Kalian pernah, enggak, sih, suka sama seseorang? Pasti pernah, kan? Pasti tahu, kan gimana rasanya? Deg-degan setiap ngeliat dia, malu setiap natap matanya, dan salah tingkah setiap dia natap kita balik dan senyum ke kita.
Itu juga yang aku rasain ke Ryan, kakak kelas paling bandel, yang disebelin enggak cuma sama guru tapi juga teman-teman yang lain yang kesel sama kelakuan dia yang dianggap sok jagoan. Tapi bagi beberapa orang, termasuk aku, Ryan bukan cuma tukang bikin onar yang sok jagoan. Ryan teman yang baik. Dia hanya melawan hal yang menurut dia patut untuk dilawan. Aturan yang enggak masuk akal, senior yang semena-mena, dan orang-orang yang menganggap dia enggak lebih dari sekedar cowok tengil dengan otak kosong yang suka cari perhatian.
Aku selalu suka dengerin Ryan ngomong. Meskipun dari luar dia tampak seperti enggak punya kemapuan apa-apa, tapi begitu Ryan ngomong, rasanya semua indera di tubuhku menolak untuk enggak peduli. Kata-katanya sederhana tapi memikat. Ceplas-ceplos tapi cerdas. Apa adanya tapi jujur. Ryan selalu bisa membuat semua orang yang ada di sekitarnya tertawa sekaligus berdecak kagum karena pemikiran ajaibnya. Ryan selalu bisa bikin aku nyaman, meskipun selama ini aku hanya bisa melihat dan mendengarnya dari jauh. Enggak kebayang betapa sepinya sekolah tanpa Ryan. Hatiku juga.
Sebentar lagi pengumuman kelulusan. Ryan bakal pergi dari sekolah dan menjalani kehidupannya yang baru sebagai mahasiswa. Dan aku? Aku masih akan ada di sini setahun lagi. Dua tahun mengenal Ryan, melihat senyumnya dari jauh, mendengar kata-katanya yang ajaib dari meja kantin sebelah atau speaker di setiap sudut sekolah, mengaguminya diam-diam, belum pernah sekali pun kami berdua bicara. Apalagi untuk mengutarakan perasaan ini. Mungkin cinta dalam hati sudah cukup. Mungkin aku terlalu malu untuk mengakuinya.
Dari obrolan teman-teman, katanya Ryan dapat beasiswa kuliah di Jerman. Kabar itu bagaikan pedang yang langsung nusuk tepat di jantung. Rasanya? Kalian yang pernah patah hati pasti tahu.
"Hai, hai, selamat siang, SMA Garuda Pancasila! Pada siaran kali ini gue mau ngucapin terima kasih buat kalian semua. Bapak Ibu guru yang sangat Ryan cintai, maaf kalau selama ini Ryan sering bikin jengkel kalian...walaupun sebenarnya kalian juga sering bikin Ryan jengkel he-he-he. Tapi sekesel-keselnya sama Bapak Ibu Guru, Ryan selalu menghormati kalian seperti orang tua Ryan sendiri, dan marahnya kalian Ryan anggap sebagai bentuk kasih sayang dan kepedulian layaknya orangtua ke anaknya. Ryan enggak akan pernah lupa jasa-jasa kalian. Terima kasih banyak.
Buat temen-temen semua, baik yang cinta sama gue maupun yang muak sama gue...I love you guys. You are one of the best thing I ever had in my life. Gue berdoa semoga lo semua sukses, lebih sukses daripada gue. Semoga cita-cita kalian tercapai, dan pas kita ketemu lagi beberapa tahun ke depan, kita semua bisa saling memperkenalkan diri sekali lagi sebagai orang hebat. Dan buat adik-adik kelas gue, gue harap kalian semua bisa jauh lebih baik dari kakak-kakak yang songong ini, walaupun kalian enggak akan bisa ngalahin kerennya kita. Gue dan semua temen-temen angkatan 28 percayain masa depan sekolah ini ke lo semua. Dan untuk semua warga SMA Garuda Pancasila: Kepsek, guru, siswa, pak penjaga sekolah, mas cleaning service, ibu kantin, semuanya... gue pasti kangen kalian semua."
Siaran yang akan jadi siaran terakhir Ryan barusan bikin aku semakin sadar waktuku enggak banyak. Aku ragu dan takut, tapi aku enggak mau kehilangan kesempatan selamanya.
Mungkin gue terlalu cinta sama sekolah ini. Sama orang-orang di dalamnya. Walaupun gue dibilang bandel, tukang bikin onar, dan panggilan-panggilan jelek lainnya, gue tetep seneng dan merasa beruntung karena gue enggak melewatkan sedikit pun momen-momen berharga gue sebagai anak SMA di tempat ini.
Setelah ujian terakhir gue sengaja keliling-keliling untuk menikmati suasana sekolah yang bikin gue sangat bahagia selama tiga tahun ini. Pertama kali masuk sekolah, di'siksa' waktu ospek, dilabrak kakak kelas, dihukum guru, semua itu jadi enggak berarti karena gue selalu punya temen-temen yang bisa bikin gue lupa sama semua itu.
Dan tempat terakhir yang gue tuju adalah ruang siaran. Sambil ngeberesin barang-barang, gue mengenang kembali masa-masa indah gue sebagai penyiar sekolah. Kalau dipikir-pikir, waktu gue lebih banyak diabisin di sini daripada di kelas. Kalo aja gue bisa terus ada di sini meskipun gue udah bukan murid SMA Garuda Pancasila lagi.
Kegalauan gue harus terhenti tiba-tiba karena gue menemukan sesuatu di balik tumpukan kertas di meja. Sebuah amplop kecil warna merah. Entah kenapa melihat benda ini gue jadi senyum-senyum sendiri. Entah kenapa gue tahu ada sesuatu yang istimewa di balik ini.
Lega banget rasanya mengungkapkan apa yang selama ini cuma bisa dipendam dalam hati. Kenapa enggak dari dulu aja, ya? Coba aja dari dulu aku tahu rasanya bakal selega ini. Walaupun cuma lewat surat dan dikirim tanpa nama, setidaknya itu lebih baik daripada diam. Aku enggak peduli kalau Ryan memperlakukan surat itu seperti surat-surat lainnya yang dia dapat dari penggemar-penggemarnya, penyiar radio sekolah juga pasti punya penggemar, dong? Asal Ryan baca, asal Ryan tahu ada seseorang yang punya perasaan seperti itu ke dia, kayaknya itu udah cukup. Aku butuh dua tahun untuk berani bilang suka ke Ryan. Tapi rasanya aku masih butuh waktu lagi untuk berani menunjukkan wajahku di depan dia dan bilang hal yang sama.
"Alini!!" seseorang yang berdiri di pintu kelas memanggilku.
"Ada apa?"
"Kamu dicariin, tuh, buruan ke ruang Kepsek!"
"Hah?! Buat apaan?"
"Tauk. Buruan sana ditungguin! Ya udah ya, aku balik dulu."
"Huh? Oke, makasih."
Setengah takut dan bingung aku langsung menuju ruang Kepala Sekolah. Tapi bukan wajah marah Pak Kepala Sekolah yang aku temui di sana, melainkan sebuah wajah tegas tapi dengan tatapan jahil sekaligus hangat, dan senyum tengil yang bagiku sangat manis. Dia...dia....
"Lo Alini, kan?" Deg! Kok dia tahu namaku?!
"Makasih ya?" katanya lagi dengan suara paling dalam dan lembut yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Badannya yang tinggi membungkuk sampai sejajar denganku. Kakiku lemas seketika. Aku enggak sanggup ngeliat wajahnya. Apalagi matanya.
"Mm-makasih buat apa, ya, Kak?"
Harusnya aku enggak pernah menanyakan itu. Harusnya aku langsung pergi dan lari sekenceng-kencengnya. Atau mungkin, harusnya aku enggak pernah menulis surat itu. Wajahku sekarang pasti semerah amplop yang ada di tangannya.
"Ini lo yang nulis, kan?" Andai aku tidak dalam keadaan malu luar biasa, senyuman Ryan barusan pasti sudah bikin aku melayang, bukannya bikin aku serasa dipendam ke dasar bumi. Maluuu!
"Huh? M-masa, sih? Mungkin dari penggemar Kakak yang lain kali." Enggak tahu kenapa yang keluar dari mulutku adalah sangkalan.
"Yang lain? Hmm...selama ini belum pernah ada, tuh, yang ngasih gue surat. Penggemar gue pasti cuma lo doang." Mampus lo, Alini!
"Eh maaf, Kak. Aku dipanggil Kepala Sekolah,"
"Tapi Kepsek enggak nyariin lo. Dia udah balik barusan. Itu tadi gue yang manggil. Lo Alini yang nulis artikel ini, kan?" tangan Ryan menunjuk mading di samping pintu ruang Kepala Sekolah. Ada satu artikel yang ditempel di sana yang tulisannya persis dengan tulisan yang ada di surat yang dipegang Ryan. Untuk pertama kalinya aku menyesal pernah nulis untuk mading. Alini bodoh!
"Enggak salah lagi pasti ini lo yang bikin." Ryan tertawa lebar. Oke, enggak ada gunanya lagi mengelak. Mau enggak mau aku harus siap menanggung malu ini. Toh Ryan sebentar lagi ke Jerman. Dia akan lupa. Enggak akan ada yang tahu soal ini. Alini enggak perlu malu. Memang beginilah cinta, kalo lagi apes.
Gue cuma bisa senyum ngeliatin cewek yang berdiri canggung di depan gue dan surat dengan amplop merah yang ada di tangan gue. Selama ini belum pernah ada orang, terlebih cewek, yang mengucapkan hal-hal indah seperti yang dia ucapkan ke gue, walaupun mungkin cuma lewat tulisan. Melihat ekspresinya ini, gue tahu dia butuh waktu lama untuk mengumpulkan semua keberaniannya untuk nulis surat ke gue.
... Aku selalu suka mendengarmu bicara. Caramu bercerita selalu bisa membuat aku tertawa dan kagum di saat yang sama. Sampai akhirnya aku merasa kamu tidak hanya lucu, tapi juga pintar, penuh percaya diri, unik, berani, apa adanya, dan juga... manis.
Satu alinea favorit gue dalam surat yang ditulis Alini terus terbayang di otak gue saat gue melihat dia. Gue membayangkan bagaimana wajah polos itu akan berekspresi ketika dia mengucapkan kata-kata itu dengan mulutnya sendiri di depan mata gue.
"Lo enggak perlu malu." Gue menunduk sambil menyentuh bahunya yang gemetar. Dia enggak berani sedikit pun melihat gue, tapi tatapan gue enggak pernah lepas dari matanya. Begitu juga senyuman di bibir gue. "Siapa, sih, yang enggak seneng dikasih surat seindah ini?"
Gue pun mencoba untuk ngomong lebih tulus ke Alini, "Selama ini belum pernah ada orang yang nulis hal-hal indah buat gue. Lo adalah orang pertama yang bisa bikin gue merasa berharga karena ternyata gue punya arti sedalam itu buat seseorang. Di saat orang lain mikir gue adalah tukang bikin rusuh, lo justru melihat gue sebagai seseorang yang istimewa. Dan itu indah banget, Alini. Gue bener-bener tersentuh bacanya, suer. Makasiiih banget. Dan gue bakal seneng banget kalau suatu saat lo bisa ngomong hal yang sama ke gue langsung tanpa perlu pake surat."
Dan untuk pertama kalinya, gue bisa lihat matanya Alini. Cokelat, sama seperti gue, tapi lebih terang.
Aku enggak tahu apa alasannya Ryan ngomong gitu ke aku. Mungkin dia berusaha sopan. Atau dia memang selalu ngomong dengan cara yang sama ke semua orang terutama cewek? Dalem, lembut, manis, dan ya, sopan. Tapi apa pun alasannya, toh aku dibikin melayang juga dengan kata-katanya.
Aku memberanikan diriku menatap mata Ryan. Untuk pertama kalinya aku bisa melihat wajahnya dari dekat. Dan tiba-tiba pikiran itu muncul. Sebentar lagi Ryan jadi mahasiswa. Di Jerman pula. Cewek paling cantik di sekolah ini pun pasti kalah sama cewek-cewek di kampus baru Ryan. Tulisanku yang kata Ryan indah itu juga pasti enggak ada apa-apanya dibanding keindahan fisik cewek-cewek bule itu. Dia pasti enggak sungguh-sungguh.
Petir yang tiba-tiba menggelegar seolah mengiyakan firasat burukku. Belum sempat aku ngomong apa pun, rintik hujan mulai turun dan langsung berubah deras dan menyiram tubuh kami. Sama tiba-tibanya seperti datangnya hujan ini, Ryan menarik tanganku. Kami lari kalang kabut menuju kanopi terdekat.
Kalian pasti sering ngeliat adegan seperti ini di film-film...cowok dan cewek berteduh berdua sambil nunggu hujan. Dan kalian pikir itu basi. Aku pikir juga basi. Tapi kalau kalian ngalamin sendiri, ternyata rasanya beda....
Coba deh kalian rasain lebih dalam.... Berdiri di samping seseorang yang kalian suka. Tanpa ada orang lain. Cuma ada kalian berdua, dan hujan. Kalian bisa melihat wajahnya yang basah karena tetesan air hujan. Begitu juga rambutnya, seragamnya, dan dengan tampang kesal yang lucu dia ngomel sama hujan yang udah bikin dia basah. Penampilannya memang jadi kacau, tapi entah kenapa di mata kalian dia justru terlihat semakin manis dengan wajah basah itu, bikin kalian enggak tahan pengen nyium pipinya. Kayak Ryan sekarang.
"Jadi kapan Kakak berangkat ke Jerman?" tanyaku iseng. Semoga Ryan cukup pelupa untuk mengingat hal-hal sepele, seperti surat misalnya.
"Hah? Emang siapa yang mau ke Jerman?"
"Bukannya Kakak dapet...HATCHIH!...beasiswa ke Jerman?"
"Kata siapa?" senyum tengilnya muncul lagi.
"A-a-aatchhiih-nak-anak."
Ryan enggak menjawab. Aku pura-pura sibuk ngeliatin hujan yang terasa lebih indah dari biasanya. Sama Ryan di sini, semuanya jadi beda. Rintiknya, hembusan anginnya, wangi tanahnya....
Dan seketika aku merasa jauh lebih hangat. Aku juga bisa mendengar suara Ryan yang lembut dan dalam berbisik di telingaku.
"Gue enggak pergi kemana-mana kok. Gue di sini." Senyum tengil itu sekarang hanya beberapa senti di depan wajahku. Tangan Ryan bersama dengan jaketnya yang hangat melingkar di tubuhku yang mulai menggigil.
(oleh: Desi D. Wahyuni, foto ilustrasi: tumblr.com)