Di Ujung Pelangi (Bagian 2)

By Astri Soeparyono, Kamis, 13 November 2014 | 17:00 WIB
Di Ujung Pelangi (Bagian 2) (Astri Soeparyono)

Tunggu. Ujung pelangi. Katamu, di ujungnya ada periuk berisi kebahagiaan bukan? Katamu, aku akan bisa menemukannya jika aku membutuhkannya bukan? Dan jika selama ini, bahagiaku adalah kamu, tentunya aku akan menemukanmu di sana.

Aku dengan cepat melangkah ke arah pelangi, menembus gerimis yang masih turun. Aku harus cepat. Aku harus menemukannya sekarang. Rasa sakit ini semakin menyiksaku. Kesedihan ini semakin merasukiku dan aku tidak menyukainya. Aku harus menemukan ujung pelangi itu sekarang, secepatnya, sebelum pelangi itu menghilang dan sebelum rasa sakit ini semakin menyiksaku.

 

"Seta itu artinya putih. Mamamu pengin kamu menjadi manusia berhati bersih." Sore itu, di momen pelangi kita yang lain, kamu mengatakan hal itu. "Itulah kenapa dia begitu keras mendidikmu. Kenapa dia punya begitu banyak aturan. Semuanya demi kamu. Kenapa kamu harus jujur walaupun teman-temanmu berbohong, kenapa kamu harus selalu menjaga lisanmu walaupun teman-temanmu bisa bicara sesukanya, kenapa kamu selalu menjaga perbuatanmu walaupun teman-temanmu bisa sesuka hati mereka. Semua itu demi kamu, demi masa depanmu. Demi kebahagiaanmu nanti."

 

"Tapi semua aturan itu memuakkan. Teman-temankue nggak terikat aturan-aturan itu dan mereka tetap bahagia, kok!" Suaraku meninggi.

 

"Semakin besar hujannya, pelanginya semakin bagus." Kamu tersenyum.

Di Ujung Pelangi (Bagian 2)

Langkahku terhenti sewaktu akhirnya aku menemukannya. Sebuah jembatan tujuh warna dari langit yang ujungnya menghujam ke jalan beraspal. Kamu benar, ujung pelangi itu akan ada saat kita membutuhkannya. Tapi, di ujungnya tidak ada apa-apa. Tidak ada periuk berisi kebahagiaan seperti yang kamu bilang. Tidak ada kebahagiaan. Tidak ada kamu.

Dengan gontai aku melangkahkan kakiku kembali ke rumahmu. Aku sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa lagi selain menangis. Sepertinya aku hanya akan kembali menelan kerinduanku ini bulat-bulat.

Hari itu langit mendung semenjak pagi, tapi hujan tidak turun. Padahal aku menanti hujan. Hari itu aku berharap hujan turun agar aku bisa menyembunyikan air mataku di antara tetesannya dan menyembuhkan kesedihanku dengan pelangi setelahnya. Tapi hujan tidak turun. Bahkan sampai orang-orang itu menimbun tempat peristirahatan terakhirmu, hujan tetap tidak turun. Jadi, aku menelan rasa sakit itu, kesedihan itu dan menahan sekuat tenaga air mataku.