Bagiku, dunia tanpa kacamata adalah bencana. Dengan mata minus lima, aku harus memakai kacamata ke mana-mana. Kalau tidak, apa pun yang kulihat menjadi berbayang dan tidak jelas. Hal ini membuatku sangat tergantung dengan kacamata.
Aku dipanggil Si Kacamata sejak SMP. Karena jarang berdandan, penampilanku pun terlihat nerd. Tidak heran kalau sampai umur 16 tahun, aku tidak punya pacar. Di dunia ini cuma cowok bego yang mau bergaul dengan cewek nerd sepertiku.
"Dikembalikan minggu depan ya, Alia."
Aku mengangguk pada Bu Nana, petugas perpustakaan. Kubawa dua novel untuk bacaan selama seminggu ini sambil melangkah pelan keluar dari perpustakaan. Kuputuskan pergi ke kantin. Perutku keroncongan karena belum sarapan.
Setelah memesan mie pangsit, aku duduk di bangku paling ujung. Kantin ramai seperti biasa. Sambil mengunyah mie, telingaku mendengar berbagai macam suara para penghuni kantin.
"Pak Hendra, tuh, kejam! Tugasnya bikin kepala botak!"
Itu suara Arga, anak kelas XI IPA-1. Suaranya sedikit kekanakan. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang berorot.
"Lima juta, cobaaa!! Tiket konser apaan, tuh?"
Kali ini aku mendengar lengkingan suara Vivi, anak kelas X-1. Suaranya mengingatkanku pada karakter anime yang lucu.
Aku asyik makan mie pangsitku sambil terus fokus mendengar suara orang-orang di sekelilingku.
Baiklah, aku mengaku. Aku memang suka memerhatikan suara orang saat mereka berbicara. Kadang aku memejamkan mata, menyerap suara mereka. Ini seperti candu bagiku.
Aku tidak tahu kenapa aku begitu menyukai suara manusia. Semenjak aku memakai kacamata, aku punya kebiasaan mengetahui keberadaan orang lain dari suara mereka. Apalagi tidak setiap saat aku memakai kacamata. Kadang aku melepasnya sejenak untuk mengistirahatkan mataku.