Bermula saat kita mematikan lampu menjelang tidur. Ini sebuah kebiasaan yang simpel. Kita cuma ingin menuju alam mimpi seraya menikmati foto dan gambar indah. Mencari tahu kehidupan seseorang melalui pose-pose yang dia tampilkan untuk dunia. Seringkali seseorang yang tidak kita kenal. Mungkin seseorang yang kita kagumi. Kadang seseorang yang justru kurang kita sukai. Ketika kita menatap deretan foto-foto liburannya yang dipenuhi pemandangan indah, hati kecil berbisik, “Duh asyik banget! Kapan aku bisa ke sana?” Di foto lain saat pacarnya menggandeng tangannya sambil menatap mesra, kita menghela napas, “Ah kapan, ya, punya cowok yang cinta banget sama aku kayak gini?” Kemudian kita meng-klik profil pacarnya. Karena kita pengin tahu seperti apa kehidupan pacarnya. Apakah si pacar juga meng-upload foto-foto mesra seperti yang dilakukan ceweknya? Lalu tiba-tiba jam dinding di ruang makan berdentang 12 kali. “Apaaa sudah jam 12 malam?!” jerit kita dalam hati.
Teman-teman, selamat datang di dunia Instagram. Dunia yang kerap membuat kita tersesat. Survey yang dilakukan kaWanku terhadap 1308 cewek menemukan bahwa 45% memilih Instagram sebagai media sosial paling favorit dibandingkan yang lain. “Likes yang didapatkan merupakan cara gampang untuk menghasilkan rasa percaya diri dalam pergaulan yang lebih susah dirasakan di pergaulan nyata,” jelas Joseph Grenny dan David Maxfield, peneliti soal kecanduan media sosial terhadap 1623 orang di Amerika pada tahun 2015. Penelitian ini juga yang bilang orang sering berperilaku aneh gara-gara mementingkan posting foto yang paling sempurna di Instagram.
Tapi riset terbaru di tahun 2016 justru membuktikan bahwa mendokumentasikan kehidupan kita justru membuat kita semakin menikmati hidup. Riset ini dilakukan oleh Kristin Diehl dari University of Southern California yang diterbitkan Journal of Personality and Social Psychology. Diehl melakukan riset kepada 2000 orang dalam sembilan eksperimen berbeda. Setiap orang diminta untuk mengambil foto atau tidak saat melakukan berbagai aktivitas, seperti tur dalam bis atau makan di food court. Kemudian mereka diminta menilai seberapa menyenangkan pengalaman tersebut. Dalam hampir semua kasus, ternyata orang yang mengambil foto justru lebih menikmati pengalamannya dibanding yang enggak. Tapi di sisi lain, mengambil foto justru bikin pengalaman enggak menyenangkan jadi semakin enggak menyenangkan. Makes sense, ya. Ketika kita lagi traveling di Raja Ampat, lalu kita ambil foto dan upload di Instagram. Maka pas kita buka foto ini di IG, jadi terbawa perasaan senang ketika traveling. Sebaliknya, ketika gagal nonton konser lalu kita upload foto di IG, maka kita jadi makin teringat pengalaman buruk yang pernah dialami.Ini membuktikan proses memotret bisa meningkatkan kenikmatan pengalaman kita. Apalagi bila ditambah dengan menambahkan likes dalam foto yang kita upload di Instagram.
Jadi, kata siapa kecanduan Instagram bikin kita jadi lebih enggak bahagia?
Stem Cell, Terobosan Baru Sebagai Solusi Perawatan Ortopedi Hingga Cedera Olahraga
Penulis | : | Trinzi Mulamawitri |
Editor | : | Trinzi Mulamawitri |
KOMENTAR