Berjuang habis-habisan untuk mendapatkan universitas impian, rela mengikuti bimbel setiap hari sampai malam, hingga akhirnya kita berhasil mengejar mimpi kita: dapat kampus idaman. Tapi masalah enggak berhenti sampai disitu, universitas impian kita ternyata berada di luar kota, membuat kita galau dan excited dalam waktu yang bersamaan. Sampai akhirnya benar-benar jadi anak rantau ternyata enggak semudah yang ada dalam pikiran kita.
“Pertama kali aku merantau, aku tinggal di rusunawa (rumah susun sederhana sewa) dan sekamar diisi dua orang. Aku pikir karena harganya murah, ya kenapa enggak kan? Ternyata, teman sekamarku itu jorok banget bikin aku enggak betah. Aku sudah berusaha cari kamar lain tapi enggak ada yang kosong. Sampai akhirnya aku numpang di kamar temanku selama 2 bulan lebih, aku hanya tidur di lantai beralaskan kain jarik dan guling. Setelah itu aku memutuskan untuk mencari kos. Masa-masa awal itu yang paling bikin enggak betah sih, tapi lama-kelamaan aku sudah mulai terbiasa.” (Jovita, 19 tahun)
“Tahun pertama jadi anak rantau itu paling menyulitkan buatku. Terlebih lagi aku ini tipe anak rumahan yang memang jarang pergi lama-lama dari rumah. Momen paling sedih sih, kalau kangen masakan Ibu tapi terpaksa makan seadanya. Terus kalau sakit enggak ada yang jaga dan nemenin. Pernah sih aku sakit parah banget, sampai harus masuk rumah sakit karena maag akut. Disitulah aku merasa kangen banget sama suasana rumah. Tapi akhirnya aku berhasil melewatinya dan berhasil jadi anak rantau.” (Bella, 20 tahun)
“Mendapatkan universitas impian itu rasanya senang banget, tapi ternyata waktu menjalaninya susaaah banget. Asalku dari Toraja dan harus merantau ke Semarang, jarak yang jauh banget bikin aku merasa asing dengan lingkungan baruku. Kangen suasana rumah, kangen adek-adekku, iri sama teman-temanku yang bisa pulang ke rumah setiap akhir pekan. Awalnya aku enggak mau ngeluh ke Mama tapi akhirnya aku enggak tahan dan curhat ke Mama. Mau nangis terus rasanya kalau ingat rumah, makanya setiap kangen, aku langsung telepon atau video call-an dengan keluarga. Aku mulai terbiasa dengan lingkunganku ketika sudah semester 3.” (Ines, 20 tahun)
Kisah tiga cewek yang jadi anak rantau diatas mungkin mirip dengan yang sekarang kita juga alami. Terus, harus bagaimana tetap bertahan menjadi anak rantau? Baca halaman berikutnya, ya, girls.
Penulis | : | Debora Gracia |
Editor | : | Debora Gracia |
KOMENTAR