Bagiku, suara manusia sangat indah. Ia tak terlihat oleh mata, tapi terdengar telinga. Ada sesuatu yang menakjubkan kalau kau mau mendengar dan memerhatikan. Seperti itulah yang kurasakan terhadap suara manusia.
"Minggu depan ulangan Kimia. Bisa nyontek, enggak, ya, kira-kira?"
Terdengar tawa renyah. Jantungku berdebar kencang. Suara ini...entah kenapa selalu membuatku berdebar. Suaranya terdengar merdu di telingaku. Agak rendah, tapi bertenaga. Ah, aku tidak bisa mendeskripsikannya.
Aku melirik ke samping. Ia masih di sana, berbicara dengan cowok di sampingnya.
Aku menghela napas gugup. Aku tidak fokus lagi dengan mie pangsitku yang tersisa separuh. Seluruh perhatianku kini terpusat pada suara itu.
"Balik, yuk."
Kali ini ia beranjak dari duduknya. Saat itulah, aku mencoba menoleh ke samping. Kami bertatapan. Ia melempar senyum padaku. Mataku mengerjap. Pipiku memerah. Aku segera memalingkan wajah. Rasanya malu sekali.
Setelah orang itu berbalik, aku mengikuti punggungnya yang menjauh. Jantungku terus berdebar. Mungkin ini aneh. Ia bahkan tak setampan Niko yang model majalah dan digilai semua cewek di sekolah. Ia juga tak sepintar Atma yang ikut olimpiade fisika bulan lalu. Tapi, ia memiliki suara yang indah. Suara yang membuatku terpaku sejak mendengarnya.
"Denis, tuh, manis juga, ya, kalau dilihat-lihat."
Aku melirik dua cewek di sampingku. Mereka cekikikan. Aku menundukkan wajah. Ah, jangan bilang mereka menyukai Denis juga. Aku mendesah pelan.
***
Aku memeluk buku-bukuku sambil menunduk. Koridor sepi. Pulang sekolah tadi aku memang pergi ke perpustakaan untuk membaca novel. Karena keasyikan, aku tidak tahu kalau hari sudah menjelang sore.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR