"Aku tidak mengatur hidupmu. Aku peduli padamu."
Endita tersenyum sinis, "Lebih tepatnya peduli dengan dirimu sendiri. Selama ini aku hanya melakukan apa yang kamu suruh, bergabung dengan teman-teman yang kamu tunjuk. Aku bahkan tak punya waktu untuk diriku sendiri. Aku butuh udara."
"Udara tidak bisa kamu dapatkan pada sekumpulan cowok-cowok yang suka mendaki gunung."
"Cukup! Asal kamu tahu saja aku tidak bisa bernapas selama bersamamu. Kita sudahi saja sebelum aku mati kehabisan napas," jerit Endita meradang. Alex terpana. Dia terpukul sebab baru sekarang seorang cewek memutuskannya. Namun cepat-cepat dia membangun kejantanannya yang porak-poranda. Dia tersenyum sinis.
"Hmm...jadi cuma begini. Kamu akan menyesal karena kamu takkan lagi sama seperti dulu, tidak sepopuler dulu. Selama ini aku yang membuat mereka hormat padamu."
Endita semakin berang. "Makan tuh popularitas. Aku enggak butuh pembohong dan penjilat macam mereka. Kita putus!" jerit Endita. Alex menatap Endita penuh dendam lalu meninggalkan tempat itu. Endita menangis perlahan namun lama-kelamaan dadanya terguncang keras. Tak pernah dia merasa sebebas ini meski rasanya perih.
Lolita yang sedari tadi mendengarkan pertengkaran itu menelan ludah. Teh yang dibawanya telah dingin, dia pun menenggaknya habis. Rasa tegang membuatnya haus. Dia bingung harus bagaimana. Dia telah menyaksikan putusnya Alex dan Endita dan dia tak tahu harus gembira atau sedih. Endita memang telah melukai dirinya tapi melihat Endita terluka seperti itu ternyata membuat luka-lukanya tak terasa sakit lagi.
Lolita merapatkan punggungnya di tembok. Mungkin sebaiknya dia segera pergi dari sini dan melupakan bahwa dia pernah melihat pertengkaran itu. Baru saja Lolita hendak beranjak, seseorang menubruk dari samping. Gelas teh yang dipegangnya terlempar dan jatuh. Lolita terkejut bukan karena gelas itu tapi karena orang yang menubruknya itu ternyata Endita. Wajah bekas sohibnya itu basah karena airmata.
"Loli, ngapain kamu di sini?"
"Aku...cuma..." jawab Loli gugup.
"Sejak kapan kamu berdiri di sini? Kamu mendengar semuanya, ya?"
"Kalaupun aku mendengarnya, apa pedulimu? Toh urusanmu bukan urusanku." Lolita buru-buru memunguti pecahan gelas di lantai dan membuangnya di bak sampah. Endita memegang bahunya.