tidak layak aku terima, batinku menyangkal kencang.
"Kenapa kamu nangis, Le?" tanyanya, dalam dan masih selembut dulu. Atau memang aku yang bodoh tidak menyadari bahwa ia memang terlalu lembut untuk ukuran seorang cowok?
"Maafin aku, Leah. Aku tahu ini bikin kamu kaget," ujarnya dalam satu tarikan napas. "Aku juga susah buat jujur sama kamu, tapi kamu selalu jadi bagian penting dalam hidupku, dan aku enggak mampu lagi berbohong untuk hal sebesar ini."
"Seharusnya kamu enggak usah berbohong sama aku, Rel," jawabku tajam. Farrel terkesiap kaget mendengar nada suaraku yang sarkastik. "Aku yang bodoh, yang enggak pernah peka sama keadaan sekeliling aku."
"Bukan kamu, Le-" Farrel membantah dengan cepat, otomatis menarikku ke dalam pelukannya yang hangat dan aman-aku selalu merasa aman berada dalam pelukan itu.
"Dengar aku, Leah Prastisa, kamu adalah sesuatu yang penting dalam hidup aku, jauh lebih penting dari cowok mana pun yang aku sukai."
Bisa kurasakan, dadaku merenggang sakit mendengar pernyataan itu.
"Tetapi, aku juga enggak bisa mengenyahkan perasaan aneh ini. Aku sendiri merasa jijik dengan diriku, namun tidak berdaya melepaskannya. Kamu ngerti kan rasanya, mencintai di tempat yang bukan seharusnya," lanjutnya. Bisikannya lembut, menyapu tulang leherku.
"Ak-aku enggak tahu bagaimana harus bersikap Rel," jawabku jujur, tidak ingin melepaskan pelukannya yang terasa begitu intens dan dalam, walaupun di sisi lain aku tahu ia tidak akan pernah tertarik denganku.
"Nangis, Leah. Nangis sepuas kamu, pukul aku sepuas kamu, sampai kamu yakin kita masih bisa temenan seperti dulu."
Aku menarik diri dari pelukan Farrel, menatapnya lama lewat mata yang setengah basah karena menahan tangis.
Farrel, sang teman lama yang selalu bersedia menjadi teman sekaligus kakak di waktu bersamaan. Farrel, sang cowok yang terkadang sulit dimintai tolong, namun saat memberikan pertolongan terasa begitu mendalam dan sulit untuk dilupakan. Farrel yang benci dengan terang, tidak pernah berhenti berbicara atau mengejekku.
Farrel-ku telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang tidak aku ketahui.
Lagi, aku menarik napas, menahan segala sakit yang membludak namun tidak ingin aku keluarkan sekarang. Farrel akan tambah merasa bersalah seandainya aku menangis kencang dan memukulnya, karena tidak percaya dengan kata-kata yang barusan ia ucapkan.
"Jadi, ini alasan kamu beberapa hari ini tidak masuk sekolah?" tanyaku langsung, menatap matanya bahkan tidak melepaskan sedikit pun mataku dari matanya.
Farrel membuang mukanya, berpura-pura cuek, "Aku butuh ngobrol banyak dengan De-err, cowok ini."
Kriet-rasa sakit itu terasa lagi, kini lebih tertusuk ke dalam.
"Cowok ini?" tatapku tajam, kembali menahan tangis yang sudah benar-benar ada di pelupuk mata. Aneh, untuk pertama kalinya aku benci menghabiskan waktu bersama Farrel seperti ini. "Pembicaraan seperti apa, Rel?"
Farrel terdiam, bingung menjawab pertanyaanku. Namun akhirnya ia menjawab juga. "Kami membahas banyak hal, mengenai bagaimana hubungan kami, bagaimana kami harus melangkah sekarang, bagaimana kami harus bisa menjalani hidup kami dengan sesuatu yang sama-sama emm, menyakitkan."
Bahkan Farrel sudah mempergunakan kata ganti 'kami' untuk dirinya dan cowok itu.
Kutatap Farrel, tiba-tiba, sebuah ide keluar dari kepalaku, menari-nari dalam napas dan kekalutan yang sudah tidak bisa lagi kusembunyikan. Aku menangis, tidak seperti tadi yang hanya berupa irisan air mata, kini aku teergugu. Menatap Farrel dengan luka yang sangat dalam, karena aku sendiri bingung bagaimana harus menutup luka itu.
"Apa yang kamu pikirin sih, Rel? seperti ini bukan sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan kamu tidak pantas memperjuangkan ini. Sesuatu yang seharusnya bukan menjadi bagian hidup kamu, sesuatu yang seharusnya kamu buang jauh-jauh dari dalam diri kamu!" Aku mengerjap. Menarik lengan baju Farrel kuat-kuat, melampiaskan segala macam emosi yang mendadak muncul dan tidak terkendali dari dalam diriku-otakku. "Kamu bisa dapetin banyak wanita cantik di luar sana, kamu tinggal pilih, kamu tinggal tunjuk mana pun yang kamu mau. Bukan seperti ini, Farrel!"
Farrel diam menghadapi sikap garangku barusan.
Aku menarik napas, menatap Farrel dengan binary mata yang tidak bisa kudeskripsikan seperti apa maknanya. Campuran antara sakit, kecewa dan rasa memperjuangkan yang tinggi.
Aku rela berbuat apapun asal Farrel kembali ke jalan semula.
"Maafkan aku, Leah." Hanya itu jawaban Farrel, singkat dan menyesakkan dada.
"Kamu masih punya ketertarikan dengan wanita?" tanyaku, sangat pelan, namun cukup kencang untuk didengar di suasana sehening ini.
Farrel mengangguk, menambahkan singkat. "Dalam beberapa case," jawabnya.
Kutarik tubuhnya mendekat dengan tubuhku, memajukan bibirku, mendekati bibirnya dan melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah kulakukan dengan Farrel, menciumnya!
Please, buat Farrel tertarik, Tuhan!
Namun Farrel tidak menyentuh tubuhku sama sekali. Ia hanya menciumku dan menatapku dengan sorot mata yang terkenang jelas dalam memoriku: indah, menikmati, namun juga bingung. Dan...cinta.
Cinta?
"Kamu mencintaiku, ya?" Tanya Farrel cukup kencang. Jarak kami sangat berjauhan kini.
Aku menggeleng, pura-pura polos, "Maksud kamu?"
"Kamu mencintai aku?" Farrel mengulang pertanyaannya, dengan nada yang sama-sama kerasnya, sama ketusnya, sama sakitnya. Tetapi, lagi-lagi aku merasakan ada aura cinta di matanya.
Aku, si bodoh berkepala dua ini, ternyata tidak bisa mensinkronisasikan apa yang ada dalam kepalaku dengan yang keluar dari mulutku. Tindakan yang sebenarnya ingin aku lakukan adalah menyangkal kenyataan bahwa aku memang mencintai Farrel, namun yang kulakukan malah mengangguk.
Aku mengangguk, mengartikan bahwa pertanyaan Farrel adalah benar adanya.
"Aku bikin kamu sangat sakit, ya?" Tanya Farrel lagi, kini jauh lebih lembut. Dari nada suaranya, terdengar ada sesuatu yang lebih ceria dan segar, namun belum bisa kutebak apa itu.
Aku mengangguk, ragu.
Apakah harus kubagi semua rasaku padanya?
Nuraniku keluar kemudian, menyuarakan suara hati yang lembut dan terasa begitu bijak; untuk yang terakhir kalinya, mengapa tidak?
"Sangat?" Tanya Farrel lagi.
Aku menatapnya, intens dan tajam, "Sangat," jawabku pelan-pelan.
"Kamu membuatku seperti orang bodoh, mencintai seseorang yang harusnya aku hindari." Lagi-lagi aku menangis.
Tapi bukannya kasihan melihatku, Farrel malah tersenyum senyuman Farrel mendongkrak keheningan yang aku ciptakan.
Farrel menarik diriku ke dalam pelukannya yang aman, lalu mencium keningku lama.
Aku bergeming, terdiam pada satu titik tak bergerak milikku sendiri.
Apa maksudnya mencium keningku?
"Leah bodoh!" ujarnya pelan, menahan tawa.
Aku menyipitkan mata, "Maksud kamu?"
Farrel tertawa lalu memeluk tubuhku.
"I love you too, teddy," ungkap Farrel tiba-tiba.
Aku menatapnya lama, "Apa, sih, maksud kamu Farrel?"
"Aku berharap kalau aku benar-benar gay, yang menyukai cowok dan bukan wanita bodoh yang selalu menggunakan perasaannya, tanpa logika."
Aku makin bingung, "Maksud kamu?"
Farrel menarik aku ke dalam pelukannya lagi, membiarkan mata kami bertemu dalam satu garis lurus, "Leah, aku mencintai kamu, bukan cowok lain atau wanita lain. Well, sebenarnya secara ilmiah, untuk diriku sendiri, aku tidak mungkin mencintai cowok. I'm normal, Princess."
Aku-seakan baru bangun dari mimpi buruk, menatap Farrel dengan tatapan yang tidak percaya, "Ta-tapi tadi kata kamu?"
"I was just joking, enggak nyangka kamu percaya segitu jauh," Farrel berkata seraya menahan tawa. "Enggak papa, deh. Karena joke enggak sengaja tadi, sekarang aku enggak perlu repot-repot membaca perasaan kamu, karena akhirnya aku tahu sendiri-err, dari mulut kamu."
Satu hal yang aku tahu, aku ingin menghilang ditelan bumi sekarang juga, sebelum mukaku memerah seperti udang rebus, menahan malu yang tidak bisa kusembunyikan.
***
Oleh: Ribkha Anastasia Setiawan
Alumni Coaching Cerpen kaWanku 2009
Penulis | : | cewekbanget |
Editor | : | CewekBanget |
KOMENTAR